Pratama kala itu masih berusia dua puluh empat tahun. Telah menikah dengan wanita Vietnam bernama Hayun. Hayun lebih muda dua tahun dari Pratama. Sebelum memutuskan hijrah menjadi seorang mualaf, Hayun adalah seorang penganut Budha yang taat. Keduanya bertemu pertama kali pada acara seminar bisnis di Singapura. Hayun dan Pratama saling bertukar kontak telepon. Keduanya saling berhubungan jarak jauh. Hingga kedekatan mereka sampai ke pelaminan.
Jatuh bangun Pratama meyakinkan Hayun terhadap Islam sebagai agama yang diyakininya. Meskipun Pratama bukan seorang ahli ibadah, ia memiliki prinsip. Pantang menikah dengan wanita yang tidak seiman dengannya. Hingga akhirnya ia mampu meluluhkan gadis berusia dua puluh tahun itu dan menjadikannya istri.
Setelah belajar banyak tentang agamanya yang baru, keadaan menjadi terbalik. Hayun yang seorang mualaf tidak pernah meninggalkan kewajiban terhadap perintah Allah. Sementara kualitas ibadah Pratama tidak juga meningkat. Bisa salat lima waktu saja sudah bersyukur. Hubungan mereka pada awal-awal pernikahan selalu harmonis. Pekerjaan dan bisnis Pratama saat itu belum terlalu banyak. Waktunya cukup berlimpah untuk dicurahkan kepada istri dan calon bayinya.
Kebahagiaan rumah tangga bertambah saat bayi mungil yang diberi nama Nien hadir. Namun, sejalan dengan waktu yang beriring, kesibukan Pratama membuatnya tidak memiliki waktu banyak untuk istri dan anaknya lagi.
“Tidakkah ada sedikit waktu untuk anakmu? Kalau seperti ini terus lebih baik aku kembali ke Vietnam,” seru Hayun putus asa.
Bekerja dan berbisnis bukan hanya sekadar menumpuk kekayaan bagi Pratama. Hal tersebut merupakan hobi yang tak dapat ditoleransi. Setiap menang tender atau bisnisnya melesat, merupakan kepuasan tersendiri bagi pebisnis muda itu.
“Lakukanlah sesuai kata hatimu. Jika kau merasa bosan, kembalilah ke Indonesia!”
Hayun tidak pernah menyangka kalimat itu yang akan keluar dari mulut suaminya. “Terkadang uang dapat membuat seseorang hilang akal pikiran.”
“Aku tidak pernah menyukai kegagalan, Hayun.”
“Pratama, satu hal yang harus kamu tahu. Untuk sampai pada level tertinggi, seseorang harus jatuh dan gagal terlebih dahulu.”
“Asal kau tahu, aku tidak suka dengan kehidupan Jakarta. Keputusanku bulat untuk kembali ke negara asalku. Aku sangat merindukan musim semi,” lanjut Hayun lagi.
“Sudah kubilang, kau bisa pergi dan pulang kapan saja. Apartemen ini selalu terbuka untukmu. Tinggalkan saja Nien di sini! Aku bisa menyewa pengasuh.”
“Tidak! Aku tidak akan menelantarkan putriku.”
“Terserah kau saja!” Pratama mengenakan jasnya. Menenteng tas hitamnya. Meninggalkan apartemen yang belum lama ditempati bersama keluarga kecilnya. Ia kembali berburu ambisi.
***
Hayun tidak main-main dengan ucapannya. Dia benar-benar meninggalkan Indonesia dan membawa Nien. Usia Nien saat itu sudah tiga tahun. Gadis kecil itu selalu bertanya-tanya tentang ayahnya.
“Kita akan bersenang-senang Nien. Jadi, sementara lupakan ayahmu.” Senyuman palsu terukir di bibir Hayun.
Selama setahun, Hayun dan Pratama hanya berkomunikasi melalui telepon. Kondisi itu mengingatkan Hayun sebelum menikah, ia juga melakukan hubungan jarak jauh. Namun, kehidupan yang sekarang tentu berbeda dengan dulu. Sekarang sudah ada Nien yang setiap saat menanyakan keberadaan ayahnya. Apakah Pratama sama sekali tidak memikirkan hal itu?
Waktu terasa hambar ketika terus dilalui. Dua belas bulan sudah Pratama tidak bertemu dengan istri dan buah hatinya. Bisnis dan usahanya sedang gencar-gencarnya ketika usianya hampir memasuki kepala tiga. Pratama ingin memberi kejutan atas prestasi setahun belakangan. Tidak sia-sia selama ini dirinya dicap “gila kerja”. Tahun depan Pratama akan menempati posisi penting pada sebuah perusahaan Batubara di Balik Papan. Ia akan dinobatkan sebagai CEO termuda dalam sejarah perusahaan. Pria itu berencana akan menemui anak dan istrinya di Vietnam dalam waktu dekat.
“Tama, aku sudah pergi ke pengadilan negeri Jakarta untuk menggugat cerai. Kuharap kau bisa menghadiri sidang perceraian kita. Tidak perlu kau terbang ke Hanoi. Setelah ini kau akan bebas.” Melalui sambungan telepon, Hayun menyampaikan hal menyakitkan itu.
“Apa kau bilang?” Seketika hati Pratama seperti dibombardir. “Setidaknya kau mendengarkan penjelasanku dulu. Setahun ini aku bekerja keras untuk keluarga kita. Sekarang aku sudah mencapai keinginanku. Hayun, pikirkan lagi keputusanmu. Bagaimana dengan Nien?”
“Hak asuh Nien ada padaku sebagai ibu kandungnya. Selama ini kamu memang menafkahi aku dan Nien secara lahir. Tapi kebutuhan biologisku, engkau abaikan. Semua orang butuh kasih sayang dan perhatian. Tapi kau tak pernah menemui kami. Maaf, aku tidak bisa lagi bersamamu. Kau boleh kapan saja menghubungi Nien.” Hayun memutus sambungan telepon.
Seminggu lagi tahun akan berganti. Beberapa hari ini Pratama tidak bisa tidur karena harus mengurus perceraian dengan istrinya. Hatinya yang begitu kokoh seperti melebur menjadi abu. Ia tidak pernah menyangka usia pernikahannya dengan Hayun hanya bertahan lima tahun. Status duda sekarang disandang oleh Pratama muda. Baginya, Hayun manusia terangkuh yang dikenalnya. Mengapa wanita yang pernah menjadi istrinya itu tidak mau mendengarnya? Pratama tak pernah menyadari bahwa sebenarnya ia yang cukup angkuh dengan segala ambisinya. Pratama telah mengorbankan keluarganya sendiri untuk memenuhi ambisi itu.
Pertemuan Pratama dengan Nien untuk terakhir kalinya saat itu bagai cambuk yang mengikis habis semangat duda muda itu. Pratama meninggalkan Jakarta dan membangun istana barunya di Balikpapan. Kota yang menjadi harapan masa depan bagi Pratama. Untuk melupakan semua rasa sakit yang menjalar hingga ulu hati.
Pratama membuat kolam renang khusus dan taman bermain untuk Nien di halaman belakang rumahnya. Dia berharap suatu saat nanti putri kecilnya dapat bermain-main di sana. Rumah bagian belakang Pratama sekarang sudah mirip dengan water park. Kolam berukuran luas khusus dewasa yang digabung dengan kolam anak. Taman yang dipenuhi alat-alat bermain seperti ayunan, trampolin, komedi putar dan masih banyak yang lainnya. Bunga-bunga dan bermacam tanaman juga menghiasi taman belakang. Nyaris mirip dengan tempat wisata bermain. Pratama begitu hafal, putrinya sangat suka bermain di taman dan wahana air. Untuk itu ia menciptakan hal itu di rumahnya.
Namun sayang, impian Pratama untuk melihat Nien kecil bermain-main di taman belakang rumahnya tidak kunjung terwujud. Usia Pratama terus bertambah. Ingin sekali ia mengajak Nien untuk tinggal bersamanya. Hayun selalu melarang, Pratama hanya diizinkan menghubungi Nien via telepon.
***
Usai mendengar kisah rumah tangga Pratama, air mata Khansa tidak sengaja keluar. Tak pernah ia membayangkan, suaminya yang terlihat gagah itu memiliki masa lalu yang tidak pernah diharapkan oleh siapa pun.
Pratama dan Khansa masih menatap langit-langit yang sama. “Pak Tama, apa yang membuat anda sama sekali tak mau menyentuh saya? Anda belum menjelaskannya bukan?”
Pratama kembali menghempaskan napas. Ia mulai menarik ulur memorinya beberapa tahun silam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinikahi Om-om (Telah terbit dengan judul "Renjana untuk Sang Dara")
RomanceWalau Khansa hidupnya menyimpan banyak tangis, ia tetap berusaha istiqomah dalam ketegaran. Suami yang diharapkan mampu menjadi sandaran saat dirinya membutuhkan, justru sebaliknya. Pratama, suami Khansa yang berusia seperempat abad lebih tua dariny...