Seungcheol mengetukkan jarinya pelan pada pintu kayu di depannya. Pintu rumah Jisoo tentu saja. Seharusnya hari ini Ia memiliki jadwal untuk mengantar Jisoo ke Namyangju, kekasih manisnya itu sedang ada seminar kesehatan dan beberapa project kesehatan -entahlah Seungcheol tidak seberapa paham dengan ini. Sekaligus juga membantu pria manis itu membereskan barang di asrama dinasnya untuk kembali ke Seoul. Jisoo memang telah pasti akan berpindah praktek ke Seoul lagi dan meninggalkan Namyangju. Setidaknya itu bagian dari rencana mereka berdua setelah menikah.
Tapi entahlah, setelah dua hari lalu mereka bertengkar, Jisoo belum mau mengangkat telepon dan memutus komunikasi sepihak. Dan hal ini tentu membuatnya juga sama frustasinya memikirkan pria manis itu.
Baru saja Seungcheol kembali mengangkat tangannya untuk melanjutkan ketukannya karena merasa tidak menerima respon dari penghuni rumah itu, namun pintu besar itu tiba-tiba terbuka.
"Oh, Seungcheol-ah?" Ibu Jisoo langsung menyapanya ramah. Ibu Jisoo benar-benar masih memiliki wajah yang begitu cantik di pertengahan usia lima puluh tahunnya. Sikapnya juga sangat anggun, sama dan menurun sempurna kepada Jisoo. Wanita tersabar yang pernah Ia temui, bahkan jika boleh jujur Seungcheol justru lebih menghormati Ibu Jisoo daripada ibunya sendiri.
Jika dilihat dari sikap Ibu Jisoo yang masih ramah padanya, itu artinya Jisoo masih memendam permasalahan mereka kemarin.
Membuat Seungcheol segera tersadar dan memundurkan langkahnya lalu menunduk hormat sembari tersenyum hangat. "Apa kabar eomma?"
"Eomma baik-baik saja Cheol-ah. Ah iya ayo masuk."
Seungcheol hanya mengangguk pelan sembari masih tersenyum mengikuti Nyonya Hong yang seperti biasa selalu hangat dan menyuruhnya masuk ke dalam rumahnya.
"Pasti mau menjemput Jisoo ke Namyangju kan hari ini?" Tanya Ibu Jisoo lagi. Dan lagi-lagi Seungcheol hanya mengangguk agak ragu. Pasalnya memang Ia dan Jisoo belum berkomunikasi sejak hari itu.
Seungcheol lalu mengikuti ibu jisoo untuk duduk di kursi sofa ruang tamu. Di depannya tersusun kardus-kardus souvenir pernikahannya. Ah Seungcheol baru ingat memang kemarin adalah jadwal paketan souvenir mereka sampai. Tapi tentu Ia terlalu lupa dan Jisoo juga tidak mengabarinya tentang ini.
"Eomma pikir kalian tidak jadi pergi. Karena dari kemarin dan hari ini Eomma tidak melihat Jisoo bersiap akan pergi." Ucap Nyonya Hong jujur. Kembali merapikan souvenir ke dalam beberapa box-box tertentu. Entahlah Seungcheol tidak berniat tahu, yang ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana kabar Jisoo? Serius, Seungcheol tidak bisa berhenti memikirkan pria manis itu sejak hari itu.
"Juga, Eomma lihat Jisoo terlihat banyak mengurung diri di kamar dua hari ini. Apa kalian sedang ada masalah?" Seungcheol sontak menegang saat Nyonya Hong membuka percakapan tentang Jisoo.
Bukan karena Ia begitu panik karena takut akan digantung oleh orang tua Jisoo karena telah menyakiti perasaan putranya, tapi pikiran Seungcheol langsung fokus pada bagaimana perasaan Jisoo sebenarnya. Apakah laki-laki manis itu begitu merasa hancur dan sakit hati hingga mengurung diri begitu. Apakah Jisoo juga merasa seterpuruk dirinya setelah hari itu, atau bahkan lebih parah.
Entah kenapa dirinya jadi merasa begitu khawatir dengan pria manis itu.
"Jisoo di mana Eomma? Apa dia masih di kamarnya?" Seungcheol akhirnya memberanikan diri untuk menemui Jisoo.
"Oh ada Seungcheol." Belum sempat Ibu Jisoo menjawab pertanyaannya, tiba-tiba ayah jisoo menyapanya ramah dari tangga. Terpaksa menginstrupsi pertanyaan Seungcheol tadi.
Namun sebagai calon menantu yang baik lelaki Choi itu segera berdiri hormat kepada ayah kekasihnya itu. "Apa kabar Appa?"
Seperti biasa Tuan Hong segera menyambut calon menantu kesayangannya itu ramah. Beliau juga langsung merangkul Seungcheol erat, seperti putranya sendiri. "Tentu saja Appa baik-baik saja, bagaimana pekerjaanmu? Apa masih sibuk dan membuat putra manisnya selalu mengeluh? Eoh"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate • [cheolsoo](√)
FanfictionKetika semesta kemudian mulai memudarkan keyakinan choi seungcheol terhadap hong jisoo sebagai takdirnya. Maka mungkin perpisahan adalah jalan keluar terbaiknya. Tapi mungkinkah? ©raelyyn,2020