Temu : Persekutuan Meja Kantin

225 29 1
                                    

ㅤㅤ
ㅤㅤ
“Lho, kamu di IIS 1, Ron? Kenal Jagad sama Cakra, dong?"

Obrolan di sudut kantin itu masih berlanjut setelah perkenalan semi-terpaksa yang masih meninggalkan bekas dingin di sudut-sudut meja.

"Ya iyalah, Na. Orang sekelas."

"Ngaca ya, jepit kupu-kupu. Kamu juga nggak ngenalin Kalingga tadi padahal kalian sekelas."

Yang dimaksud hanya memajukan bibirnya sebal. Minuman yang tinggal seperempat diaduk-aduknya asal. Ia lantas menatap pemuda di hadapan yang masih acuh tak acuh dengan keadaan sekitar.

"Ya abis gimana, dia diem-diem mulu di pojokan kayak cicak," elaknya.

Sontak, pandangan netra hazel itu langsung mengarah ke arahnya. Pandangan mereka beradu beberapa saat sebelum akhirnya ia membalas, "Daripada bacot mulu kaya speaker tahu bulat."

Baron, melirik ke samping kanannya, tersenyum tipis sekaligus merasa agak canggung. Belum pernah ia merasakan aura dingin menyelimuti atmosfer di sekitarnya. Agaknya, ia merasa segan akan kedua orang yang kini sudah saling mengalihkan pandang.

Ah, tapi bukan Baron namanya kalau tidak bisa mencairkan suasana.

"Kalian gondok-gondokan gini nanti saling suka tau rasa," lontarnya kemudian.

Berhasil. Tak ada lagi tatapan dingin yang mereka lemparkan satu sama lain.

Iya ... kini tatapan keduanya justru berpindah pada sang pemuda matahari yang masih santai mengunyah potongan terakhir brownies cokelatnya.

"Amit-amit, deh," ketus keduanya, yang tak disangka, bersamaan.

Keempat anak manusia yang lain berusaha menahan tawa. Sementara yang berseru malah memalingkan muka tanda salah tingkah.

"Ini Thala bisa, nih, remake Ada Cinta Di SMA. Ya, nggak?" goda Nawang, menaik-turunkan alis sambil memasang senyum manis.

"Hah? Siapa, cinta di SMA?"

Sebuah suara datang dari belakang mereka. Keenam anak manusia itu lantas melirik ke sumber suara. Didapatinya dua orang pemuda, satu berseragam rapi, satunya sudah mengacak-acak dasi. Keduanya memasang wajah penasaran, yang entah dibuat-buat atau memang mewakili isi hati.

"Lalak? Emang ada yang mau, gitu?"

"Lambene (mulutnya) Jagad."

Athala, yang mereka panggil Lalak, kembali merengut kesal. Sementara Nawang malah tersenyum. Menyuruh keduanya menempati bangku panjang yang masih banyak bagian yang belum terisi di depannya.

"Genah (serius), Na, emang ada yang mau sama Lalak? Galak gini," ujar si pemuda kelonggaran dasi.

Athala di bangku tengah kembali mengeluarkan tatapan yang seketika membuat pemuda itu terdiam.

"A. Tha. La, Jagad gendeng! udah berapa kali dibilang," protesnya, sambil memberikan satu tendangan kecil di bawah meja, tepat pada tulang kering pemuda di depan kanannya.

"Kenapa sok-sok banget minta dipanggil Thala, sih?" sahut pemuda satunya.

“Ya itu namaku?!” Gadis di pojokan itu berusaha menahan amarahnya dengan menghela napas panjang. Sementara Kalingga, pemuda di hadapannya itu memutar bola matanya malas dan langsung beranjak dari tempat duduknya.

“Aku duluan. Nawang, makasih minumnya,” pamitnya sebelum melenggang pergi, ketika sesuatu di hatinya membuatnya berbalik.

“Oh iya, siapa– Baron?”

Pemuda yang namanya dipanggil lantas menoleh. Menatap netra cokelat yang menghadiahinya tatapan datar. Membuatnya sedikit segan walau belum ada satu kata yang keluar.

“Saran, jangan kebanyakan nonton drakor, deh. Ini bukan Boys Over Flowers.”

Tepat setelah berujar demikian, pemuda itu melenggang. Menyisakan enam orang di meja panjang yang menatapnya heran. Terutama yang dipanggil sebelumnya, Tuan Dananjaya yang sekarang tengah memercingkan mata sambil geleng-geleng kepala.

“Kasian, mau sok keren tapi lebih mirip orang sinting,” komentarnya, sebelum kembali melahap kue kering milik gadis di hadapannya, yang tentu saja tak sadar bahwa sebungkus kue kering yang tinggal setengah itu raib entah ke mana.
ㅤㅤ
ㅤㅤ

KesembilananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang