Part 18. Perang

700 56 12
                                    

Bab 18. Perang
Aku menatap lekat Ardi yang sedang asyik dengan sarapannya, semakin dilihat dalam-dalam, ada aura yang membuat hati merasa tertarik, bahkan jantungku terus menerus berdegup kencang. Ah, jangan-jangan degupan ini mengalahkan dentingan sendok dan piring, yang lagi dilihatinnya sih santai aja makan, seolah tanpa beban.

"Jadi sarapannya cukup ya hanya dengan melihat wajahku? Ehm, aku ganteng ya?" ucapnya pede abis, dia mengangkat kepala, dan tatapannya tepat mengarah ke dua mataku.

Deg! Jantung seolah berdetak lebih kencang dari sebelumnya, wajah terasa kebas dan memanas, entah kini apakah pipiku bahkan memerah, dan tiba-tiba saja aku tersedak saking gugupnya, tak menimpali ucapan Ardi, hanya menunduk, lalu pura-pura menyendok makanan dan memasukkannya ke mulut, entah kenapa kerongkongan seolah bersekongkol mempermalukan, rasanya susah sekali menelan, seolah makanan maunya mengganjal terus di kerongkongan.

"Pelan-pelan makannya, nih minum biar enggak kesusahan nelen dan tersedak." Ardi menyodorkan segelas air putih. Aku langsung menyambar gelas itu dan meminum airnya tergesa.

"Pelan-pelan," ucap Ardi, mengulang ucapannya, aku hanya mengangguk. Entah kenapa suasana malah terasa canggung sekali, bahkan aku tak berani mengangkat kepala.

"Kamu kenapa enggak jadi pergi ke kota?" tanyaku, mengalihkan perhatian dan perasaan yang semakin tak menentu dan aneh rasanya.

"Sengaja, ada beberapa hal yang harus kuurus di Dusun Manggung Asri."

"Sesuatu, apa itu berkaitan dengan Teh Saras?"

"Ya bisa dibilang begitu, aku juga mau menemui Ujang untuk membicarakan kemungkinan siapa saja pelaku yang telah merusak barang bukti yang kita miliki, juga nanti agak siangan kami akan menemui Pak Jarwo."

"Pak Jarwo, untuk apa?"

"Untuk menyatakan perang dan memberinya peringatan, kelakuannya di malam itu sungguh benar-benar di luar batas, bagai binatang, bahkan kamu pun hampir jadi korban. Sudah saatnya aku melawan secara terang-terangan, dan membuat dia membayar semuanya." Ardi terlihat geram.

"Bagaimana cara melawannya? Apa dengan mengumpankan lagi Teh Saras? Bukankah itu terlalu mahal, dia sosok wanita malang, walau dia sudah gila tapi di dalam mata wanita itu bahkan menyimpan duka yang sangat dalam, di malam dia menyelamatkanku, aku bisa melihat dan merasakannya," ucapku, bergetar.

"Tidak! Aku sudah memutuskan tidak akan lagi memakai cara seperti dulu, kamu benar, seharusnya aku tidak membuat Saras terus-terusan menderita, selama ini aku pun mungkin sebenarnya paling bersalah atas keadaannya," ucapnya, yakin, nada sendu tersirat dalam ucapannya.

Bahkan kini aku seolah melihat sosok lain dari lelaki di depanku. Jika kemarin-kemarin dirinya tampak lelah, kurang percaya diri, dan lainnya. Kini, Ardi seolah berbeda, dia sepertinya lebih yakin akan dirinya sendiri.

"Kamu sedikit berbeda di pagi ini," ucapku, kembali menatapnya lekat, dia membalas tatapanku.

"Semalaman aku berpikir banyak, selama ini sebenarnya aku pun mirip Dean, jika adikku mempunyai sifat yang tempramen dan emosi yang meledak-ledak, sedangkan aku sebenarnya selalu merasa takut dan  kurang percaya dir, tapi aku berusaha menutupinya.  Masa lalu itu juga sebenarmya berdampak pada psikisku, bahkan sebenarnya sejak meninggalnya mama, tak pernah bisa benar-benar tertidur nyenyak, kadang selalu merasa jadi sosok kakak yang gagal melindungi adiknya," lirih Ardi.

Untuk sesaat aku seolah lupa dengan degupan jantung yang dari tadi sedikit mengganggu, terkejut melihat sisi lain Ardi, tampak begitu rapuh dan rentan.

"Apa kamu pernah konsultasi ke psikiater dan semacamnya?"

Ardi mengangguk.

"Lalu?"
Dia menghela napas panjang, seolah sedang membuang beban terberatmya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SaraswatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang