Part 4

1.6K 45 0
                                    

Gimana-gimana rame gak ceritanya?

Selamat membaca:)

*****

Begitu sampai di rumah, aku dikuasi oleh ketakutan. Gara-gara kartu ATM, jadi nambahin pikiran!

Duh ... mana udah sore, sebentar lagi malam. Gimana cara menghindar lagi? Oke otak, kali ini beneran harus mikir. Malu sama organ lain yang lebih berguna.

"Ayo, turun," ajaknya.

Aku menoleh, seketika membulatkan mata. Benar dugaanku, masih sore saja dia sudah ngajakin turu. Benar-benar menakutkan.

"Kenapa ngeliatinnya gitu banget?"

"Mesum banget sih, Om! Masih sore udah ngajakin turu."

"Turun, Risa. Saya bilang turun, bukan turu."

Ya ampun, ternyata bukan cuma otak yang nggak berguna, telinga pun ikut nggak ada gunanya juga. Cuma jempol kaki mungkin yang nggak pernah cari gara-gara.

"Udah, mau di mobil aja?" tanyanya, karena aku belum menjawab.

Gimana mau jawab, malunya aja sudah meresap sampe ke sumsum tulang belakang.

Beberapa saat setelah Om Bisma masuk ke rumah, aku mengikuti. Harus jaga jarak, curiga dia bakalan ngerem mendadak kayak waktu itu. Trauma aku tuh.

Lelaki berbaju hitam itu terlihat masuk ke dalam kamar. Sementara aku masih kebingungan, mau masuk ke mana? Pengen masuk ke hatinya cowok ganteng, tapi sadar diri sudah jadi istri orang.

Aku memutuskan untuk duduk di ruang tengah. Seenggaknya, sedikit bisa menghidar dari Om Bimbim.

Aku mendadak berpikir, kenapa si Om bisa tahu, kalau orang gundul itu keramas pakai sabun? Apa dia ada pengalaman juga?

Eh, kenapa aku masih mikirin hidup si gundul? Terserah-lah, budu amat!

Aku mutusin untuk menyalakan TV, cari hiburan biar nggak bosen. Beberapa kali mengganti chanel, tapi semua isinya nggak ada yang bagus. Settingan di mana-mana. Dahlah, yang bisa dipercaya dari siaras TV jaman sekarang itu cuma adzan maghrib.

***

Rasa kantuk membuatku malas untuk sekedar bergerak. Apalagi bangun dan memejamkan mata.

Etapi, kalau dirasa-rasa, kenapa ranjang ini kayaknya bergerak mengayun? Aku memutuskan untuk membuka mata.

Dan ternyata ... yang pertama kali kulihat adalah wajah Om Bisma.

"Omaigatt! Lepasin, Om!" teriakku meronta, saat menyadari ternyata aku ada di gendongannya.

"Turunin, Om! Nggak mau!" teriakku lagi.

Om Bisma tetap melanjutkan berjalan membawaku masuk ke dalam kamar. Lalu menurunkanku di atas ranjang.

"Tanggung, udah sampe," ucapnya terlalu santuy kayak di pantuy.

Seketika aku bergeser menjauh darinya. Apa-apaan ini? Harusnya dia minta izin dulu sama aku, pasti nggak aku izinin!

"Jangan gitu dong, Om! Itu curang namanya, pelanggaran. Dapet kartu keluarga!"

"Kartu merah."

"Oh, udah ganti?"

"Curang apa emang?"

"Mentang-mentang badan aku kecil, masa main gendong aja," kesalku.

"Kamu ketiduran di sofa. Jadi saya pindahin."

"Ya biarin aja tidur di sofa, yang penting nggak tidur diemperan kios orang." Sungguh aku masih kesal sama om-om itu. Takut lama-lama nanti aku dinodai beneran!

menikah dengan om omTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang