Part 3

2K 42 2
                                    

Selamat membaca

*****

Risa POV
"Om, lepasin, Om," pintaku, yang masih dalam pelukannya. "Jangan suka ambil kesempatan gini, Om."

Pelukan mengendur, lalu aku segera bangun. Terlihat Om Bima pun berusaha duduk dari telentang. Ia terlihat meringis kesakitan, memegangi pinggangnya.

"Tanahnya nggak apa-apa, Om?" tanyaku basa basi. Ia melirikku sinis.

"Pinggangnya maksud aku."

Tanpa menjawab, Om Bimbim berusaha berdiri, masih terlihat sedikit meringis. Mungkin udah berumur, jadi wajar kalau tulangnya keropos.

"Jangan suka lari-lari," tegurnya. Sambil memebersihkan tanah yang menempel di tangan dan kakinya.

"Lagian nggak boleh keluar. Aku udah janji sama temen-temen aku, Om," kesalku.

"Bukan nggak boleh. Saya harus nganter kamu," terangnya.

Aku berpikir sejenak. Temen-temen mayoritas sebaya denganku, 18 tahun. Apa jadinya, ada om-om yang ikut gabung di tengah-tengah aura jiwa muda?

Aura mana yang bakalan terserap? Jiwaku yang menjadi tertular tua, atau jiwa tuanya yang tertular muda?

"Kalo saya nggak anter kamu, artinya kamu harus tetap ada di rumah," sambungnya.

Dahlah, apa boleh buat. Dari pada aku nggak punya temen lagi karena suka ingkar janji.

***

Terlihat dari teras kafe, beberapa temanku sudah ada di dalam. Satu yang bikin bingung, si Om malah ikutan turun dari mobil. Duh, apaan dah!

"Om," panggilku.

"Ya."

"Nggak mau nemenin abang parkir? Kasian dia ngopi sendirian," tawarku sambil menunjuk ke abang parkir. Nggak sopan emang. Aku berdosa banget mendzolimi om-om.

"Saya mau ngopi di dalem," sahutnya. Lalu berjalan begitu saja mendahuluiku. Ya ampun!

Terpaksa aku berjalan mengikutinya. Semua temen-temenku sontak menoleh saat aku memasuki kafe. Beberapa darinya melambaikan tangan menyapa. Selanjutnya, ada yang bisik-bisik setelah tahu aku datang dikawal Om Bimbim.

" Wahh ada si pengantin baru ...!" Ulfi terdengar menyabut hangat. Aku justru celingukan melihati suasana sekitar, malu dibilang pengantin baru. Karena lebih pantas dinobatkan pengantin kecil.

Aku duduk di kursi yang masih kosong, juga Om Bima, duduk begitu saja setelah senyum tipis menyapa semua teman-temanku.

"Kamu udah anu, Ris?" bisik Vina, tanpa basa basi.

"Ish! Anu apaan?"

"Ya nganu. Masa nggak tau?"

"Au, ah! Tanya yang lain aja kenapa, sih!" ketusku. Mulai kesal dengan pertanyaan yang mendesak itu.

"Mau tanya yang lain, takut nggak bisa jawab kamunya, Ris."

Aku melirik Vina sinis. Berasa oneng banget aku digituin. Gini-gini juga, aku suka tidur pas jam pelajaran sekolah.

"Tanya aja udah! Dari pada tanya yang aneh-aneh."

"Oke. Aku serius tanya. Orang gundul itu, biasanya kalo keramas pake shampo apa pake sabun? Soalnya, kan, kulit."

Ya ampun ... demi Alex kagak ngapa-ngapa. Tapi harusnya dia mikirlah, ngapain dia mikirin orang gundul? Orang gundulnya aja enjoy menjalani hidup di dunia fatamorgana ini. Setdah!

menikah dengan om omTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang