Karet Rambut dan Pesan Rahasia

103 11 1
                                    

“Ini temenmu bukan sih, Ling?”

Rabu selepas istirahat kedua, Kalingga harus absen dari agenda gazebo gerbang belakang karena ia, secara sepihak, diajukan untuk menggantikan Mbak Gemintang, yang mengikuti Kompetisi Sains Nasional, untuk menjadi penyiar, sebut saja begitu, di Rasa Buana. Radio sekolah yang sudah mengudara sejak lima tahun lamanya.

Sebenarnya ini bukan perdana, Kalingga menjadi manusia di balik siaran yang didengar penjuru sekolah setiap Rabu dan Kamis pada jam istirahat kedua itu. Namun hari ini, ada sebuah hal, sebuah kejutan yang membuat Kalingga semakin heran akan fakta bahwa ia terseret, lagi, pada lingkaran setan yang … bahkan ia tak tahu lagi harus menjabarkannya seperti apa.

“Ling? Oit?” Itu Renata Narwastu. Si otak jernih nan riang dari sepuluh MIA satu. Gadis berambut sebahu itu kini mengernyit heran melihat Kalingga mematung sembari menggenggam telepon genggamnya. Padahal ia cuma menunjukkan laman curahan hati anonim khusus warga Satya Buana, yang biasanya juga dibacakan si pemuda dengan senda tawa.

Juamput.”

Sebenarnya, apa yang membuat Kalingga terpaku hingga misuh seperti itu? Tak lain tak bukan adalah perkara dua hari lalu.

Masih ingat? Kalau tidak, biar kuulas kembali perkara yang membuat si pemuda makin lama makin penat.

Adicakra, rupanya sudah dipenuhi bisikan gila entah dari mana, dengan sok kerennya, menginjak jepit rambut yang dicari para kakak kelas itu hingga patah. Tak hanya jadi dua, pecahannya berserak ke mana-mana, dan diseret dengan ujung pantofel si pemuda hingga tak terlihat mata.

Terang saja, si pemilik masih tak tahu menahu perihal itu. Mereka masih mencari, menelisik dalam sunyi. Hingga akhirnya, dengan muka temboknya, putra tunggal Samiaji itu menyuarakan sebuah tanya.

“Nyari apa, Mbak?”

Kedua gadis itu, Anggun dan Ambar, yang sudah ditandai Adicakra sejak jumpa pertama mereka yang tak memiliki kesan yang baik di kantin sekolah, pun menoleh. Memasang raut kasihan yang memang sebenarnya sedikit membuat iba, lantas menghampiri perkumpulan mereka. “Nyari jedaiku, Dek. Kalian liat nggaaak?”

Terang saja mereka saling berpandangan kemudian menggeleng. Karena memang mereka asing dengan jedai alias jepit badai yang dimaksud kedua kakak kelas itu. Berbeda dengan Adicakra yang sudah punya skenario balas dendam di kepalanya.

“Walaaah, ya udah kalo gitu, Dek. Abis ini ada razia, koperasi tutup juga,” Ambar, si korban kehilangan melengos pasrah sebelum keduanya berpaling dari pandang mereka.

“Mbak, Mbak!”

Benar, itu Adicakra. Dengan tangan yang ia acungkan, sebuah karet rambut warna abu-abu tergenggam. Ia berlari menghampiri keduanya, memasang raut seolah tak pernah sebabkan perkara. Ia sodorkan karet rambut yang entah dari mana ia dapatkan, mencipta binar bahagia pada gadis yang tadi dilanda kebingungan.

“Ini aku ada karet rambut. Mbak pake aja, daripada kena razia,” tuturnya.

Kontan saja Ambar sumringah. Benda yang disodorkan adik kelasnya ini bak payung kala hujan tiba.

“DEEEK, MAKASIH BANYAAAK. Huhu tak pake dulu yaaa? Sek siapa namamu? Adicakra. Oke kapan-kapan tak ganti ya buat karet rambutnya? MAKASIH BANYAAAK.”

Adicakra mesam-mesem. Pikirnya, satu langkah ke depan untuk membuat kakak kelasnya ini berubah kesengsem. Pemuda itu lantas mengangguk sopan. Membiarkan mereka pergi dengan tinggalkan sebuah kesan.

Namun sebelum ia kembali ke gazebo, sebuah pukulan mendarat ke tengkuknya.

ADOH! SOPO NGANTEM AKU, COK?!”

CAK COK CAK COK, KOWE JANCOK! KARET RAMBUTKU CAAAAK. YA ALLAH YA TUHANKU. KEMARIN PRINGLES SEKARANG KARET. BESOK-BESOK BPKBKU MBOK-EMBAT SISAN.”

Si satu-satunya dara, terang saja, Melodi pelakunya. Perkaranya? Tentu saja si tukang tebar pesona yang ternyata ambil karet rambut kelabu tadi dari pergelangannya. Yang bodohnya juga, tak ia sadari sejak terjadinya perkara.

“Eh, jaran. Kalo mau tebar pesona tuh, silakan, tapi jangan nyeret-nyeret aku!”

Diomeli begitu, Adicakra cuma cengengesan. Ditepuknya kepala si gadis perlahan. “Iya, nanti kuganti,” ujarnya membalas semua omelan.

TERUS IKI MENGKO NEK ENEK RAZIA, AKU NGGO APAAA, CAKRAAA?!” (Terus ini nanti kalau ada razia, aku pake apa, Cakra?!)

Yang terakhir Kalingga ingat, adalah seluruh gazebo tergelak sewaktu si Asmaradhana mencak-mencak.

“Selanjutnya! Widiiih, ‘Untuk Adicakra angkatan tiga dua—’”

Suara Renata memecah lamunan Kalingga. Paras surgawinya masih diwarna heran. Bisa-bisanya? Maksudnya, bisa-bisanya ada yang kepincut dengan misi tebar pesona si kawan yang sama sekali tak bisa dibanggakan itu?

“Makasih banyak buat karet rambutnya, aku jadi nggak kena razia. Kapan-kapan, kuganti ya? Bilang aja mau ditraktir apa.’ Asik banget! Jadi mau ditraktir juga. Makasih ya, buat Adicakra, udah nyelametin si pengirim dari razianya Pak Arif, hihi. Pak Arif bisa nih, Pak, seringin razianya. Siapa tau ada yang mau modus kaya gini lagi. Bercanda ya, Sobat Satya. Nah, selanjutnya—”

Kalingga, yang sejak tadi terpaku hanya bisa geleng-geleng kepala.

“Orang-orang ini udah gila.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KesembilananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang