"Tidur soo, sudah malam." Ucap Seungcheol memperingatkan pelan. Masih memposisikan dirinya untuk tidur dengan menghadap Jisoo yang masih duduk bersandar tempat tidur dan terlihat sibuk dengan laptop miliknya.
Mereka berdua memang tengah beristirahat sejenak di salah satu hotel penginapan di tengah perjalanan. Lagipula memang keduanya baru berangkat sore hari sehingga tidak mungkin memaksakan perjalanan terus ke Namyangju.
"Hm?" Jisoo hanya meliriknya sekilas. Ia masih terlihat sibuk dengan materi acara seminar kesehatan yang akan dilakukannya besok siang. "Tidurlah dahulu, aku masih harus membaca ini."
Seungcheol hanya menghela napasnya pelan. Jisoo selalu keras kepala seperti ini.
"Tapi aku tidak bisa tidur melihatmu begitu. Dan lagi dengan lampu yang menyala."
Yang akhirnya sukses membuat pria manis itu menghela napas dan mengangguk setuju. Lalu bergerak mematikan laptop miliknya, meletakkan benda persegi panjang itu di meja counter beberapa meter dari ranjang mereka. Tidak lupa mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur dengan cahaya yang lebih remang. Sebelum ikut membaringkan tubuhnya di kasur king size itu. Memposisikannya untuk menghadap di sisi kanan. Langsung berhadapan dengan wajah Seungcheol yang juga masih bertahan pada posisinya untuk menatapnya.
Untuk sesaat membiarkan kedua tubuh dan onix mereka saling menatap satu sama lain. Dengan berbantal siku yang saling bersentuhan secara langsung. Di bawah selimut tebal yang sama. Saling membiarkan keheningan menyelimuti keduanya perlahan. Menyisakan suara gemericik hujan di luar yang mengetuk jendela kaca itu kontan.
"Besok bagaimana rencananya? Seminarmu selesai jam berapa?" Seungcheol akhirnya kembali membuka obrolan di antara mereka berdua.
"Jam 2 siang. Setelah itu, membereskan barang barangku di asrama?" Jisoo menjawab pelan. Sesuai rencana plan awal mereka dahulu.
Seungcheol mengangguk mengerti lalu tersenyum tipis. "Baiklah. Kalau begitu tidurlah. Besok hari yang sibuk untukmu."
Pria manis itu hanya kembali mengangguk pelan. Masih belum ada niatan untuk memalingkan kedua pandangan matanya dari dua onix gelap Seungcheol yang juga masih menatapnya dalam.
Membiarkan keheningan kembali hadir untuk mengisi ruang di antara mereka. Dengan pikiran mereka berdua yang saling berkecamuk masing-masing.
Walaupun bersama selama delapan tahun lamanya, tapi Jisoo rasa sudah lama juga mereka berdua tidak melakukan hal seperti ini. Hanya berdua, saling berdiam dan mendengarkan masing-masing. Dengan kesunyian dan hening di antara mereka. Hanya saling menatap diam tanpa beradu argumen yang sepertinya akhir-akhir ini lebih sering terjadi di antara mereka.
Mungkin memang benar apa yang dikatakan Seungcheol, selama ini dirinya terlalu banyak memikirkan diri sendiri. Seakan menjadi orang yang paling tahu segalanya tentang pria Choi itu, padahal untuk sekedar mendengar dan mengerti saja Jisoo tidak bisa.
Kata-kata yang Seungcheol akhirnya bicarakan padanya hari ini, sepertinya akan menjadi pembelajaran dan intropeksi diri yang cukup besar bagi Jisoo.
Jisoo tidak tahu apa yang selama ini Seungcheol rasakan dalam setiap diamnya. Setiap senyum dan perkataan penuh pujian antusias kala mendengarnya bercerita. Entahlah, tapi pasti itu hal yang sulit.
Memendam semua hal dan rasa sakit kecewa sendirian itu memang menyakitkan. Jisoo tau rasanya kala ia merasakan itu beberapa kali dalam hidupnya. Dan ternyata Seungcheol yang selama ini ia kenal paling dekat dan Jisoo pikir paling ia mengerti, menyimpan itu semua dalam delapan tahun hidupnya.
Menyimpan semua rasa kecewanya sendiri hanya untuk tetap terus melihat Jisoo bahagia.
Tapi mungkin ada satu hal yang dilupakannya. Jika memandam suatu kekecewaan terus menerus itu juga bukan selamanya menjadi hal yang baik. Dan nyatanya sekarang justru menjadi bom waktu bagi mereka berdua.
Tangan kiri Jisoo yang bebas perlahan bergerak, mengusap lembut lipatan siku milik Seungcheol di sampingnya.
"Maafkan aku. Membiarkanmu harus melewati semuanya sendirian. Dan maaf, aku bukan pasangan yang baik selama delapan tahun ini." Bisik Jisoo pelan sekali. Nyaris tidak terdengar walaupun Seungcheol masih bisa mendengarnya jelas.
"Jisoo-ya..."
Pria manis itu menggeleng pelan, sekilas tersenyum tipis, seakan menolak adanya pembicaraan balasan dari lelaki choi itu. "Let's sleep, besok hari yang sangat sibuk untukku."
"Selamat malam, Seungcheol-ah." Ucap Jisoo tulus dengan lembut. Tidak lupa kembali tersenyum singkat. Sebelum beranjak membalikkan posisi tubuhnya untuk menghadap ke tembok sebelah kirinya. Memutuskan membelakangi Seungcheol yang masih menatapnya sendu.
Jisoo meremat selimut tebal yang membungkus tubuhnya erat. Menggigit bibirnya keras untuk mencegah isakannya lolos. Menumpahkan segala air matanya yang kembali terjun deras dari dua mata indahnya.
Jika boleh Jisoo ingin sekali memohon. Ia bisa berjanji akan menjadi seseorang dan pasangan yang lebih baik. Tapi ia sungguh tidak bisa kehilangan harta berharganya selama delapan tahun ini. Dirinya tidak bisa kehilangan Seungcheol. Jika bisa menjadi orang yang kembali egois, bisakah Jisoo memohon untuk diberikan satu kesempatan lagi. Untuk mencintai dan menjadi pendengar yang baik bagi seorang Choi Seungcheol.
|TBC|
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate • [cheolsoo](√)
FanfictionKetika semesta kemudian mulai memudarkan keyakinan choi seungcheol terhadap hong jisoo sebagai takdirnya. Maka mungkin perpisahan adalah jalan keluar terbaiknya. Tapi mungkinkah? ©raelyyn,2020