Udara malam yang begitu dingin di kota Bandung dapat Nabeel rasakan ketika hembusan angin itu menggoyangkan rambutnya. Kedua tangannya ia rentangkan sementara kedua matanya mulai terpejam.
Sebentar lagi
Waktu yang telah menunjukkan pukul sembilan malam lewat empat menit dipergelangan tangannya sementara suara kereta mulai terdengar.
Dan lo lenyap Nabeel, tunggu sebentar lagi.
Sorotan lampu kereta yang menyilaukan dapat Nabeel rasakan menusuk mata meski kedua matanya terpejam. Suara kereta terasa begitu dekat dengan dirinya yang tengah berdiri. Tepat di rel kereta.
Dan kereta dengan tujuan Bandung-Padalarang itu akan segera membawanya pergi. Lenyap dari dunia yang memuakkan.
Selamat tinggal, Pah.
Lantas bayangan ayahnya dengan wajah yang begitu tegas dan wajah yang memerah karena emosi saat sore terlintas. Bagaimana mulutnya yang melontarkan kata makian sementara tangannya melayangkan ikat pinggang yang membuat punggungnya berhiaskan luka memanjang. Dan rasa sakit itu harus dirinya tahan.
Selamat tinggal, Mah.
Kemudian wajah ibunya yang terlihat begitu sendu, suara tangisannya yang terdengar dari dalam kamar setelah bertengkar dengan ayahnya kini menyelinap masuk.
Nabeel menyerah.
Suara teriakan, makian, tangisan, barang-barang yang pecah karena lemparan, semuanya berkumpul menjadi satu sebelum suara kereta yang begitu dekat kembali terdengar.
Nabeel memejamkan kedua matanya semakin erat, menahan napasnya, sementara tangannya semakin mengepal kuat meyakinkan dirinya bahwa inilah jalan terbaik yang dia pilih.
Inilah caranya agar dia benar-benar pulang. Bukan pulang ke rumah yang kini menjadi sebuah tempat asing yang begitu dingin dan yang selalu menorehkan luka akibat pelampiasan, melainkan pulang kepada sang Pencipta.
Agar luka tak dapat dia rasakan lagi. Segala rasa sakit yang diderita pun akan hilang.
Sebentar lagi dirinya benar-benar akan pulang meski dengan cara yang salah.
Meski dia harus dibenci karena melangkahi takdir yang telah Tuhan gariskan.
"Sekarang Nabeel pilih, Mama atau Papa?"
Dan tanya dari sebuah pilihan yang begitu sulit dari mulut ibunya tak dapat Nabeel pilih, hingga akhirnya memilih untuk kabur dari rumah mengelilingi kota Bandung dan pada akhirnya dia memilih untuk berhenti tepat ketika palang pintu kereta menghalangi. Turun dari motor dan berjalan ke tengah Rel kereta.
Orang-orang yang berteriak menyuruhnya untuk segera menepi pun tak Nabeel hiraukan. Ia tetap berdiri bahkan ketika sorot lampu dan suara kereta sudah terlihat begitu dekat. Nabeel tidak peduli.
Karena yang ia inginkan saat ini adalah kematian.
Namun Tuhan selalu memiliki rencana yang tak dapat diterka dan segala rencana Nabeel untuk pulang kepada sang Pencipta pun kini telah dihancurkan ketika tangannya ditarik begitu kuat dan membuat tubuhnya terdorong jatuh kedekapan seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Banyu Geni || Lee Haechan
Roman pour AdolescentsNabeel Gibran Rafassya tidak lagi memiliki alasan untuknya tetap bertahan ketika rumah yang seharusnya menjadi tempatnya untuk pulang sudah tak bisa lagi ia harapkan. Ketenangan dan kebahagiaan tak lagi dia rasakan ketika teriakan dan cacian mendomi...