Temu : Kecelakaan

217 33 2
                                    

Sama seperti ombak laut utara yang tak pernah henti memamerkan deburnya, seperti lampu merah Ahmad Yani yang selalu khas akan kemacetannya, pula dengan semesta. Ia tak pernah berhenti menulis cerita baru bagi para penghuninya.

Selepas persekutuan meja kantin itu terbentuk dengan delapan orang walau salah satunya masih agak setengah hati, yang kalau diajak kembali harus melewati perdebatan yang memakan separuh jam istirahat dan membuat pemuda dari MIA tiga itu luluh juga walau sebenarnya masih terpaksa. Entah bagaimana, Surabaya menambahkan satu orang lagi. Seorang pemuda yang menjadi pelengkap jurnal mereka. Pemuda dengan senyum dan perlakuan yang sama manisnya, yang biasa dipanggil insan di sekitarnya dengan nama Wigatra.

Kisah bergabungnya Wigatra, berawal dari sebuah Kamis dengan mendung tipis yang menghias atap langit kota Surabaya. Baru tiga minggu sejak Baron mendapat predikat siswa SMA. Harusnya, sisa-sisa semangatnya masih tersisa walau hanya beberapa. Namun hari itu, bukannya senyum yang biasa ia suguhkan pada semesta yang terlukis di bibirnya, justru gerutuan yang mengiringi deru motor matic hitamnya yang menyapa debu aspal tanah pahlawan.

Bukan tanpa alasan pemuda matahari itu menunda sinarnya pagi ini. Kedua orangtuanya, bertengkar untuk kesekian kali tepat pada waktu sarapan pagi. Bukan hangat yang menyelimuti Kamis pagi yang dihias mendung tipis yang ia dapat di ruang makan yang tak seberapa luas, malah teriakan dilanjut suara barang pecah belah bertemu lantai yang mengisi ruang dengar sang pemuda.

Ah, langit Surabaya sepertinya ikut muram melihat air muka siswa yang masih sesekali melirik pada jam tangan di pergelangan tangan kirinya itu semakin suram.

Tak lama, kuda besi itu sampai di sebuah lapangan yang sudah terisi sepertiga penuh dengan sesama kuda besi lainnya yang sebagian besar ia kenali sebagai milik para siswa sekolahnya.

Ia menghela napas, berjalan santai seolah tak peduli bahwa jarum jam sudah menunjukkan waktu gerbang ditutup lima menit yang lalu. Baron sudah tahu ia akan terlambat. Oleh karena itu pemuda itu merasa tak perlu repot-repot buru-buru. Menghabiskan tenaga, katanya.

Tepat dua langkah sebelum ia membuka gerbang sekolah yang sudah ditutup, pemuda dengan ransel yang ia titik beratkan di bahu kanannya entah mendapat ihwal dari mana, suruhan bolos muncul di pikirannya. Toh, tak ada yang peduli juga apabila ia tak hadir sehari, pikirnya.

Oh, rupanya tak semudah itu ia berurusan dengan catatan semesta. Niatnya urung. Guru olahraga yang sekaligus menjadi pengurus komisi kedisiplinan sekolah menangkap raganya yang hanya memandang lapangan lewat sela jeruji gerbang tanpa berniat masuk.

"HE, LE! NGAPAIN DI SITU ITU? AYO MASUK!" teriaknya yang membuat Baron tersadar dan membenarkan posisi ranselnya lantas bergegas memasuki lapangan yang terdapat barisan murid-murid yang terlambat bersama alasan mereka masing-masing. Jumlahnya bisa dihitung jari, bahkan pemuda yang kawannya sudah sampai di angkatan tahun ketiga itupun tak mengenal satupun siswa-siswi yang berbaris di depannya sekarang.

Ia berdiri di samping pemuda yang tingginya tak jauh darinya. Namun dengan perawakan yang lebih tegas yang Baron pikir cocok-cocok saja apabila ia menjadi anggota Paskibra tingkat kota kalau saja ia tak melihat postur sedikit membungkuk yang ditunjukkan sang pemuda.

"Kelas berapa, kamu?"

Suara tegas itu kembali mengagetkan Baron. Ia lantas menunjuk dirinya sendiri yang dibalas anggukan dari yang jauh lebih tua.

"Sepuluh IIS satu, Pak," jawabnya sambil menegakkan bahunya.

"Kalian berdua ya, baru masuk SMA bentar wis telat kaya gini. Kalau gitu kenapa dari dulu gak pilih yang sekolahnya deket ..."

Baron acuh tak acuh. Bibirnya hanya diam, namun batinnya tak henti menyahuti omelan lelaki paruh baya di hadapannya.

"Kamu, kenapa terlambat?!" tanya beliau, Pak Arif namanya, pada pemuda di sebelahnya.

KesembilananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang