Khansa

47 8 4
                                    

 

Kedua mata yang mengandung sendu menatap langit-langit ruang keluarga. Lampu hias kristal menggantung pada plafon, memberikan kesan mewah pada balutan desain interior Amerika modern. Pilar-pilar kokoh menjulang tinggi berderet mengelilingi ruangan terluas dalam rumah itu. Dinding-dinding cantik berukiran memiliki kombinasi warna dominan putih-gold, juga menambah keindahan ruangan.

Seharusnya menjadi hal yang menyenangkan tinggal di sebuah rumah bak istana. Akan tetapi, tidak untuk Khansa. Wanita yang menjadi istri direktur utama di sebuah perusahaan batu bara itu selalu menelan kepedihan. Hidupnya hampa tanpa sentuhan kasih sayang. Rasa sepi menjadi teman paling setia.

Rumah yang kini ditinggalinya memang begitu megah. Namun, itu semua tidak lebih nyaman dari tempat tinggalnya di Jakarta dulu. Ah, kenapa pula Khansa harus mengorek kembali kenangan yang telah tertinggal enam bulan lalu.

“Pak Tama, bolehkah saya membuat satu permintaan?” Khansa duduk menjajari Pratama yang sedang membaca buku tebal. Keduanya memang sepasang suami-istri. Namun, sama sekali tidak mencerminkan hal itu. Pratama yang lebih tua dua puluh lima tahun dari Khansa, lebih cocok menjadi ayah gadis itu ketimbang menjadi suami.

“Katakanlah!” Pratama hanya melirik sebentar ke arah istrinya. Dua matanya yang berkaca mata kembali menyapu halaman buku.

Khansa menggigit bibir. Matanya sudah mendung, sepertinya hendak turun hujan. “Sa-saya ingin salat tarawih berjamaah dengan Pak Tama malam ini.”

Hening. Butuh waktu lama bagi Pratama untuk langsung mengiyakan permintaan Khansa. Pria itu menelan ludah. Sejenak menghempaskan karbon dioksida melalui mulutnya. Dua tahun belakangan, selama menjadi suami Khansa, Pratama tidak pernah sekalipun salat tarawih bersama istrinya.

“Apakah besok sudah tanggal 1 Ramadan?” tanya Pratama dengan gurat rasa ingin tahu.

Khansa mengangguk. “Malam ini adalah salat tarawih pertama kita.”

“Baiklah, kita akan salat tarawih bersama.”

Senyum terkembang dari bibir Khansa yang berbentuk busur cupid. Air mata yang tertahan, akhirnya meluncur juga. Wanita itu terharu karena bahagia.  Bagaimana tidak, waktu yang dimiliki sang suami sangat sedikit untuknya. Pratama terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan dan bisnisnya. Pria paruh baya itu pulang ke rumah hanya sepekan sekali. Jarak tempuh pulang-pergi ke perusahaan yang ia kelola hampir memakan waktu dua belas jam. Sehingga tidak memungkinkan untuk bolak-balik dari rumah ke tempat kerja. Pratama memilih tinggal di hotel dekat dengan tempatnya bekerja. Belum lagi urusan bisnis di luar kota yang menguras banyak waktu membuatnya hampir lupa untuk pulang ke rumah. Untuk itulah, Khansa memanfaatkan kesempatan sekarang dengan baik.

***

Di dalam surau berukuran 6×7 meter yang terletak di bangunan paling belakang, sudah berkumpul Khansa dan suaminya, serta belasan asisten rumah tangga yang hendak mengikuti salat tarawih. Pratama menunjuk Qodir-sopir pribadinya yang sudah berusia enam puluh tahun itu untuk memimpin salat. Semua orang merasa terkejut. Tadinya mereka pikir hari ini merupakan keajaiban, karena tuannya akan menjadi imam salat. Hal itu belum pernah terjadi selama puluhan tahun mereka bekerja di rumah mewah itu.

“Maaf, saya hanya takut bacaan saya tidak fasih.” Pratama berusaha memberi pengertian.

Salat tarawih berjamaah berlangsung khidmat diimami oleh suara parau Qodir. Hadirnya bulan mulia membersihkan hati para hamba-Nya dengan porsi ibadah yang lebih banyak.

Setengah jam lebih setelah salat selesai ditunaikan, Pratama dan beberapa asisten rumah tangganya meninggalkan musala. Sisanya masih mengerjakan zikir dan wirid, ada juga yang sudah mulai memegang Alquran dan membacanya.

Saat waktu sudah menunjuk angka sepuluh. Khansa menyudahi bacaan Alquran. Sejak sejam yang lalu semua orang sudah beranjak meninggalkannya satu demi satu. Tersisa ruangan lengang yang tidak kalah megah dengan ruangan-ruangan lain di rumah itu.

Saat Khansa keluar dari musala, disambut hamparan kolam renang. Bintang-bintang yang tidak terlalu banyak di langit memantulkan cahaya di permukaan air. Hal itu mencuri sebuah senyuman dari bibir manis milik wanita itu.

Khansa bersiap-siap untuk tidur di samping Pratama. Sementara suaminya masih sibuk membaca buku tebal. Itu adalah buku yang dibaca Pratama tadi siang. Wanita itu penasaran dengan buku bacaan suaminya. Ia sengaja membaca bagian sampulnya. Oh, rupanya buku strategi bisnis, pikir Khansa.

Khansa masih belum bisa memejamkan mata. Terlalu banyak pikiran yang selama ini disimpannya. Suaminya masih sibuk membaca.

“Pak Tama, ada yang ingin saya bicarakan dengan anda.” Khansa ragu melontarkan kalimat barusan.

“Ya?” Pratama menutup bukunya. Meletakkannya di atas nakas bersama kaca mata. Kemudian menidurkan kepala di atas bantal. Keduanya sekarang sama-sama menatap langit-langit kamar.

Khansa menelan saliva sebelum berucap. “Saya ingin bertanya sesuatu.”

“Ya. Silakan.” Sudah masuk tahun ke tiga pernikahan mereka, tutur yang digunakan masih saja formal.

“Kenapa saya tidak pernah mendapatkan hak saya sebagai seorang istri? Apa tujuan anda sebenarnya menikahi saya?” Bibir Khansa bergetar hebat. Kedua matanya berkilauan mengandung air.

Maksud pertanyaan Khansa adalah bagaimana bisa sebagai seorang lelaki, Pratama tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Kecuali sekadar mencium tangan Pratama saat berangkat bekerja. Selama ini batin wanita itu begitu tersiksa. Ia selalu diam menerima. Terkhusus malam ini, hatinya memberontak. Ia hanya ingin mendapatkan haknya.

“Anda memberikan begitu banyak kemewahan, tetapi untuk yang satu itu tidak pernah.” Khansa sesenggukan. Kali ini ia membiarkan air matanya meluncur bebas. Deritanya yang selama ini terpendam, ia curahkan semua. Bagaimanapun, Khansa adalah wanita normal pada umumnya. Ia ingin disentuh. Ingin diperhatikan.

Pratama masih diam seribu bahasa. Ia tahu, cepat atau lambat pertanyaan seperti itu akan sampai ke telinganya.

“Khansa, maafkan saya.” Suara Pratama tertatih. Tatapannya tetap pada langit-langit. Ia tidak berani melihat ke arah Khansa. Dirinya paling tidak tahan dengan suara isak tangis.

“Tolong dengarkan saya!” Napas Pratama terasa berat. “Waktu itu saya tidak berniat menikahimu. Ada alasan lain. Baiklah, saya akan menjelaskan semuanya malam ini.”

Kalimat yang tidak terlalu panjang itu seperti duri yang disebarkan di dalam hati Khansa. Amat menyakitkan. Bagaimana mungkin Pratama menikahinya sedangkan pria itu tidak menginginkannya. Satu fakta yang benar-benar membuat Khansa terluka. Biar begitu, kedua telinganya tetap dipasang lebar-lebar untuk mendengarkan Pratama.

Dinikahi Om-om (Telah terbit dengan judul "Renjana untuk Sang Dara")Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang