S̆̈ĕ̈l̆̈ă̈m̆̈ă̈t̆̈ m̆̈ĕ̈m̆̈b̆̈ă̈c̆̈:)
t̆̈y̆̈p̆̈ŏ̈ b̆̈ĕ̈r̆̈t̆̈ĕ̈b̆̈ă̈r̆̈ă̈n̆̈ 🔪
*****
Dalam beberapa detik, situasi terasa canggung. Kami jadi saling diam, meskipun aku masih menangis.
"Makan dulu, yuk?" ajaknya. Lalu aku menggeleng lemah. Nggak nafsu makan.
"Kasiah Mbak Sum udah siapin makan. Masa nggak dimakan?" bujuknya lagi.
"Nggak mau," ucapku dalam tangis.
"Makan dulu, abis makan terserah kamu mau minta apa, nanti saya turuti."
"Beneran, nggak boong?" tanyaku memastikan. Aku nggak mau kena tipu.
***
"Mama ...!" Kupeluk erat-erat, wanita yang sangat kucintai itu. Beberapa hari nggak ketemu, berasa sudah sewindu.
Om Bisma nggak bohong, setelah makan dia mau menuruti permintaanku untuk pulang ke rumah. Kayaknya aku kudu sering-sering nangis, biar dituruti kemauannya. Ide bagus, Risa!
"Mama kenapa nggak jenguk aku, sih?" protesku. Merasa dititipin ke om-om sejak menikah.
"Kayak lagi berkemah aja dijenguk," ledeknya. Lalu mencubit pelan hidungku yang mungkil.
"Mama mah!"
"Eh, ayah ada di belakang lagi ngopi. Sana masuk," perintah Mama. Tapi aku menggeleng pelan.
"Kenapa?"
Kalau boleh jujur, aku masih sedikit marah sama Ayah. Keputusan yang nggak bisa diganggu gugat itu, bagiku sama saja merenggut masa mudaku.
Harusnya, ia melonggarkan hakku, untuk benar-benar memutuskan apa pun tanpa ada paksaan.
"Nggak baik kayak gitu, Ris. Sana temui ayah." Ibu kembali menasihati.
Aku menggeleng lagi. "Nanti aja. Masih kengen sama Mama." Aku bergelayut pada wanita kesayanganku itu.
Sedangkan Om Bisma mungkin saja sudah lebih dulu ke belakang menemui Ayah. Sebelum menjadi menantu di rumah ini pun, kedekatan mereka seperti tidak bisa dipisahkan.
Ingatan kembali berputar saat 5 tahun silam. Di mana aku masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan Om Bisma masih sekitar 25 tahun atau lebih.
Hampir setiap hari aku melihatnya pulang pergi ke rumahku, dan menemui Ayah. Aku nggak pernah tahu tujuan dia apa. Yang jelas, ia sering kali menghampiriku yang tengah asik belajar di ruang tengah.
"Lagi ngapain, Risa?" tanyanya.
"Ngerjain PR, Om," sahutku singkat.
"Bagus. Yang rajin belajarnya. Jangan nakal atau badung, nanti om nikahin sekalian," godanya.
"Ih ...! Enak aja! Nggak mau aku!"
"Kenapa nggak mau? Emang om jelek banget apa?"
"Om emang ganteng, tapi ketuaan, Om!" ejekku.
Karma berlaku setelah 5 tahun kemudian. Saat aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Entah gimana ceritanya, aku nggak lulus setelah ujian. Ya, betul, ijazahku paket C, Gaes.
Padahal, kelas 1 dan kelas 2 aku selalu masuk 10 besar. Mungkin terlalu banyak main, jarang belajar, praktis otak membeku, seperti hatiku.
Ayah terlihat sangat marah. Sedangkan aku masih berusaha untuk tidak mengecewakannya lagi, dengan masuk ke universitas bagaimanapun caranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
menikah dengan om om
Teen Fiction-Vote Comen Follow- menikah dengan om om? yang pasti umurnya jauh dari kita. itu lah yang di rasakan Risa yang harus menikah dengan om om karena perjodohan.