Part 2

2.3K 44 3
                                    

Selamat membaca

*****

R

isa POV

"Aku ternoda ...!" teriakku sekencang-kencangnya, lalu segera menarik diri mundur dari Om Bisma.

Lelaki berkulit kuning langsat itu terlihat cukup terkejut dan terduduk begitu saja. Sambil mengerjapkan mata, ia menatapku tanpa dosa.

"Om ngapain?" tanyaku.

"Ngapain emang?" Ia malah bertanya balik. Terlihat ia mengusap-usap matanya.

"Kok, peluk-peluk?"

"Kamu yang peluk, saya pasrah."

"Bohong! Om sengaja narik tangan aku biar keliatan aku yang peluk, kan? Ngaku aja, deh!" tuduhku lagi. Itu kemungkinan terbesar. Nggak mungkin aku yang peluk duluan. Pait, pait, pait!

"Fitnah itu kejam, Risa."

"Iya aku tau, fitnah itu lebih kejam dari ibu tiri, tapi--"

"Fitnah lebih kejam dari pembunuhan," potongnya.

"Iya itu maksudnya. Aku mau ngomong gitu tadi!" ketusku. Bisa-bisanya situasi seperti ini mau mempermalukanku.

Sebenarnya aku tahu, cuma lidahnya kepleset saja tadi. Masih wajarlah, salah satu dapet nilai 90. Kalau salah dua berarti dapet 80.

"Udah itung-itungannya?" tanya Om Bisma. Sontak aku membekap mulut sendiri. Kenapa dia bisa mendengar suara hatiku?

Om Bisma terlihat turun dari ranjang, lalu melenggang begitu saja tanpa ada pembahasan lagi. Nyebelin emang. Ternyata bukan cuma cinta yang bisa bertepuk sebelah tangan, marah-marah pun bisa juga.

"Om! Aku belum selesai!" Akhirnya aku memberanikan diri.

"Apanya? Pelukannya?"

"Om!" teriakku. Lalu segera turun untuk menghampirinya, minimal bisa nyentil ginjalnya.

"Auw!"

Rasa nyeri begitu kuat kurasakan pada pergelangan kaki kiri. Kini aku terduduk di lantai, karena kaki ini masih nggak bisa untuk tumpuan.

"Aduh, sakit," keluhku.

Aku hampir lupa, semalam kaki ini memang keseleo. Dan belum bisa berjalan. Om Bisma terlihat menghampiriku yang masih terduduk.

Kini ia berdiri di depanku. Aku mendongak melihatnya yang cuma menatapku, nggak nawarin apa, gitu!

Satu detik, dua detik, tiga detik aku nungguin penawaran darinya padahal. Tetapi nggak ada sama sekali. Kita saling tatap, saling diam. Krik, krik, krik.

Oke fix, aku ngalah. "Iya, iya, aku minta tolong," ucapku terpaksa.

Tanpa menjawab, ia membantuku untuk berdiri, lalu aku duduk di tepian ranjang. Sedangkan Om Bisma terlihat berjongkok, tepat dihadapanku.

"Om mau ngintip, ya?" tuduhku. Aku pakai baju tidur celana pendek, wajahlah kalau curiga.

Lagi-lagi dia nggak jawab. Dahlah, dia cocoknya jadi patung pancoran aja, lebih berwibawa kayaknya. Canda, pancoran!

Aku cukup terkejut saat tiba-tiba Om Bimbim meraih telapak kakiku. Lalu diputarnya perlahan.

"Aw aw aw! Pelan-pelan dong, Pak Juned!" keluhku.

Tanpa memedulikanku, ia tetap memutar pelan pergelangan kakiku. Sedangkan aku menggigit bibir bawah sendiri, mencoba menahan nyeri.

Lama-kelamaan, rasa nyeri berangsur mulai berkurang. Aku menatap wajah itu. Hidungnya yang mancung, beralis lebat, kayaknya nggak cocok kalau ada bakat terpendam jadi tukang pijit. Cocoknya jadi sugar daddy. Eh!

menikah dengan om omTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang