Part 4. Sosok yang Menyakiti Kitty

2.4K 116 3
                                    

"Bukankah ini ...?" Aku hanya bisa membekap mulut menggunakan tangan. Siapakah kamu sebenarnya, Ardi?

Raga seolah limbung. Bagaimana jika ternyata lelaki yang kemarin-kemarin menolongku itu adalah sosok yang sangat jahat? Apa maksud buku bersampul hitam ini? Di dalamnya nyata terlihat tulisan rapi milik seseorang. Bukan! Ini bukan buku biasa, tapi diary seseorang, tepatnya milik Saraswati. Bagaimana caranya Ardi sampai bisa memilikinya?

Berbagai pertanyaan berkejaran di benak, belumlah rasa penasaran ini terjawab, selembar foto jatuh dari sela tengah buku. hati makin bingung, bagaimanalah, foto itu menampakkan sosok yang sangat dikenal. Jelas terlihat wajah Saraswati dan Ardi, mereka sedang tertawa bersama, di wajah keduanya seolah menyiratkan kebahagiaan dan tanpa beban.

Apa sebenarnya hubungan Ardi dan Saraswati? Saat pertanyaan tersebut menari-nari di benak, terdengar sesuatu berderit, mirip suara pintu. Samar terdengar langkah seseorang. Apakah lelaki itu kini menuju ke sini? Jantungku berdegup kencang, tergesa menyelipkan foto ke dalam buku dan meletakkan kembali di tempatnya.

Tangan segera menekan tombol saklar lampu. Ruangan gelap kembali. Senyap, hanya terdengar suara langkah kaki yang makin mendekat, entah siapa. Aku hanya bisa melangkah pelan agak menunduk, mencoba mengingat letak barang-barang di ruangan tersebut agar tidak terantuk sesuatu dan membuat gaduh hingga ketahuan menyelinap. Cahaya dari Hp cukup membantu, setelah dirasa cukup aman, mendekati belakang meja di dekat rak-rak buku, posisinya cukup terlindung dam tidak kelihatan.

Duk!

"Siapa di sana?" Suara bariton seorang pria yang cukup kukenali terdengar menggema.

Aku hanya bisa membekap mulut. Sial! Lututku tadi terantuk meja. Ruangan senyap kembali, menyisakkan derap langkah yang kini makin dekat. Lantas sebuah tangan kekar menyorotkan lampu senter ke arah saklar, dia berjalan menuju sana. Memencet tombol saklar lampu. Membuat ruangan gelap berganti terang benderang.

Keringat sebesar biji jagung menyerbu kening dan tengkuk, jantung terus saja bertalu-talu, hati penuh rasa cemas. Takut ketahuan. Sosok itu terdengar menghela napas panjang. Dia berjalan ke sana kemari memastikan tak ada sesuatu. Dia menuju ke meja tempat raga ini bersembunyi.

Aku mencoba mendongakkan kepala walau takut, mengintip dari sela-sela balik meja. Sosok itu malah berdiri lama di dekat meja tempatku bersembunyi. Dia mengetuk-ngetuk meja.

"Apa aku salah dengar ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Nada suaranya tenang sekali, seolah tidak takut andai ada penyusup di ruangan tersebut. Aku yakin itu suara Ardi. Dia melangkah lagi, sepertinya mengambil sesuatu, lantas sepertinya melangkah menjauh, lalu mendekat, tepat ke arah tempatku bersembunyi, apa kini dia akan tahu? Tuhan, tolong aku. Belumlah rasa panik itu tuntas mendera, sesuatu berbunyi nyaring, hati mencelos, pria itu bersuara penuh wibawa. Aku hanya bisa menunduk dalam.

***

Aku hanya bisa menatap Ujang penuh emosi, walau kami saudara, tapi rasanya hati seolah tak percaya. Bagaimana mungkin dia bisa menuduh seseorang yang sangat berarti bagi diri ini.

"Ujang jangan bercanda, tidak mungkin dia tega menyakiti Kitty, lagipula bukankah kamu juga kenal, dan lelaki itu sedang melanjutkan study-nya?" ucapku, penuh emosi.

"Teh Saras sabar dulu atuh jangan emosi. Ini kan baru prediksi. Awalnya Ujang juga enggak percaya, tapi bagaimana ya, semua bukti menunjukkan ke Den ..."

"Cukup, jangan sebut namanya. Sebaiknya kamu teh sekarang pergi, Teteh enggak habis pikir Ujang bisa seperti itu."

"Euleuh ari Teh Saras, Ujang enggak ada maksud nyakiti, dipikirkan lagi secara jernih. Nanti kita pikirkan solusi buat semuanya. Jangan sampai bertindak gegabah dan terburu-buru."

"Sudah, kamu pergi saja, Jang!" bentakku.

Ujang hanya menghela napas panjang, lantas menepuk bahuku.

"Teh Saras yang sabar, jangan sampai berbuat nekat, kalau perlu bantuan, hubungi saya. Pokoknya apapun yang Teteh butuh, Ujang siap bantu."

Ujang menatap penuh rasa tulus, emosiku perlahan turun. Lihatlah, lelaki desa itu bahkan sudah kubentak, tapi dia masih saja menawarkan bantuan. Dia tersenyum, lantas mengangguk, mengucapkan salam, pergi meninggalkan raga ini yang masih mematung.

Bagaimana bisa aku tidak emosi coba, nama yang Ujang sebut adalah sosok sahabat terbaik, orang yang selama ini sangat mengerti diri ini. Tidak mungkin dia tega melakukan itu semua, bahkan masih terekam di ingatan ketika dirinya heboh hanya karena tanpa sengaja membunuh semut. Benar, hanya semut. Masa bisa tega sampai menyakiti Kitty?

Ingatan melayang ke saat sahabat terbaikku itu memberi sesuatu, tahukah itu apa? Ya, dia memberi hadiah seekor anak kucing yang lucu, Kitty. Benar, orang yang Ujang tuduh dialah orang tersebut. Setega itukah dia menyakiti hewan yang bahkan dulu dia elus penuh kasih. Aku tak percaya. Sangat tak pecaya. Dean mampu melakukannya.

Dean adalah sahabat terbaik, aku tahu dia menaruh hati, tapi rasanya hati tak bisa percaya begitu saja bahwa dia mampu melakukan tindakan keji. Rasanya semua seolah mimpi. Bahkan sebelumnya tak pernah terpikir sedikit pun dia ada di dekatku. Ujang pasti salah. Harus dicari kebenarannya.

Aku harus ke hutan larangan, Dean bukanlah pria pengecut yang tega menyakiti Kitty, hewan yang dulu dihadiahkannya. Dia adalah sosok lelaki sejati, tak tega menyakiti siapapun, terutama menyakiti hatiku. Sahabatnya sendiri. Semua harus dibuktikan.

Aku akan ke sana. Hutan larangan. Semuanya akan Seger jelas. Tak peduli siapapun pelakunya, dia harus membayar semuanya dan aku yakin dia bukanlah Dean. Sosok lelaki baik hati yang selama ini sangat kukenal.

-Bersambung-

Foto: lifestyle.okezone.com

SaraswatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang