5

557 164 23
                                    

Junio mengelus bibirnya, teringat bagaimana bibir manis gadis itu menjejah bibirnya. Junio mendesah pelan, ia pejamkan matanya, setelah Tamara baru ia sadari jika Agni bisa membangkitkan napsu primitif yang telah lama ia pendam.

"Jangan suka padaku anak kecil, aku tak ingin jatuh cinta lagi, rasanya sangat sakit saat kehilangan, dan aku sudah berjanji pada papa dan mamamu bahwa aku tak akan pernah jatuh cinta padamu."

Dan pintu terbuka, Junio melihat mamanya yang berjalan pelan lalu duduk di dekatnya.

"Jika kau tak ingin ada apa-apa antara kamu dengan anak itu, jangan turuti kemauannya saat ia ingin berdua denganmu, kamu laki-laki normal, dia cinta sama kamu, semua hal bisa saja terjadi."

"Iya Ma, aku baru sadar jika aku masih normal, tadi dia nyium aku dan aku hehe ternyata juga ingin dia lebih lama menciumku."

"Nah kan, mama nggak salah kan Nio ngingatkan kamu."

"Yah."

"Cobalah buka hati pada Stevi, dia seusia denganmu."

"Nggak kalo sama dia Ma."

"Kenapa?"

"Dia sudah ada yang punya, salah satu manajer di kantor, sejak awal kayak gimana sama aku, padahal dia sudah punya istri tapi masih main sama Stevi."

"Maksudmu Stevi jadi pelakor?" Linda kaget bukan main.

"Aku nggak tahu pelakor apa gimana yang jelas mereka hanya berteman, dekat tapi saling memuaskan, itu yang aku dengar dan aku bukan suka gosip Ma tapi melihat mata laki-laki itu yang seolah menyimpan bara, aku jadi yakin pada rumor yang beredar."

"Ya pelakor itu Juniooo, dia ganggu suami orang, gimana sih kamu, mama nggak percaya rasanya Stevi kayak gitu, kok mau dia hanya jadi teman tidur."

"Kebutuhan Ma."

"Ya nikah dong."

"Gak ada yang sreg katanya "

"Juniooo mau sampe kapan pun nggak akan pernah ada pasangan ideal, ingat itu!"

"Ya gak tahu itu si Stevi mau aja sama suami orang, tapi kalo ditegur sama rekan-rekan sekantor katanya sih jawabnya kan nggak ada niat mau ngambil suami orang hanya teman saat sama-sama butuh."

"Astaghfirullah Juniooo, ke mana otaknya kok jadi gitu, aku kenal orang tua Stevi, bagaimana dua orang itu mengajarkan hal adap santun dan aturan moral."

"Hehe jaman sekarang Ma, udah nggak ada lagi bagi sebagian orang."

"Innalilahi kok jadi gini."

"Ya udah jamannya Ma, udah ah tidur aja Ma, males juga bahas Stevi."

Linda menahan lengan Junio.

"Sekali-sekali anakmu telepon, dia perlu orang tua bukan kakek dan neneknya, ia perlu juga pengawasan Nio, pergaulan di sana kayak apa, anak SMP di sana kan sudah kayak ngerti semua pergaulan yang aneh-aneh."

"Nggak juga Ma, kan tergantung pengawasan juga sih."

.
.
.

Sesil merasa aneh dengan wajah ceria Agni, ia intip dari pintu kamar anaknya yang tak tertutup rapat. Agni berguling-guling di kasurnya sambil memeluk guling.

"Hei ada apa anak Mama? Pasti karena tadi ketemu Om Junio ya?"

Agni segera duduk, saat mamanya tiba-tiba masuk.

"Maaaa kalo ada Farel bilang nggak ada coba Ma, aku capek, dia kayak anak-anak aja baru suka aku dia sudah ngelarang ini itu, belum juga jadi ceweknya makanya aku males pacaran sama anak-anak, mending sama om-om jadinya kan ngertiin aku banget."

Sesil duduk di ranjang Agni, ia tatap wajah anaknya lalu ia genggam tangan Agni.

"Dengerin mama, kamu akan lebih baik dekat dengan laki-laki yang seusia denganmu, jika dengan laki-laki dewasa akan semakin sulit beradaptasi, apalagi kalau sudah punya anak maka ...."

"Maksud Mama, Om Junio kan? Kenapa sih? Kan yang jalani hidup Agni, resiko juga Agni yang ngalamin."

"Karena kami sayang kamu makanya kami nggak mau kamu terluka."

"Laki-laki sebaik Om Junio mana mungkin nyakitin Agni."

"Bukan Junionya tapi keadaan yang akan bikin kamu nggak mampu ngadepin Agni, masalahnya terlalu komplek, lingkungan Junio yang tak cocok bagi kamu, teman-teman dia yang nggak akan bisa kamu pahami, itu yang kami takutkan, bisa-bisa kamu terluka kalo nggak bisa bertahan."

"Semua resiko akan Agni hadapi asal ada Om Junio di samping Agni."

"Kamu masih sangat belia Agni, kamu nggak akan tahu seperti apa berumah tangga itu, seperti apa masalah orang dewasa."

"Tapi bukan berarti orang berusia muda nggak bisa ngadepin kan Ma?"

"Iya kadang ada yang bisa tapi sulit."

"Sulit, artinya ada celah bisanya."

"Kamu akan kesulitan, kamu terbiasa kami manjakan."

"Ini dari tadi seolah Mama mau bilang kan kalo Mama nggak merestui seandainya aku nikah sama Om Nio?"

"Bukan masalah setuju nggak setuju Agni, tapi kami khawatir sama kamu."

Tiba-tiba saja Beryl juga ikut masuk ke kamar Agni. Agni melihat wajah orang tuanya bergantian. Ia merasakan aura tak nyaman pada wajah keduanya.

"Papa juga sama kayak mama kan? Nggak setuju juga, ya sudah kalo semua nggak setuju, aku nggak akan nikah seumur hidup."

Beryl mengelus rambut anaknya.

"Kamu anak semata wayang kami, semua curahan cinta kami hanya sama kamu, kalo kami tidak setuju bukan berarti kami menghalangi kebahagiaan kamu, tapi lebih pada menjaga agar kamu tidak tersakiti."

"Om Nio sahabat Papa, mama juga kenal sejak lama, lalu kenapa bisa kalian khawatir aku nggak bahagia hidup sama sahabat kalian? Kalian kan tahu gimana Om Nio, laki-laki sabar, baik, iya kan Pa, Ma?"

Beryl duduk di kasur, ia usap punggung Agni. Ia mengangguk.

"Dia memang laki-laki baik, tapi bukan berarti cocok sama kamu, jarak usia kamu jauh banget sama Nio, itu akan jadi masalah bagi kehidupan rumah tangga kalian, tunggu sebentar papa mau tanya, sekarang yang jadi inti masalah, kalian saling menyukai apa gimana?"

Agni diam ia menunduk, sedang Beryl dan Sesil saling pandang, sambil menunggu Agni menjawab. Mereka mendengar Agni menghela napas.

"Saat ini memang belum, tapi Agni yakin Om Nia akan segera suka bahkan mungkin cinta sama Agni sebagai wanita."

"Dari hal apa kamu bisa menyimpulkan kayak gitu Sayang?"

Lagi-lagi Agni diam agak lama, lalu perlahan Agni menoleh pada papa dan mamanya yang duduk di sebelah kanan dan kirinya.

"Tadi ... Agni ... nyium Om Nio."

Beryl dan Sesil terbelalak mulut mereka terbuka tanpa mereka sadari.

"Laluuuu ..."

"Om Nio awalnya diam saja tapi lama-lama dia balas ciuman aku."

Beryl memejamkan matanya, mengatupkan gerahamnya dengan keras, juga kedua tangannya menggenggam dengan erat. Ada rasa marah yang tiba-tiba membuncah di dadanya, ia merasa Nio melecehkan anaknya.

"Papaaaa jangan marah sama Om Nio, karena aku yang mulai duluan, aku yang tiba-tiba aja nyium Om Nio."

6 Februari 2022 (00.13)

Nikah Yuk, Om! (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang