Pertemuan mereka bukan dimulai tanpa sengaja. Tak seklise kisah jumpa di prolog novel remaja. Diawali dengan pertemuan satu dengan lainnya, bumi Surabaya menyatukan mereka dalam lingkaran kecil bernama bahagia.
Hari di kalender menunjukkan Senin, dan jam dinding besar di lobi utama Satya Buana menunjukkan angka enam. Masih terlalu pagi untuk ukuran senior yang selalu datang tepat saat bel berhenti berbunyi. Namun, bagi para siswa baru, yang semangatnya masih menggebu-gebu, pukul enam adalah saat di mana semua bangku di kelas hampir terisi penuh. Bahkan ada yang sampai bingung mencari tempat duduk, karena dirasa tak ada yang ia kenal di kelas yang baru.
Seperti Ananta waktu itu.
Ia melangkah ragu-ragu, dengan raut bingung dan gugup yang berusaha ia sembunyikan. Masih tak familiar dengan dunia SMA yang baru saja ia masuki peraduannya. Pasalnya, ini baru bulan kedua bagi gadis asal Jakarta ini menginjakkan kaki di kota pahlawan, yang di bulan sebelumnya pun ia masih tak punya teman.
Langkahnya terhenti di samping meja guru. Netra cokelat tuanya menelisik, mencari-cari spot yang kosong, membiarkan berpasang-pasang mata menatap ke arahnya. Ia tersenyum tipis saat menemukannya. Bangku pinggir jendela, baris ketiga dari depan. Di sana, sudah ada gadis dengan pita merah mengikat rambutnya yang tengah mengemil kue kering seraya membaca sebuah novel tebal yang Ananta tak tahu apa isinya.
Gadis itu sepertinya sangat menghayati alur ceritanya. Pandangannya bahkan tak teralih waktu Ananta menghampiri dan mulai menyapa.
"Eum, permisi?" Masih diabaikan.
Gadis itu menghela napas. Tak mau menunggu lama, ia langsung duduk di kursi yang masih kosong. Ia lantas mengeluarkan ponsel. Lebih memilih berselancar di sosial media sambil sesekali membalas sapaan kanan-kirinya.
Bel masuk berbunyi. Ananta menutup ponsel putihnya. Ia menoleh, gadis itu masih belum mengalihkan pandangannya dari novel tebal di hadapannya. Sampai akhirnya wanita paruh baya dengan jilbab cokelat tua menapakkan kakinya di lantai kelas, gadis itu baru menutup bukunya, itu pun karena mendengar kawan sekelasnya menjawab salam.
"Eh? Lho, ada orang? Maaf ya, baru sadar."
Ananta hanya tersenyum tipis sebagai formalitas sewaktu gadis pita merah itu tampak terkejut akan eksistensinya. Ia menghela napas sambil berusaha agar tak menghujat dalam hati.
"Kenalin, aku Nawang!" ujarnya, sebelum mereka berjabat tangan untuk pertama kalinya.
━━━━━━━━━━━
Memang singkat untuk sebuah mula, tapi nggak papa. Pelan-pelan aja, ya?
ㅤㅤㅤㅤ
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesembilanan
General FictionKarena Surabaya bagi mereka, bukan cuma sebuah kota. Ini perihal jurnal penuh cerita, asa, cinta dan cita, serta cara-cara melukis bahagia. Kesembilanan, dua ribu dua puluh satu, bersama para insan kelahiran dua ribu. ©seanandika