delapan

66 12 5
                                    

Keesokan harinya Nina kembali mengunjungi rumah sakit. Bedanya, kali ini ia datang sendiri, Angga dan Nisha mempunyai keperluan lain sehingga tidak bisa ikut dengannya. Bukan masalah bagi Nina. Toh, begitu sampai di rumah sakit, paling pasangan itu akan kembali meninggalkannya sendiri dengan Joshua.

Begitu naik ke lantai tempat Jo dirawat, perawat yang kemarin menjelaskan keadaan Joshua tersenyum menyapa Nina seolah mengenalinya. Bagi seseorang yang tidak mudah menghafal wajah seperti Nina, butuh beberapa detik sebelum akhirnya Nina mengingat perawat itu dan membalas senyumnya.

Sambil setengah menunduk Nina memikirkan apa yang harus ia katakan hari ini pada Joshua. Apakah tentang harinya? Tentang dosen-dosen galaknya? Tapi apakah Jo bahkan mau mendengar cerita hidupnya yang sangat biasa dan membosankan itu? Ataukah Nina harus bercerita tentang Angga dan Nisha? Ya, mungkin kisah mereka lebih menyenangkan untuk didengar.

Ketika Nina sampai di depan kamar Joshua dan membuka pintunya, semua pikiran mengenai apa yang ingin ia bicarakan menguap, tergantikan dengan kejut yang menyapu bersih benaknya. Di sana, Jo berada di kasurnya, dalam posisi duduk bersandarkan beberapa bantal, dan kali ini, matanya terbuka.

Iris yang kemarin tertutup rapat oleh kelopaknya itu bergerak ke arah tempat Nina berdiri, perhatiannya teralihkan akibat suara pintu yang terbuka—pada Nina, gadis yang berdiri membeku di ambang pintu. Mata Jo melebar samar, seolah melihat sesuatu yang menakjubkan tepat di depan matanya, kemudian senyumnya mengembang dan takjub di matanya bersinar lebih terang. "Nina? You're here!"

Mendengar namanya dipanggil membuat Nina percaya kalau ia tidak sedang berhalusinasi. Jo benar-benar ada di sana, bersandar pada tumpukan bantal, matanya terbuka, senyumnya terukir, dan suaranya terdengar. Ia sudah sadar.

Nina mengembuskan napas panjang dari mulut, mengisyaratkan kelegaan yang membebaskan dadanya dari rasa takut yang bahkan tak hampir membuatnya mati sesak. Ia menggumamkan nama Joshua dengan lirih kemudian membiarkan refleksnya bekerja semaunya dan berakhir membawanya setengah berlari ke pelukan laki-laki yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.

"OW! Oh... oh..." Jo mengaduh kaget saat Nina memeluknya. Ia tahu Nina belum tahu detail keadaannya maka ia hanya diam menahan rasa sakit yang timbul di dadanya, menerima dengan bahagia kelegaan yang ditunjukkan Nina sambil memeluknya balik semampunya dengan satu tangan kaku dibebat dan tangan lain ditusuk jarum infus. Namun, lama kelamaan tangan Nina semakin erat melingkar di tubuhnya. Meski senang dipeluk, Jo tidak mau mati karena dipeluk perempuan yang ia sukai. Maka ia menepuk punggung Nina halus.

"Um... Nina. Don't get me wrong, I really love your hugs, I really do! But I might still have a few broken ribs," ujar Jo suaranya agak tercekat mencoba menyampaikannya sehalus mungkin.

Nina terkesiap dan segera menarik dirinya beberapa langkah menjauh. Panik terbit di wajahnya dan kedua tangannya seketika berpindah menutupi mulutnya yang terbuka. Nina merasa bodoh dan malu. Tentu saja orang habis kecelakaan sampai koma memiliki cedera yang harus diperhatikan. Bagaimana bisa ia mengabaikan itu semua dan memeluk Jo seerat tadi tanpa memikirkan kemungkinan akan menyakitinya? Ceroboh sekali. Nina mengutuk dirinya tanpa ampun di dalam hati.

"I'm so sorry, Jo. I didn't... oh my God. I'm sorry. Sakit ya?" Nina terbata karena panik, suaranya meninggi.

Laki-laki itu tak bisa menahan tawa gemasnya. "Nggak terlalu. Saya baik-baik aja," ia berbohong. Nina tak perlu tahu sakitnya, nanti dia makin merasa bersalah. Kalau Jo harus bilang, rasa sakitnya seperti ditusuk puluhan pisau. Tapi Nina tidak perlu tahu itu.

"Saya cuma seneng liat kamu udah sadar," jelas Nina.

"I know. Saya juga seneng bisa liat kamu lagi," Jo tersenyum lembut.

second time | jjkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang