Kain Cadar

21 1 0
                                    



 Bismillah ...
Semoga kalian suka cerita ini ya...
Berikan cinta tulus kalian melalui vote untuk cerita ini.

Timaaciw 💕

💙💚💛💜💙💚💛💜💙💚💛💜💙💚💛

Hari ini adalah hari ke empat puluh Khansa tinggal di rumah Pratama. Gadis itu tidak pernah bertegur sapa dengan sang pemilik rumah. Selain karena Khansa merasa sungkan, Pratama sendiri selalu terlihat sibuk. Kesibukan Khansa di rumah itu hanya membantu pekerjaan asisten rumah tangga.

Sekarang Pratama kalau ingin pulang ke rumah selalu disertai Jani. Jani selalu beralasan hendak menengok keponakannya. Pratama yang terkenal dengan kebaikannya tentu tidak keberatan.

“Kau boleh ambil cuti beberapa hari untuk menemani keponakanmu berkeliling Balikpapan, Jani.” Pratama berbicara sambil menggeser-geser layar handphone.

“Kau dengar Qodir, bos  kita ini benar-benar sangat baik. Pastinya kau iri kepadaku bukan?” Jani yang duduk di samping sopir, menepuk-nepuk bahu Qodir yang sedang mengendalikan kemudi.

Qodir hanya menyeringai. Tetap fokus pada kemudinya.

“Terima kasih banyak Pak Pratama, Khansa pasti senang bisa melihat dunia luar.” Sekarang wajah Jani berubah sendu. Selama ini dia belum pernah mengajak keponakannya bepergian.

Selepas turun dari mobil, seperti biasa Jani selalu takjub dengan rumah yang ditumpangi kemenakannya. Ia selalu mengedarkan pandangan  ke seluruh bangunan tinggi nan kokoh itu. Kalau boleh bermimpi, ia pun ingin memiliki rumah seperti itu.

“Hei, Pak Jani! Kau akan tetap di luar?” Suara Pratama membuyarkan seluruh khayalan Jani.

“Saya sedang berkhayal, Pak.” Jani tergopoh-gopoh berjalan ke arah pintu.

“Apa yang kau khayalkan?”

Jani menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Eh, bukan apa-apa, Pak.”

Pratama menggelengkan kepala. Menyeringai tipis melihat kelakuan bawahannya.

Saat Pratama dan Jani tiba di ruang tengah, mereka memergoki Khansa sedang duduk di sofa sambil membaca buku. Bukan naik ke lantai atas menuju kamarnya, Pratama berbelok menyambangi Khansa. Jani yang melihat bosnya hendak menghampiri keponakannya, ia buru-buru mendahului langkah Pratama.

“Aduh Khan, apa yang kamu lakukan. Kamu baca buku milik Pak Pratama? itu tidak sopan!” Jani memberi peringatan.

“Tidak apa-apa, Pak Jani. Baca buku itu bagus. Mungkin dia merasa bosan di rumah.” Pratama duduk di sofa berseberangan dengan Khansa.

Reaksi Pratama di luar dugaan, Jani menggaruk kembali rambutnya yang keriting tidak beraturan. Padahal sebelumnya ia ketakutan Pratama marah dan akan mengusir Khansa dari rumahnya. Namun, itu hanya sekadar pikiran buruk Jani.

“Kalau kamu suka membaca, biar nanti saya belikan rak buku beserta isinya.” Pratama tanpa pikir panjang melontarkan kalimat tersebut.

Khansa masih menunduk. Meremas-remas jarinya. Dia sangat merasa bersalah karena sudah berani mengambil buku Pratama dan membacanya. “Maafkan saya, Pak. Saya sangat lancang. Seharusnya saya minta izin dulu sama Bapak.”

“Sudahlah, tidak perlu seperti itu. Sekarang katakan, apa kamu mau dibuatkan perpustakaan mini di rumah ini?” Pratama memperhatikan Khansa yang hanya terlihat bagian matanya. Selebihnya yang terlihat hanya kain penutup wajah.

“Tidak, Pak. Di sini saya sudah sangat merepotkan. Saya tidak ingin menambah lagi beban Anda.”

“Saya senang kalau ada orang yang gemar membaca. Agar lebih privasi, mungkin nanti saya bisa buat perpustakaan di dekat kamarmu.”

Khansa tidak bisa berkutik. Ia merasa serba salah. Dari kecil memang hobinya membaca. Seandainya Pratama benar-benar membuatkan perpustakaan untuknya, itu hanya akan menambah beban untuk membalas budi baik bos pamannya itu.

“Sebagai gantinya, Khansa akan masak enak untuk kita. Bukan begitu Khan?” tukas Jani berusaha mencairkan suasana.

Khansa melirik ke arah Jani sebal. Apa? Masakan enak? Bahkan ia di Jakarta tidak pernah menyentuh kompor sama sekali. Selama ini untuk memenuhi kebutuhan perutnya, ia selalu beli dari warung makan. Di rumah besar Pratama, ia juga hanya sekadar membantu Bik Ipah di dapur. Tetapi tidak pernah mencoba masak sendiri.

“Sebaiknya kau bergegas ke dapur, Khan!”

“Baiklah.” Khansa menurut. Dia bisa meminta bantuan Bik Ipah.

Khansa beranjak. Lantas berhenti. Ia memutar tubuhnya. “Masalah perpustakaan itu lupakan saja, Pak. Saya bukan tipe orang seperti Paman Jani yang suka memanfaatkan kebaikan orang.”

Jani melotot. Pratama tertawa lebar. Sementara Khansa sudah beranjak ke dapur. Gadis itu menyeringai. Merasa menang dari pamannya.

“Sudahlah, Pak Jani, lagi pula dia tidak salah. Kau kan memang seperti itu.” Pratama kembali tergelak. “Eh, siapa namanya tadi?”

“Khansa.” Jani menjawab dengan muka merah padam.

“Oh, iya, itu maksudku. Kalau boleh tahu, kenapa dia menutupi wajahnya dengan kain?”

“Oh, itu namanya cadar, Pak. Menginjak kelas satu SMP, Khansa selalu menjadi pusat perhatian mata-mata nakal. Banyak sekali pria  yang suka menggodanya di gang sempit rumah kami. Dia merasa risi. Wajahnya sangat cantik mirip ibunya yang kearab-araban. Jadi siapa saja yang melihatnya, akan terpesona. Tetapi kecantikannya justru menjadi seperti beban. Banyak sekali teman sekolahnya yang mendekati. Sejak saat itu, Khansa selalu memakai masker jika berangkat ke sekolah. Dia hanya melepasnya saat di ruang kelas. Setelah lulus SMA, anak itu minta izin pada saya ingin mengenakan cadar. Tentu saja apa yang membuat dia nyaman, dan kalau memang tujuan dia baik. Pasti saya izinkan,” terang Jani dengan mata berkaca-kaca. Pria paruh baya yang berusia dua tahun lebih tua dari Pratama itu terkenang masa lalu Khansa.

Pratama mengangguk-angguk takzim.

Sejam kemudian, Pratama, Jani dan Khansa sudah berada di ruang makan.

“Apa-apaan ini? Waktu sejam cuman bikin makanan seperti ini?” hardik Jani  kepada Khansa.

 “Maafkan keponakan saya ini, Pak, Pratama.”

“Pak Jani, tidak bisakah kau menghargai usaha keras orang lain?” Pratama tetap menyuapkan makanan buatan Khansa dari dalam mangkuk ke mulutnya.

Khansa menunduk sedih. Ia merasa tidak dapat mempersembahkan yang terbaik. Akan tetapi, seketika matanya berbinar saat Pratama memuji masakannya.

“Emm, enak ini enak. Hanya saja sedikit kepedasan. Apa namanya?” Pratama mengulang kembali aktivitas menyendoknya.

Demi melihat reaksi Pratama demikian, Jani turut menyeruput kuah di sendoknya. “Lumayan,” gumamnya.

“Itu namanya seblak, Pak. Sebenarnya ini kali pertama saya membuat makanan sendiri. Itu pun resep dapat dari Youtube. Sempat dibantu Bik Ipah juga,” ungkap Khansa jujur dengan sedikit cengengesan. Ia sangat berantusias mendapat respons baik seperti itu.

“Saya suka kejujuranmu. Lain waktu, pasti saya akan memintamu untuk membuatkannya lagi.”

“Dengan senang hati,” ucap Khansa bersemangat.

Khansa hanya menjadi penonton ketika Pratama dan pamannya menikmati setiap suapan makanan berbahan dasar kerupuk itu. Hatinya membuncah. Ini awal yang baik. Khansa berjanji dalam hati akan memasak lebih baik lagi. Ia tersenyum senang di balik kain cadarnya.

Dinikahi Om-om (Telah terbit dengan judul "Renjana untuk Sang Dara")Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang