ㅤㅤ
Warning: Kata-kata kasar.
ㅤㅤ
“Emang mbokbilang apa, Ron?”Pukul sembilan lebih empat puluh. Istirahat pertama. Seperti biasa, bangku panjang di sudut kantin terisi oleh delapan anak manusia. Minus Ananta, karena gadis itu sedang mengantre di bilik favorit mereka. Penjual bolu kukus serta kue-kue manis lainnya.
Atensi mereka kini fokus pada pemuda Dananjaya. Yang dengan antusias menceritakan bahwa ia akan membawa seorang lagi untuk menjadi penambah cerita mereka.
“Takbilang bolu kukuse boleh diskon, hehe.”
Serentak ketujuh kawannya geleng-geleng kepala. Harusnya mereka sudah tak heran akan pemuda yang bahkan tak ragu menunjukkan kegilaannya selama sebulan ke belakang.
Oh iya, laporan terkini. Pemuda Dananjaya itu sudah tak semurung tadi pagi. Entah memang ia merasa sudah berlalu, atau memang ia mahir menyembunyikan isi hati. Apapun itu, yang jelas kini Baron sudah kembali menjadi Baron yang berapi-api dan penuh afeksi. Lihat saja, pemuda itu kini sudah melingkarkan tangannya pada leher Kalingga yang menampakkan raut risih.
Lantas di tengah kerumunan manusia, sepasang kenari cokelat tuanya menangkap sosok yang sejak tadi ia tunggu. Wigatra, dengan tampak sampingnya yang entah kenapa sangat cepat masuk dalam ingatannya, memasuki kantin dengan wajah tanpa ekspresi.
“GATRA!” teriaknya. Membuat seisi kantin yang cukup luas itu turut menoleh padanya kemudian mengikuti arah pandangnya. Pada pemuda yang kini juga berbalik, menghindari tatapan para manusia seolah lupa ia diberi nama Prabu Wigatra Manggala.
Seisi meja panjang itu langsung mengalihkan pandang. Anggap saja mereka tak kenal pemuda yang kini cuma cengar-cengir tak berdosa waktu berpasang-pasang mata kini menatap ke arahnya.
“Sumpah kerjaan lo bikin malu mulu, Ron.”
Ananta yang baru saja kembali dari antrian panjang kantin sudut kanan langsung meletakkan jajanan yang sebelumnya ditadahi lengannya pada meja hijau itu. Tak lupa tatapan khasnya yang membuat senyum lebar di wajah Baron seketika berubah kecut. Malu sendiri.
Tak lama, yang sejak tadi ia tunggu pun tiba. Wigatra datang setelah menghindari tatapan seisi kantin dengan raut seolah tak terjadi apa-apa. Menghampiri Baron yang tampak bungah sebab pemuda yang kini ia geret itu patuh atas ajakannya.
“Nyoh, ambil satu. Jajalen, uenak.” Pemuda itu memindahkan bolu kukus dengan wangi pandan yang menggoda indra penciuman ke hadapan Wigatra yang masih berdiri di samping meja.
“A—” belum sempat sepatah kata keluar dari mulutnya, sebuah teriakan terdengar dari meja di belakang mereka.
“Enak yaa, anak baru sekarang. Kantin berasa punya sendiri.”
Satu.
“Mana enak teriak-teriak, berasa kita cuma rumput kali!”
Dua.
“Kita mah dulu segen ya ada kakak kelas. Coba sekarang?”
Tiga.
“Kita pindah, yuk,” ujar Melodi pelan, memecah keheningan.
Seluruh penumpang meja panjang itu mengangguk. Lantas beranjak dari tempatnya dengan raut kecut.
“Syukur deh kalo sadar.” Satu lagi cibiran terdengar tatkala mereka melewati meja yang diisi kumpulan kakak kelas yang sejak tadi memandang tak suka pada bangku mereka.
Adicakra, yang tak dapat lama-lama menahan jengahnya langsung menoleh. Menghadiahi tatapan sinis yang sudah menjadi ciri khasnya sebelum kerah belakangnya ditarik oleh Melodi agar cepat pergi.
Dan di sinilah mereka. Duduk melingkar di gazebo di samping perpustakaan. Dekat dengan gerbang belakang; alternatif bagi para siswa yang datang terlambat untuk masuk sekolah.
“Sori,” ujar Baron dengan, kalau kata Melodi, ‘ekspresi niat-gak niat’.
“Santai. Lagian kantin punya sekolah kenapa ribet banget, deh,” ujar pemuda yang dengan beraninya membalas tatapan sinis dari para kakak kelas.
“Tapi sama aja,” Jagad mendekat, “lambemu iku lho suuu.” (Mulutmu itu lho.)
Pemuda Wiraloka itu mencekik kawannya di antara lengannya. Yang tentu saja menimbulkan erangan kesakitan dari si korban.
“BARON ASU,” Jagad berteriak. Melepaskan cekikannya lantas langsung mengelap-elapkan tangannya pada punggung pemuda Dananjaya yang tengah terbahak sekaligus berusaha menghindari tangan Jagad yang mengejarnya gak selo.
Athala mengernyit, “Apa, apa? Diapain?”
“TANGANKU DIJILAT LHO!” seru Jagad yang membuat gazebo di sudut taman yang jarang didatangi siswa karena letaknya terlalu belakang itu sontak dipenuhi tawa.
Kecuali gadis di salah satu sudut yang malah menampakkan raut kosong. Membuat Kalingga yang menyadarinya sedikit segan untuk bertanya karena takut kawannya ini kemasukan atau semacamnya, membuatnya hanya berani menyenggol Melodi yang masih asyik mengunyah sosis bakarnya, mengisyaratkan untuk mengajak gadis di sampingnya bicara.
“Nan,” panggilnya. Gadis itu menoleh. Masih dengan raut setengah hidup. “Tumben diem aja?”
Air muka gadis kelahiran Jakarta itu sontak berubah. Memasang senyum yang terlihat sedikit terpaksa. Entah apa yang ada di pikirannya, ia lebih memilih untuk menutupinya. “Hah? Hehehehehe, enggak. Nggak papa, kok,” ujarnya.
Selama yang lain asyik mengobrol, tangannya sibuk menyingkirkan dompet yang sejak tadi dipandanginya ke samping. Membuat Melodi tak sengaja melihat sebuah foto yang mengintip keluar dari dompet rajut biru gelap itu.
Melodi mengambilnya, tentu tanpa sepengetahuan si pemilik. Kertas usang, dengan lipatan lipatan yang tak terlalu kentara karena sepertinya tersimpan dengan baik di sudut dompet rajut milik gadis di sampingnya.
Kenari cokelat tuanya langsung terbelalak melihat figur di potret itu. Dua orang anak kecil, bersebelahan. Perempuan dan laki-laki. Yang perempuan, ia sudah yakin itu Anantara, tetapi yang satunya ….
Dibaliknya potret tersebut. Ditemukannya halaman putih yang sudah sedikit menguning, beserta sebuah tulisan di ujungnya.
Wigatra, Ananta. (2005)
Melodi terkesiap. Benar, potret anak laki-laki di foto itu mirip dengan kawan sekelasnya yang baru saja bergabung dengan mereka.
Jadi ini, yang membuat Ananta tak mau bicara sejak tadi?
Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung mendongak. Menatap Wigatra yang masih bersandar di tiang kayu gazebo seraya sesekali tertawa. Lantas menyerukan sebuah tanya yang membuat hening kembali tercipta.
“Gat, ini kamu?”
ㅤㅤBonus foto yang udah jadi penghuni tetap dompetnya Ananta.
ㅤㅤ
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesembilanan
قصص عامةKarena Surabaya bagi mereka, bukan cuma sebuah kota. Ini perihal jurnal penuh cerita, asa, cinta dan cita, serta cara-cara melukis bahagia. Kesembilanan, dua ribu dua puluh satu, bersama para insan kelahiran dua ribu. ©seanandika