Pada akhirnya Nabeel memutuskan untuk kembali pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat. Ia memasukkan motornya di garasi ketika satpam di rumahnya membuka gerbang.
Tangan yang hendak mendorong pintu itu terhenti kala teriakan-teriakan dari dalam rumahnya terdengar membuatnya mendengus seketika.
"Kapan rumah ini sepi?"
Nabeel menyandarkan tubuhnya pada daun pintu, memejamkan kedua kelopak matanya, dan berkali-kali ia menghirup udara dan menghembuskannya untuk menenangkan diri. Ada sesak di dada yang tak mampu ia hilangkan.
Ia mengeratkan genggamannya pada knop pintu sebelum mendorong pintu rumahnya dan melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
"Kamu yang egois, Mas. Kamu tidak pernah memikirkan perasaanku dan selalu sibuk dengan pekerjaanmu."
"Aku bekerja untuk kalian."
"Untuk kami? Yakin kamu, Mas? Bukannya karena sekertaris barumu hingga kamu betah di kantor dari pada rumah?"
"Jaga bicara kamu Riska!"
"Itu memang benarkan, kamu sudah tidak mencintaiku lagi, Mas."
Prang!
"Lalu siapa pria yang bersama mu kemarin, hah? Jawab Riska."
Di balik pintu kamarnya, Nabeel duduk seraya menekuk kedua lututnya sementara kedua tangannya menutup telinga. Namun suara yang berasal dari kamar orang tuanya masih terdengar dengan topik bahasan yang selalu sama. Ayah yang terlalu sibuk di kantor dan terkadang bermain dengan sekretarisnya juga ibu yang kadang jalan dengan pria lain.
Sejak setahun lalu mereka memutuskan untuk pindah dari Jakarta ke Bandung keluarganya tak lagi utuh. Awalnya hanya keributan-keributan kecil ketika ayahnya, Bani selalu pulang telat dengan alasan karena lembur dan pekerjaan menumpuk. Ibunya masih memaklumi namun ketika tepat tiga bulan yang lalu wanita itu mendapati suaminya bersama sekretaris barunya jalan berdua keributan di rumah semakin menjadi.
Rumahnya memang begitu besar dan sangat luas, dengan cat putih yang mendominasi, namun rumahnya yang megah dan mewah itu tak lagi sekokoh dulu. Semuanya mulai goyah ketika keretakan-keretakan itu semakin membesar menciptakan lubang di dalamnya.
Kehangatan dan keharmonisan di keluarganya tak lagi Nabeel rasakan di dalam rumah. Bangunan itu terasa begitu dingin dan dirinya hanya bisa merasakan kesepian.
Tak ada lagi ibu yang menyayanginya, tak ada lagi ayah yang akan melindunginya. Orang tuanya telah banyak berubah, dan bahkan Nabeel tak lagi merasakan kasih sayang yang diberikan keduanya. Kini dirinya hanyalah sebuah sosok yang menjadi pelampiasan kedua orang tuanya.
Nabeel pikir, Bandung akan menjadi sebuah tempat yang akan memberikan kenangan-kenangan bahagia, menghilangkan segala penat ketika Jakarta sudah terlalu ramai, namun siapa sangka perlahan luka-luka itu mulai tergores dan semakin terbuka lebar ketika mereka pindah ke kota Kembang.
Ini sudah malam, namun mengapa rumahnya begitu ramai oleh teriakan yang tak kunjung berhenti dari dua sosok yang dia sayang?
Nabeel ingin istirahat. Ia lelah. Namun bagaimana mungkin ia tertidur dengan suara teriakan kemarahan yang mendominasi?
Getaran di hpnya yang berada di saku jaketnya membuat Nabeel segera mengambilnya. Ada pesan masuk dari nomor dengan nama Zevara membuat Nabeel mengernyit kebingungan. Ia tak pernah memiliki kontak dengan nama Zevara dan bahkan ia tak memiliki teman dengan nama itu.
Dengan ragu ia membuka pesan itu.
|Lo udah pulang?
|Siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Banyu Geni || Lee Haechan
Novela JuvenilNabeel Gibran Rafassya tidak lagi memiliki alasan untuknya tetap bertahan ketika rumah yang seharusnya menjadi tempatnya untuk pulang sudah tak bisa lagi ia harapkan. Ketenangan dan kebahagiaan tak lagi dia rasakan ketika teriakan dan cacian mendomi...