Bagai terjerat dalam lilitan ular piton raksasa. Sesak. Hampir kehabisan napas. Tapi, kematian juga tak kunjung menjemput. Ingin berteriak pun tak kuasa.
Melani hanya menjerit dalam hati.
Ia mulai memikirkan kesalahan apa yang sudah ia perbuat, sampai Tuhan menghukumnya seperti ini. Apakah ia pernah menyakiti kedua orang tuanya? Sahabatnya? Guru-gurunya dulu saat masih sekolah? Dosen yang membimbingnya? Atau, mungkin ia tidak sengaja melakukan sesuatu dan orang lain menerima imbas buruknya? Jika iya, tolong beri tahu Melani. Gadis itu benar-benar ingin meminta maaf.
Melani ingin hidupnya bahagia, tenang. Itu saja sudah cukup.
Sekarang, ia bahkan tidak tahu apa yang akan ia katakan pada Dimas atau Angga. Kedua pria itu sedang mengapitnya.
"Jadi, siapa yang akan bercerita lebih dulu?" Angga, pria itu menoleh. Memberikan senyum tipisnya pada Melani dan Dimas.
Dimas mendesis kesal, "menurutmu? Apakah ini lelucon? Kita tidak sedang berbagi cerita. Tidak usah naif, katakan saja ini hanya mimpi dan kita harus segera bangun untuk menghadapi kenyataan." Pandangannya lurus ke depan. Mencoba menembus kegelapan malam yang bahkan tak berhiaskan bintang. Semuanya gelap.
"Benarkah?" Angga menahan napas lalu menghembuskannya perlahan. Berulang kali. Sampai rasa bingung, kesal yang bercampur jadi satu menjadi sedikit berkurang. "Aku tidak tahu sama sekali dengan kehidupan pribadimu, Dim. Kita hanya bertemu beberapa kali di cafe saat makan siang. Dan kita belum sempat bertukar cerita tentang kisah pribadi. Dan, tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba aku mengatakan tentang rencana pernikahanku."
"Tentu saja." Kali ini Dimas yang menahan suaranya agar tetap terlihat tenang. Ingin sekali ia memberikan satu bogem keras pada pria itu. "Kau juga tahu kan, aku bukan tipe pria gila yang akan langsung mengumbar statusku sebagai kekasih dari seorang wanita yang sudah menerima lamaranku." Ada keraguan saat ia mengatakannya. Terlebih, saat ia mencoba meraih tangan Melani, ingin menggenggamnya, gadis itu langsung menepis. Kasar.
Seiris hatinya yang tiba-tiba terluka.
Melani menolaknya?
"Oke. Aku minta maaf, Dimas." Angga mengulurkan tangan, tulus. Bersamaan dengan tatapan bingung Melani padanya.
Angga hanya ingin kesalahpahaman ini segera berakhir. Pria itu tidak suka terus berlarut-larut dalam masalah. Ada banyak hal lebih penting yang harus ia selesaikan. Dan Angga tidak ingin merusak emosinya sendiri dengan hal seperti ini.
Ia akan memulainya lebih dulu. Ya... meskipun ia tahu, tidak perlu minta maaf. Karena disini, mereka sama-sama tidak tahu. Lebih tepatnya belum tahu.
"Kita sudah dewasa, bukan?"
Dimas tersinggung dengan kata 'dewasa' yang baru saja ia dengar. "Kau ingin mengatakan kalau aku kekanak-kanakan?"
"Kau pasti tahu apa yang aku maksudkan, Dimas." Angga tidak mau terpancing emosi. "Aku ataupun kau, belum tahu kalau Melani—dia adalah gadis yang sama—yang kita sukai, kan? Aku juga terkejut dengan kehadiranmu tadi. Tapi, tidak seharusnya kau bersikap seperti ini, bukan?"
"Jadi, kau ingin aku mengalah saja? Begitu menurutmu?" Dimas tidak bisa membendung amarahnya lagi. Ia berdiri dan langsung memukul Angga. "Kau mau bilang, aku harus menyerahkan kekasihku padamu? Begitu?"
Angga sudah tersungkur.
Darah segar mengalir begitu saja di bibir dan pelipisnya yang terbentur."Kau ingin memiliki calon istriku? Hah?"
Satu tendangan, keras, melayang dengan tepat mengenai perut Angga. Membuat pria itu meringis dan tersungkur lagi setelah berhasil bangun, menahan sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Marry You
RomansaMenikah adalah satu hal penting, yang untuk setiap orang akan memiliki pendapat berbeda. Begitu juga dengannya. Melani. Seorang gadis manis yang menginginkan sebuah pernikahan hebat dengan segala keindahannya. Terlebih, saat kekasihnya, Dimas melam...