1

912 257 73
                                    


"Mau ke mana Pa?"

"Ikut yuk Ma, Junio datang, akhirnya dia harus dan mau pulang, setelah Om Hendrik meninggal siapa yang akan mengelola perusahaannya yang besar kayak gitu, Junio sebenarnya gak minat, dia seniman di Belanda kan dia ngelola art galery sama almarhum istrinya paling nggak dia bisa dan ngerti gimana berbisnis yang bener."

Sesil menghela napas ia ingat bagaimana dulu Junio sering berada di rumahnya, Junio dan Beryl, suaminya, bersahabat sejak kanak-kanak, hingga Sesil juga menganggap Junio layaknya saudara. Satu lagi yang membuat mereka semakin dekat karena anak mereka, Agni sangat dekat dengan Junio. Bahkan saat Junio pindah ke Belanda dan menikah di sana, Agni sempat sakit selama seminggu. Sesekali saat ada dana lebih mereka ke Belanda, berlibur bersama, tapi sejak Junio menikah Agni tak pernah lagi mau diajak ke Belanda.

"Ayo, Ma, mumpung Tante Linda sudah bisa diajak ngobrol, karena sejak Om Hendrik meninggal kan Tante Linda jadi kayak sulit diajak ngobrol, kayak sedih aja."

"Iya iya bentar Pa, aku cuman tinggal make blouse aja, sama rias tipis-tipis."

"Iya lah Ma, ini juga kan masih dalam suasana duka di sana, jangan rias yang tebel." Sesil hanya terkekeh.

Tak lama kemudian, saat akan berangkat keduanya melihat Agni yang turun dari lantai dua, terlihat baru bangun tidur masih dengan baju tidur dan wajah bantalnya.

"Mau kemana Papa sama Mama?"

"Om Junio datang, ikut yuk?"

Agni menggeleng, wajahnya berubah semakin ditekuk.

"Di rumah aja, lagian siang nanti aku ada jadwal kuliah."

Beryl dan Sesil saling berpandangan, keduanya mengerti, sejak Junio menikah, Agni terlihat enggan mendengar nama Junio, awalnya keduanya menganggap dulu hanya sekadar kesedihan anak kecil yang ditinggal om tercinta tapi saat Agni tak juga bisa melupakan Junio dan selalu membandingkan cowok yang mendekatinya dengan Junio hingga Beryl dan Sesil mulai khawatir.

"Ayo ikut bentar, sekalian kita ngucapkan bela sungkawa untuk Om Junio."

Agni mengerutkan keningnya.

"Udah tau, eyang kan meninggal sebulan lalu."

"Bukaaan, bukan itu, istri Junio juga meninggal tak lama setelah Om Hendrik meninggal."

Mata Agni membulat karena merasa tak ada yang memberitahu.

"Iya, Tante Tamaramu yang cantik meninggal, kanker serviks dan Junio serta anaknya yang tampan harus merelakan itu, Junio datang sendiri karena Axel, anaknya masih di Belanda, bersama keluarga Tamara."

"Aku ikut kalo gitu, bentar ya Ma, Pa, aku mandi dulu, gak lama kok."

Beryl geleng-gelengan kepala, merasa aneh saja.

.
.
.

Beryl, Sesil dan Agni diterima oleh keluarga besar Joyo hadiningrat dengan penuh kekeluargaan, persahabatan keluarga itu terjalin sejak kakek Beryl dan Junio. Hingga akhirnya Junio muncul dengan wajah yang sulit ditebak, meski tanpa ekspresi tapi masih berusaha tersenyum saat melihat Beryl dan Sesil.

"Iku bela sungkawa ya Nio, untuk papa dan istrimu."

Beryl memeluk sahabatnya, yang meski usianya dua tahun di bawahnya ia sangat suka pada kepribadian Junio yang ramah dan hangat. Junio mengangguk, lalu memeluk sahabatnya dan menyalami Sesil yang menepuk punggung tangannya.

Yang membuat Junio tertegun saat melihat Agni yang lama tak bertemu dengannya, mungkin belasan tahun kini sudah menjadi gadis yang cantik. Sangat berbeda dengan gadis kecil berambut panjang dan berkucir dua serta poni yang lebat, mengekor mengikutinya dan sekali minta gendong, lalu ajakan khasnya, kita nikah yuk, Om! Perlahan bibir Junio tertarik ke samping, apalah arti ajakan seperti itu bagi anak usia lima tahun saat itu.

"Ini Agni?"

"Ya Allah sampai lupa, ayo Agni salim sama Om, tadi ke eyang main peluk aja ke Om kok jadi kaku." Sesil menarik lengan anaknya yang terlihat enggan.

Di depan Agni berdiri laki-laki tegap, dengan rambut yang diikat rapi ke belakang dengan bulu-bulu yang agak lebat disepanjang pipi dan dagu, pemandangan yang benar-benar tak diduga oleh Agni karena yang ia tahu dulu Junio tak memelihara cambang dan rambut yang tercukur rapi. Dan kesadaran Agni kembali saat kepalanya diusap lalu hidungnya ditarik.

"Lupa sama Om?"

Agni hanya menggeleng meraih tangan Junio lalu ia arahkan ke hidungnya dan melepaskannya lagi.

"Sudah besar keponakan Om yang cantik, rambutnya tetep panjang, ayo ah kita duduk."

Dua sahabat yang lama tak bertemu terlihat asik berbicara meski Junio lebih banyak tersenyum, sedang Sesil tampak berbicara dengan mama dan kerabat Junio yang lain. Agni beberapa kali melirik Junio dan diam-diam mengamati laki-laki yang sering mengganggu tidurnya di malam hari.

Tak lama mereka disuguhi makanan kesukaan mama Junio, puding. Entah ada sejarah apa dengan makanan itu mengapa mama Junio sangat menyukai berkreasi dengan aneka puding.

"Ayo cicipi, ini kesukaan Hendrik, puding Lychee dengan sausnya yang segar kayak gini dan buah Lycheenya aku biarkan utuh juga di atas pudingnya, hanya ini yang bisa mengalihkan kesedihanku, kesedihan beruntun, Hendrik, lalu Tamara ditambah lagi Axel yang lebih kerasan di Belanda, beruntung Junio mau pulang, eh ayo gadis manis cicipi puding Oma, pasti enak."

Agni hanya mengangguk dan mencicipi sesendok demi sesendok lalu memilih duduk agak menjauh dari keriuhan keluarga besar Junio yang lain.

"Makan kok sambil berdiri, ayo ke sini sama Om."

Agni kaget bukan main, piring puding hampir saja jatuh, untung Junio sigap, ia pegang piring sekaligus tangan Agni.

Entah mengapa jantung Agni jadi tidak baik-baik saja, perlahan ia tarik tangannya dari genggaman Junio.

"Heiiii masih marah sama Om? Kenapa nggak mau ngomong? Hahahah ... maaf Om gak ngabarin kamu duluuuu saat Om mau nikah, Om keburu sih takut ditolak lagi sama Tante Tamara yang cantik, sayang, dia cepat sekali meninggalkan Om dan Axel dan ... hei mau kemana?"

Junio menarik lengan Agni. Ia melihat kilatan air mata di mata bening itu, ada apa?

"Masih belum mau ngomong sama Om?"

"Boleh kan Agni kembali ke papa mama?"

"Boleh tapi jawab dulu, kenapa Agni masih marah sama Om?"

Agni sedikit memajukan wajahnya.

"Om tahu? Aku tu percaya banget kalo Om sayang sama aku, tapi nyatanya nggak, Om menikah sama orang lain, padahal aku benar-benar ingin menikah sama Om, trus pas nikah gak ngabarin aku, tiba-tiba aja sudah nikah, segitunya deh."

Terdengar tawa Junio, ia tak mengira jika Agni masih saja seperti anak-anak, masih saja mengharap mereka menikah, apa yang ada dipikiran Agni? Junio benar-benar bingung. Ia usap rambut Agni.

"Dengar Agni Sayang, Om sangat sayang sama kamu, karena kamu sudah kayak anak bagi Om, dan ... heiiii, Agniii, Agniiii ....!"

Agni setengah berlari, meletakkan piring puding, meraih tasnya di sofa depan dan terus menuju ke luar. Beryl dan Sesil saling pandang lalu menoleh ke arah Junio yang terlihat bingung.

"Ada apa?"

Junio hanya mengangkat bahunya sambil menggelengkan kepala, ia bingung mengapa Agni menahan tangis.

🌷🌷🌷

19 April 2021 (19.46)

Publish ulang 2 Februari 2022 (05.55)

Nikah Yuk, Om! (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang