klik bintang dulu fren biar ga lupa.
*****
LAKI-LAKI dengan headphone terjejal di lehernya itu berjalan menyusuri lantai dua sebuah gedung dengan raut wajah ditekuk. Adalah Faras Faiq Purnama, seorang anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya itu bernamakan Hana, dan dialah penyebab dari kekesalan Faras saat ini. Bagaimana tidak, di tengah keasyikannya bermain futsal bersama teman-teman di kompleks perumahan, sang bunda meminta Faras untuk menjemput adiknya dengan alasan Hana ingin ditemani pergi ke toko buku. Manja sekali, pikirnya.
Faras berhenti tepat di depan sebuah aula dengan pintu sedikit terbuka yang ia yakini sebagai ruangan tempat adiknya mengikuti seminar. Ia melirik sekilas jam tangannya, dan kini dirinya lagi-lagi mengumpat. Seharusnya ketika Faras tiba di sini, seminar sudah selesai dan ia tidak perlu lagi menunggu.
"Ini kerjaan orang-orang caper yang enggak tahu waktu. Udah tahu waktunya habis tapi masih aja nanya-nanya ke pemateri. Pematerinya juga, Astagfirullah ... di stop-in, kek!!" monolognya.
"Masnya kenapa marah-marah sendiri?" tanya seorang perempuan dari arah belakang mengagetkannya. Faras menebak bahwa perempuan itu adalah salah satu dari panitia acara jika dilihat dari seragam yang dikenakannya.
"Jangan kepo!"
"Lah?" balas perempuan itu jadi ketus. "Tapi ini seminar khusus perempuan. Ngapain nyelonong ke sini? Masnya perempuan?"
"Iya, memang perempuan. Kerudung saya aja yang ketinggalan." Faras pun mengawur.
Perempuan itu jadi geleng-geleng kepala dibuatnya. Tidak ingin tambah jengkel, ia pun memilih pergi sembari menggerutu, "beneran perempuan ternyata. Mulutnya bisa enggak punya rem gitu. Gantengnya mubazir!"
Faras masih bisa mendengar apa yang dikatakan panitia itu barusan, hanya saja ia memilih diam karena bukan bagian itu yang menjadi urusannya sekarang. Ia mempertanyakan sebenarnya apa yang didiskusikan di dalam sana sampai melewati waktu seperti ini?
Dari arah luar, Faras bisa mendengar apa saja yang diucapkan oleh si pemateri mengingat ruangan tersebut memang tidak didominasi oleh peredam suara. Agar bisa lebih cepat, ia memilih menyembulkan kepalanya ke dalam dan meneliti di mana posisi adiknya agar bisa ia panggil. Kalau perlu ia akan memanggil dengan suara yang cukup keras sambil menyindir semua orang yang ada di sana tentang penguluran waktu tersebut.
"Untuk Kakak sendiri yang katakanlah sudah sukses di usia muda, apa Kakak punya patokan untuk mahar pernikahan Kakak nanti? Dan apa mahar yang sedikit akan menjadi masalah buat Kakak melihat perjuangan Kakak sampai di titik ini bukanlah hal yang mudah? Sedangkan di samping itu menikah adalah tujuan yang baik. Terima Kasih, Kak. Saya Dania."
Ampun dah, pertanyaan lagi? Dan si pemateri masih bersedia menjawab? Kacau, umpat Faras dalam hati.
Faras kini mengalihkan pandangannya ke arah pemateri seminar tersebut. Tinggi perempuan itu sekiranya hanya 153 cm, wajahnya putih bersih, dan pembawaannya terlihat menyenangkan. Dari gayanya berpakaian juga mencerminkan seorang muslimah yang baik. Faras jadi penasaran jawaban apa yang akan diberikan perempuan tersebut saat mengetahui bahwa ia adalah seorang perempuan sukses seperti yang dikatakan sang penanya tadi.
"Bagus sekali pertanyaannya, Dania. Baiklah, kalau begitu saya akan mencoba menjawab."
Faras mulai menyimak seraya bersedekap dada. Ia berdiri di pojok seorang diri tanpa ada satu orang pun yang menyadari keberadaannya, termasuk pemateri tersebut. Barusan Faras juga sempat membaca sekilas nama pemateri itu pada spanduk di depan sana.
Marwah Zahira Mulki.
Jawaban yang diberikan Marwah cukup mengesankan Faras. Sebuah jawaban yang mengandung tiga alasan di mana satu alasan berupa pemakluman, sedangkan dua lainnya berupa bentuk kerendahan hati. Tidak bisa dipungkiri, Faras kagum akan dua alasan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERPIHAN
Fiksi Umum"Coba tebak ... antara satu sampai sepuluh, kegantenganku nomor berapa?" "Tebak? Apaan? Minta pendapat kok malah tebak." "Karena memang udah ada ukuran pastinya." Marwah menatap jengkel untuk ke sekian kali. "Pilihan minus enggak ada? Minus yang pal...