Jilid 11/33

1.1K 7 0
                                    

"Kong-kong, tolonglah aku...!"

Gadis itu meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang dia dapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.

Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.

"Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo cepat lepaskan Siu Si...!" teriaknya sambil lari mendekati si hidung besar dan berusaha untuk membebaskan cucunya.

Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu lantas menendang sehingga tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.

"Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan jika engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!"

Dia kemudian memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu. Dia lalu menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan terus menangis melihat kakeknya ditendang roboh.

"Kawan, perlahan dulu!"

Tiba-tiba saja Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong.

Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung besar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.

"Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?" bentaknya marah.

"Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya," kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.

Marahlah si hidung besar. "Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?" Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. "Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?!"

Sie Liong mengerutkan alisnya.

"Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Oleh karena itu, kalau tidak kau bebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya."

"Hah?!" Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh.

"Kau... kau... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!" Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. "Hajar mampus setan bongkok ini!"

Kedua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada lagi kesenangan yang lebih mengasyikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.

Selain itu, mendatangkan uang pula karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang teramat mudah, pikir mereka.

Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan sejati, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apa lagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak menunjukkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan hanya seorang pemuda bongkok sederhana saja.

"Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!" salah seorang di antara mereka mengejek.

"Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!" Orang ke dua memperoloknya.

Namun Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka. Memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.

Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlomba siapa yang akan terlebih dahulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.

Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja teramat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya, lalu terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka terbanting keras ke atas tanah.

Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.

"Tuan-tuan... jangan membunuh orang...!" kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok para tukang pukul itu. "Orang muda, pergilah, larilah...!"

Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak ingin mempedulikannya.

Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun, lalu berkata, "Lopek, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, karena itu mereka patut dihajar..."

Baru saja Sie Liong bicara demikian, dua orang sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri, mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun!

Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya. Mereka tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu segera akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah.

Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.

"Plak! Plakkk!"

Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras.

"Ngek! Ngek!"

Mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.

Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!

"Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!" bentaknya.

Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. "Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!" katanya.

Tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biar pun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar. Tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar melepaskan goloknya karena tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga.

Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah ke depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, menyambut Sie Liong dengan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.

"Aduh... aduhhh... aughhhhh!"

Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mendorongnya sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!

Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lalu lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.

Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.

"Taihiap... mata kami buta, harap maafkan..." kata Kwan Sun. "Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan sudah menyelamatkan kami, akan tetapi... harap taihiap cepat pergi dari sini... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama banyak anggota gerombolannya..."

Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biar pun dirinya sendiri dan cucunya sedang terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadi pun menganjurkan agar dia melarikan diri supaya tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.

"Bangkitlah, lopek," katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. "Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun yang jahat itu muncul!"

Tidak sukar pekerjaan ini sebab tadi pun, pada saat pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, hampir seluruh penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa perlu diperintah lagi, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun.

Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu hendak berbicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tua pun tak mau ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!

"Saudara-saudara," katanya dengan suara lantang, "kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, mengapa diam saja dan tidak melawan?"

Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.

"Mana kami berani?" akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.

"Andai kata Sie Kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun ini?" tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih muda tidak mengenal Sie Kauwsu.

Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. "Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu masih hidup!"

"Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan membantuku!"

"Kami... kami tidak berani..." beberapa orang berseru. "Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang pukul yang lihai."

"Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apa lagi jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!" berkata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran. Mengapa begini banyak pria di dusun orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat?

Meski pun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi sudah mengalahkan tiga orang tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chungcu dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.

"Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini."

Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu dengan perkelahian. Dengan demikian, andai kata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan dipersalahkan oleh Bouw-chungcu.

Tidak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di dalam rumahnya.

Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi telah dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.

Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin. Baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil.

Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya telah datang seorang pemuda bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai. Dia segera mengumpulkan pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.

Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru, "Itulah si setan bongkok!"

Lurah Bouw mendongkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi, tiga orang tukang pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat digagalkan pemuda itu!

Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.

"Engkau ini orang bongkok dari mana, beraninya datang ke dusun kami dan membikin kacau?"

Sie Liong mengangkat muka dan memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong mengejutkan hati lurah itu. Sie Liong pun tersenyum.

"Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini. Aku datang untuk menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya kini dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor serigala yang kejam! Engkau telah mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun. Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan membersihkan dusun kami ini dari serigala-serigala berwajah manusia yang berkeliaran di sini!"

Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.

"Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!" Dan dia menoleh kepada para anak buahnya. "Pukul dia sampai mati!"

Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini, mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok, pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong.

Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu dan bersembunyi di rumah sendiri saking takut terlibat.

Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan serta merta membuat lengan mereka menjadi seperti lumpuh!

Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang. Sementara itu, yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang semakin ganas.

Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah Bouw sendiri menjadi sangat penasaran. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia pun maju menyerang dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.

Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacokan itu luput dan lewat di dekat pundaknya. Sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan tubuhnya menjadi kaku!

Di lain saat, Sie Liong sudah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!

KISAH PENDEKAR BONGKOK (seri ke 17 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang