Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan kanan Bong Gan.
"Tranggg...!"
Golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan terkejut sekali.
"Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup-hidup!" tegur Pek Lan.
Sementara itu, Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama. Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah.
Di dalam hati Bi Sian ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Namun ingatan bahwa Sie Liong sudah membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.
Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung itu, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dan menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.
Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan. "Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagai mana pun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?"
"Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membenci orang itu dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, jika dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali."
Kim Sim Lama menyeringai. "Untung sekali tadi pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia."
Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apa lagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan.
"Untung bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya."
Penjaga yang diutus tadi sudah datang kembali bersama seorang pendeta Lama yang kurus tinggi dan gerak-geriknya lembut. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, dan pandangan matanya lembut, akan tetapi dahinya penuh kerut merut seperti biasa terdapat pada wajah orang yang banyak menderita tekanan batin.
"Camundi Lama, cepat engkau obati luka di lengannya yang buntung itu. Kami tak ingin melihat dia cepat-cepat mati."
Pendeta tua itu mengangguk tanpa menjawab, kemudian menghampiri Sie Liong dan memeriksanya. Setelah memeriksa beberapa lamanya, dia menarik napas panjang.
"Dia sudah kehilangan cukup banyak darah, dan detik jantungnya amat lemah. Kini dia membutuhkan perawatan yang cermat. Pinceng akan merawatnya, tapi harap kamar ini dikosongkan dan buntungan lengan itu disingkirkan. Juga bekas-bekas darah itu supaya dibersihkan."
Kim Sim Lama mengangguk dan berkata kepada semua orang, "Kita tinggalkan dia bersama Camundi Lama, tabib kita yang pandai."
Dan kepada para penjaga dia memerintahkan agar membuang buntungan lengan dan membersihkan percikan darah. Lalu dengan sikap masih tak senang Kim Sim Lama pun pergi meninggalkan kamar itu.
Pek Lan memberi isyarat kepada Bong Gan dan Bi Sian agar kembali ke kamar mereka. Thai Yang Suhu juga kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi Pek Lan ikut masuk ke dalam kamar Bong Gan dan Bi Sian.
Di dalam kamar yang disediakan untuk mereka berdua itu, Pek Lan diam-diam merasa geli. Di situ hanya ada sebuah saja tempat tidur, akan tetapi melihat betapa lantai kamar terdapat sebuah bantal, selimut dan buntalan pakaian Bong Gan, mengertilah ia bahwa Bi Sian memegang teguh pendiriannya, yaitu ia tidak sudi dijamah Bong Gan sebelum mereka menikah, yaitu setelah mereka berhasil menemukan Pendekar Bongkok.
"Adik Bong Gan, yang sudah terjadi tadi sudahlah. Akan tetapi lain kali harap engkau suka bertanya-tanya dahulu sebelum melakukan sesuatu. Untung bahwa Kim Sim Lama tidak marah tadi. Kalau dia marah, siapa pun tak akan mampu melindungi keselamatan nyawamu lagi."
Wajah Bong Gan menjadi kemerahan dan di dalam hatinya, dia marah dan penasaran karena merasa dipandang rendah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan kemarahannya, apa lagi karena semenjak tadi Bi Sian juga menghindarkan pertemuan pandang mata dengannya dan alis gadis itu selalu berkerut tanda bahwa hatinya tidak senang.
"Demikian lihaikah Kim Sim Lama itu?" Bong Gan bertanya, seolah-olah ingin membalas dan memandang rendah.
Pek Lan tersenyum memandang pemuda yang semenjak masih remaja pernah menjadi kekasihnya itu. "Aihh, adik Bong Gan. Engkau tidak tahu siapa losuhu Kim Sim Lama! Dia pernah menjadi orang ke dua di seluruh Tibet! Dan tentang kelihaiannya? Hemmm, biar pun kalian berdua juga amat lihai, namun aku pernah mencoba kalian dan menurut pendapatku, bila kita bertiga ini mengeroyok Kim Sim Lama seorang diri pun kita akan kalah."
"Ahh, demikian hebatkah dia?" Bong Gan berseru dan terbelalak kaget.
Bi Sian melirik kepada pemuda itu dan berkata dengan nada suara kesal. "Kalau tidak lihai, mana mungkin dia dapat menawan Pendekar Bongkok? Tidak seperti engkau yang menyerang orang yang sudah kehilangan ingatan dan tenaganya!"
"Aihh, Sian-moi, mengapa engkau berkata demikian? Bukankah semua itu kulakukan demi engkau! Demi membalas sakit hatimu terhadap dia?"
Bi Sian bersungut-sungut. "Aku paling tidak suka perbuatan yang pengecut dan curang. Suhu pasti tidak akan suka melihat perbuatanmu tadi! Kalau aku membalas dendam, tentu akan kulakukan dengan cara orang gagah!"
"Sian-moi, engkau tidak adil..."
"Sudahlah, untuk apa kalian ribut-ribut dan bertengkar? Peristiwa itu sudah terjadi dan bagaimana pun, adik Bong Gan belum membunuhnya. Tahukah kalian mengapa Kim Sim Lama melarang Bong Gan membunuh Pendekar Bongkok?"
"Kenapa, enci Pek Lan?" Bi Sian bertanya karena ia pun tertarik sekali.
Ia mulai merasa heran kenapa kini kebenciannya terhadap Sie Liong hampir tak terasa lagi, bahkan terganti rasa iba dan khawatir! Yang terbayang di depan matanya bukan pembunuhan atas diri ayahnya, namun semua kebaikan dan sikap penuh kasih sayang dari pamannya itu kepadanya sejak mereka masih kecil!
"Kim Sim Lama membutuhkan Pendekar Bongkok hidup-hidup karena dia ingin melihat Pendekar Bongkok mati di Lhasa, bukan di sini, sehingga nanti Dalai Lama yang akan bertanggung jawab atas kematiannya, bukan Kim Sim Lama."
"Kenapa begitu?" Bi Sian bertanya sambil mengerutkan alisnya. Hatinya sudah merasa tidak senang karena perbuatan itu dianggapnya licik dan curang.
Pek Lan tersenyum. "Kalian memang perlu diberi penjelasan supaya kalian tahu siapa yang kalian bantu dan apa artinya perjuangan yang sedang dilakukan Kim-sim-pang ini. Ceritanya panjang, akan tetapi sebaiknya kupersingkat saja. Ketika Dalai Lama masih kecil, Kim Sim Lama menjadi wakilnya dan semua urusan bahkan ditangani oleh Kim Sim Lama atas nama Dalai Lama. Akan tetapi sesudah Dalai Lama semakin besar, semua tindakannya tidak cocok dengan pendapat Kim Sim Lama. Bahkan Dalai Lama lalu mengutus para pembantunya untuk membunuhi banyak pertapa di Himalaya. Para pembantu utamanya adalah Tibet Ngo-houw. Karena perbuatan itu sesungguhnya tidak disukai oleh Kim Sim Lama, maka akhirnya terjadi pertentangan dan Kim Sim Lama pun meninggalkan Lhasa, membentuk Kim-sim-pang yang bertujuan menentang kelaliman Dalai Lama. Bahkan Tibet Ngo-houw akhirnya juga ikut membantu perjuangan Kim Sim Lama."
"Kalau begitu, Kim-sim-pang adalah perkumpulan pemberontak?" Bi Sian bertanya.
"Bagi Dalai Lama tentu begitu, akan tetapi bagi kami, kami tengah mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang kelaliman Dalai Lama."
"Akan tetapi, apa hubungannya dengan Pendekar Bongkok? Dan kenapa pula Kim Sim Lama menghendaki agar orang menduga bahwa Pendekar Bongkok terbunuh di Lhasa oleh Dalai Lama?" Bi Sian mendesak karena ia merasa tertarik sekali.
"Pendekar Bongkok adalah utusan yang mewakili para tosu dan pertapa dari Himalaya yang pernah dikejar-kejar dan dibunuhi atas perintah Dalai Lama. Karena Pendekar Bongkok hanya tahu bahwa yang melakukannya terutama sekali Tibet Ngo-houw, maka dia mencari Tibet Ngo-houw sampai ke sini. Kim Sim Lama sudah menjelaskan bahwa Tibet Ngo-houw hanyalah petugas yang mentaati Dalai Lama saja, bahwa Dalai Lama yang bertanggung jawab. Bahkan Kim Sim Lama mengajak Pendekar Bongkok untuk bersama-sama membantu perjuangan menentang kelaliman Dalai Lama. Akan tetapi dia tidak mau, bahkan menyerang Tibet Ngo-houw. Dia memang hebat, lihai bukan main dan barulah dia dapat tertawan sesudah Kim Sim Lama sendiri turun tangan. Begitulah keadaan yang sebenarnya. Karena Dalai Lama yang memusuhi para tosu, maka Kim Sim Lama juga tidak mau membunuh Pendekar Bongkok itu di sini. Kesalahannya harus ditimpakan kepada Dalai Lama yang menjadi biang keladi."
Mendengar keterangan itu, diam-diam Bi Sian membayangkan keadaan pamannya itu. Jelas baginya bahwa pamannya adalah seorang pendekar yang menjunjung perintah guru-gurunya, yaitu Himalaya Sam Lojin serta Pek Sim Siansu. Pamannya merupakan seorang pendekar yang melaksanakan tugas di Tibet ini dan kini ditimpa mala petaka. Sedangkan dia? Dia dibantu Bong Gan hanya hendak melampiaskan nafsu dendamnya kepada pamannya itu.
"Aihhh, paman," keluhnya di dalam hatinya, "kenapa engkau tega membunuh ayahku?"
"Enci Pek Lan, kapan Pendekar Bongkok itu akan dibunuh, dan bagaimana dengan rencana pembunuhan yang akan dilakukan di Lhasa itu?" tanya Bong Gan.
Kali ini suara dan isi pertanyaan pemuda yang menjadi sute-nya dan juga tunangannya itu terdengar sangat tidak sedap di telinga Bi Sian. Sedikit rasa suka dan kagum yang pernah mengeram di hatinya terhadap pemuda itu kini menipis, bahkan timbul kembali penyesalan yang mendalam bahwa ia dan sute-nya itu menjadi korban obat bius dan perangsang sehingga ia terpaksa harus menjadi isteri Bong Gan karena dirinya telah ternoda oleh laki-laki itu!
Pertanyaan yang diajukan Bong Gan itu menarik pula perhatian Bi Sian yang kini ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya dengan pamannya itu. Melihat bahwa pamannya buntung lengan kirinya oleh sabetan golok Bong Gan dalam keadaan tidak dapat melawan itu saja sudah membuat hatinya terasa sedih bukan main, bahkan kini dia merasa heran mengapa dia pernah begitu membenci pamannya dan ingin sekali membunuhnya!
"Hal itu masih dirahasiakan Kim Sim Lama, Bong Gun. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan ia lakukan terhadap Pendekar Bongkok. Dan aku mengenal watak Kim Sim Lama, maka aku tidak berani bertanya. Hanya kalau kita dipanggil dan diberi tugas, kita harus melaksanakannya dengan baik. Nah, kini mengasolah dan harap pertengkaran yang tak ada gunanya itu jangan dilanjutkan."
Akan tetapi Bong Gan merasa benar betapa berubah sikap suci-nya atau calon isterinya itu terhadap dirinya setelah terjadi peristiwa pembacokan tadi. Bi Sian bersikap dingin, dan jarang sekali memandang kepadanya.
Akan tetapi, diam-diam Bong Gan merasa girang karena setelah lengannya buntung, tentu makin tidak ada harapan bagi Sie Liong untuk melarikan diri. Dia tentu akan mati dibunuh Kim Sim Lama, dan amanlah rahasia pembunuhan yang dia lakukan terhadap Yauw Sun Kok itu. Betapa pun juga, melihat sikap wanita yang pernah digaulinya, yang akan menjadi isterinya demikian dingin, hatinya merasa kesal dan mendongkol juga.
Memang sejak terjadi hubungan badan antara mereka karena Bi Sian terpengaruh obat bius dan perangsang itu, dia selalu teguh memegang janji dan tidak pernah dia berani menyentuh calon isterinya itu. Akan tetapi setidaknya, selama ini sikap Bi Sian biasa dan baik, tidak seperti malam ini.
Kalau siang tadi Bi Sian menurunkan sebuah bantal, sehelai selimut di sudut kamar itu yang menjadi isyarat bahwa dia harus tidur di lantai malam itu, dia masih melihatnya dengan senyum saja. Akan tetapi sekarang, melihat Bi Sian rebah miring menghadap ke dinding membelakangi dia yang sedang duduk di atas lantai, hatinya menjadi semakin mendongkol.
Melihat tubuh Bi Sian yang membelakanginya, Bong Gan teringat akan peristiwa yang penuh kemesraan baginya pada malam itu, ketika dengan penuh gairah yang panas Bi Sian menyerahkan diri kepadanya! Tidak seperti Bi Sian yang terpengaruh obat bius sehingga dalam keadaan setengah sadar, Bong Gan sadar sepenuhnya dan menikmati perbuatan mereka itu sepenuhnya. Teringat akan peristiwa itu, timbullah gairah dalam hati Bong Gan dan dia pun bangkit, kemudian menghampiri pembaringan Bi Sian.
"Sian-moi..." panggilnya lirih.
Tubuh itu tidak bergerak, masih menghadap ke dinding, membelakanginya.
"Sian-moi..." kembali dia memanggil lembut dan kali ini dia duduk di tepi pembaringan, menjaga agar jangan sampai tubuhnya menyentuh pinggul atau punggung Bi Sian.
Sekali ini Bi Sian melirik. "Hemm, mau apa engkau? Jangan duduk di sini!"
"Sian-moi, masih marahkah engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku, Sian-moi? Aku merasa sangat menyesal, aku sama sekali tidak ingin menyinggung hatimu, Sian-moi. Kau tahu betapa besar cintaku kepadamu..."
"Sudahlah, jangan bicarakan urusan itu lagi. Pergi sana, tidur!"
"Sian-moi, jangan engkau begini kejam. Aku... ahh, betapa rinduku padamu, Sian-moi... perkenankanlah aku menyentuhmu, aku... ingin menciummu, satu kali saja, Sian-moi. Bukankah kita akan menjadi suami isteri?"
Bi Sian bangkit duduk, matanya bersinar marah. "Apa? Engkau hendak melanggar janji? Sudah kukatakan, sebelum kita menikah engkau tidak boleh menyentuhku!"
Bong Gan terkejut dan bangkit berdiri. "Akan tetapi aku belum menyentuhmu, Sian-moi. Aku memegang janji, aku hanya mengatakan bahwa aku rindu sekali. Bahkan akulah yang khawatir kalau-kalau engkau yang akan melanggar janjimu untuk menjadi isteriku setelah Sie Liong tewas."
"Aku tidak akan sudi melanggar janji. Kalau Pendekar Bongkok sudah tewas, baru kita menghadap ibuku dan mohon perkenan serta doa restunya. Sesudah itu barulah kita melangsungkan pernikahan."
"Tapi, Sian-moi, biarkan aku berdekatan sebentar denganmu, hanya untuk menunjukkan bahwa engkau benar sudah tidak marah lagi kepadaku..." Pemuda itu masih memohon.
"Sudahlah, kalau engkau masih terus merengek apa lagi berani menyentuhku, baru aku akan menjadi marah benar! Kau tidurlah!"
Bong Gan telah mengenal watak suci-nya itu yang tidak pernah mengeluarkan ancaman kosong belaka. Hatinya menjadi kecewa sekali dan timbul kekesalan hatinya. Dia adalah soorang pemuda yang tidak pernah ditolak wanita, dan kini dia ditolak oleh wanita yang sudah jelas akan menjadi isterinya! Bukan hanya tidak boleh mencumbu rayu, bahkan menyentuh pun tidak diperkenankan.
Sambil menarik napas panjang dia pun mundur, lalu berkata dengan nada suara kesal, "Dari pada tersiksa tidur di lantai dan memandangmu tanpa boleh mendekat, lebih baik aku tidur di luar kamar." Setelah berkata demikian, dia pun keluar dari kamar itu, dan menutupkan kembali daun pintu kamar itu dari luar.
Tadinya Bi Sian tidak peduli Bong Gan akan tidur di mana pun juga. Tetapi, lapat-lapat ia mendengar suara ketawa lirih di luar kamar pada saat Bong Gan membuka pintu dan suara ketawa itu tidak terdengar lagi ketika daun pintu ditutup. Hal ini lalu menimbulkan kecurigaan hatinya.
Dia khawatir kalau-kalau Bong Gan mendatangi lagi tempat tahanan untuk membunuh Sie Liong. Ia tidak ingin sute-nya itu atau ia sendiri membunuh Sie Liong begitu saja. Ia akan terlebih dahulu minta penjelasan kepada pamannya itu mengapa dia membunuh ayahnya. Setelah itu, untuk membalas dendam, barulah ia akan menantang Sie Liong, dengan bantuan Bong Gan. Itulah yang ia kehendaki ketika ia mencari Sie Liong. Bukan membunuhnya dalam keadaan yang tidak berdaya seperti itu.
Kecurigaan dan kekhawatirannya membuat Bi Sian cepat-cepat meloncat turun dari atas pembaringan. Dengan hati-hati sekali sehingga tidak mengeluarkan suara, lalu dia pun menghampiri pintu dan perlahan-lahan membuka sedikit daun pintu itu untuk mengintai keluar. Ia masih melihat Bong Gan dan Pek Lan di dekat tikungan lorong, saling rangkul dan berciuman sebelum mereka menghilang di balik tikungan itu.
Bi Sian menjadi bengong dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Bermacam-macam perasaan mengaduk hatinya, terutama sekali kemarahan. Dia sama sekali tidak marah karena cemburu. Tidak! Dia tidak peduli apa pun yang dilakukan Bong Gan kini.
Namun dia mendapat kenyataan betapa pria yang terpaksa harus diterimanya sebagai calon suaminya itu ternyata adalah seorang lelaki yang rendah dan hina! Sebagai tamu orang berani berjinah dengan wanita lain!
Tadinya, ada dorongan untuk mengejar dan memaki-maki mereka berdua. Akan tetapi segera timbul pikiran lain. Mengapa ia harus marah? Ia menutupkan kembali daun pintu kamar itu, menguncinya dari dalam dan ia pun duduk di sisi pembaringannya, melamun.
Tidak! Tidak mungkin ia dapat menjadi isteri seorang laki-laki macam itu. Belum menjadi suaminya saja sudah berani melakukan penyelewengan di depan matanya! Dan ia telah ternoda oleh pria macam itu! Tak terasa lagi air matanya bercucuran turun membasahi kedua pipinya.
"Tidak!" Ia menahan suaranya yang ingin berteriak. "Aku tidak sudi menjadi isterinya!"
Dan kembali ia teringat betapa ia telah ternoda oleh Bong Gan. Biarlah. Aku tidak akan menikah selama hidupku. Akan tetapi aku tidak akan menikah dengan Coa Bong Gan!
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya. Tangisnya terhenti walau pun mukanya masih basah air mata. Terbayang betapa Bong Gan dan Pek Lan saling rangkul dan saling berciuman tadi. Ahh, perbuatan dua orang itu tadi hanya membuktikan bahwa sebelum malam ini memang sudah pernah ada hubungan di antara mereka.
Dan peristiwa di malam jahanam itu, ketika dia terbius dan terangsang oleh racun yang dicampurkan ke dalam makanan dan minuman, sehingga dia menyerahkan diri kepada Bong Gan di luar kesadarannya, pada saat hal itu terjadi Pek Lan berada pula di dekat mereka. Hal ini menimbulkan kecurigaannya.
Agaknya ada sesuatu antara Bong Gan dan Pek Lan, sesuatu yang busuk dan agaknya sudah berjalan lama di luar pengetahuannya!
Bagaimana juga, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak mau menjadi isteri Bong Gan! Bagaimana kalau pemuda itu menagih janji? Ahh, mudah saja, pikirnya. Peristiwa malam ini bisa dijadikan alasan kenapa ia membatalkan janjinya. Ia memperoleh alasan yang kuat sekali. Bi Sian tersenyum walau pun mukanya masih basah air mata.
Sungguh aneh. Ia kini merasa seolah-olah bebas dari himpitan batu besar. Dan ia pun menyadari bahwa kalau selama ini ia merasa tertekan dan selalu murung, ternyata yang menyebabkan adalah ingatan bahwa ia harus menjadi isteri Bong Gan!
Kini, sesudah dia memperoleh alasan kuat untuk membatalkan janjinya, hatinya terasa ringan dan nyaman sekali. Dan tidak lama kemudian Bi Sian sudah tidur pulas, dengan beberapa butir air mata masih tergantung di bulu matanya, akan tetapi dengan mulut tersenyum manis.....

KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH PENDEKAR BONGKOK (seri ke 17 Bu Kek Siansu)
Acción(seri ke 17 Bu Kek Siansu) Jilid 1-33