6

11.7K 1.2K 54
                                    

Nuraini mematikan komputernya, kemudian meregangkan tubuhnya sejenak. Jam sembilan malam, bukanlah jam kantor, akan tetapi selalu begitu setiap harinya, dia akan menghabiskan waktunya untuk bekerja sampai lelah. Rumah hanya untuk tidur dan istirahat.

"Maaf, Bu Aini, tidak bermaksud lancang, sepertinya Anda butuh istirahat." Suara maskulin mengalihkan perhatian Nur. Pria muda itu adalah supir pribadinya, namanya Julian. Laki-laki pendiam dan selalu memiliki pembawaan tenang.

"Ya, kau benar." Nur bangkit, Julian menyusul berjalan di belakangnya. Hanya mereka saja yang tinggal di jam segini, seluruh ruangan telah gelap.

Julian mengambil mobil Nur, seperti biasa, baru saja Nur duduk di kursi penumpang, tak butuh lama baginya untuk tertidur.

Sudah lima tahun Julian menjadi supir pribadi Nur. Mendampingi wanita itu ke mana pun. Wanita yang lebih tua lima tahun darinya, wanita mandiri yang keras kepala dan selalu memaksakan diri.

Dia begitu disegani, bahkan bunyi telapak sepatunya saja, mampu membuat karyawan tak berkutik.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di apartemen megah yang hanya dihuni oleh orang-orang tertentu. Julian mematikan mesin mobil, lalu keluar dan membuka pintu penumpang.

"Bu, sudah sampai," serunya sepekan mungkin.

Nur membuka matanya yang masih mengantuk. Tanpa menyahut, dia mengambil tasnya dan keluar dari mobil.

"Besok, datang lebih cepat!"

"Baik," sahut Julian sambil mengangguk dan menunduk sedikit menunjukkan rasa patuh.

"Bagus." Nur melihat Julian sekilas. Lalu berjalan ke lobi apartemen.

Julian mengawasi sampai Nur menghilang di pintu masuk lift.

Pria tampan berkulit bersih itu, menyalakan mobil kembali. Mobil mewah itu memang di tangannya selama dua puluh empat jam, dengan catatan dia harus siap sedia mengantar kapan pun dibutuhkan. Nur memang wanita yang super hebat, tapi tak bisa menyetir.

Julian sempat menangkap, ada pria asing yang masuk ke dalam lift beberapa saat kemudian. Pria yang belum pernah dilihatnya.

"Barangkali tamu salah satu penghuni." Julian bergumam sendiri, tapi hatinya mendadak tidak enak.

***

Nur baru saja selesai berendam air hangat. Sebuah kegiatan rutin yang dilakukannya sebelum tidur. Air hangat mengembalikan tenaganya dan membuatnya rileks.

Bel berbunyi. Nur berjalan ke pintu sambil mengusap rambutnya yang basah.

"Anak itu," gerutu Nur, dia berfikir, Julianlah yang datang.

"Apa lagi ...." Nur terpaku, ternyata bukan Julian.

"Selamat malam, mantan istri." Sebuah senyuman pongah memuakkan dipamerkan oleh pemilik bibir tipis itu.

"Ada apa ke sini? Ini bukan lagi jam bertamu. Besok aku akan komplen ke pengelola apartemen, bagaimana tamu bisa masuk."

"Kita bicara di dalam saja." Pria yang tak lain adalah Anggara itu mendorong Nur dan mendesak masuk. Bahkan dengan lancang menutup pintu.

"Aku belum mempersilakanmu, keluar!"

Anggara tersenyum remeh. Matanya menyisir seisi ruangan apartemen Nur.

"Pantas saja kau lupa asalmu, ternyata kau sudah hidup enak. Aku suka dengan dirimu yang sekarang. Oh ya, tak rindu makam Ayah dan Ibumu?" Anggara terkekeh sejenak, lalu menoleh pada Nur yang berkacak pinggang karena menahan marah.

"Aku akan berikan waktu lima menit, katakan apa tujuanmu, setelah itu pergilah! Jangan kembali, karena aku tak menyukaimu."

Anggara tak mengacuhkan ucapan Nur, dia melihat miniatur sebuah gedung yang dipajang di atas lemari kaca.

"Indah sekali. Tangan ajaib mana yang mengerjakannya."

Anggara berbalik, mendekat ke arah Nur.

"Aku ingin tahu, selain hebat dalam bidang Arsitek, tangan kecil ini bisa melakukan apa lagi?" Tangan besar Anggara memegang tangan Nur tiba-tiba. Nur menariknya kembali dengan paksa. Kilat nakal terlihat di mata Anggara. Dia masih Anggara yang sama, sama-sama memuakkan.

"Pergilah! Sebelum aku habis kesabaran."

"Jangan seperti itu pada mantan suami. Kita masih suami istri secara negara, kau lupa?"

"Hitungan ke tiga, aku tak mau melihatmu lagi. Satu, dua ...."

"Tiga," sahut Anggara, dia maju. Nur waspada.

Anggara mematut wanita itu dari atas ke bawah. Dia berubah menjadi wanita yang amat cantik. Itik buruk rupa telah berubah menjadi angsa.

"Aku ingin tahu, bagian mana saja yang sudah diubah."

Anggara menatap lekat, tatapannya seakan menembus  bathrobe Nur.

Sementara di lain tempat, Julian tak bisa memfokuskan pikirannya, saat pacarnya tengah mengeluh tentang hubungan mereka, ingatan Julian malah berkelana pada pria asing yang memakai topi pet dan menghilang di balik pintu lift.

"Kapan kau akan menemui orang tuaku, sebentar lagi aku lulus kuliah, berikan aku kepastian. Aku tak ingin kita terus berpacaran tanpa arah yang jelas."

Ini entah keluhan ke berapa yang disampaikan wanita yang telah menjadi kekasihnya selama dua tahun ini.

"Julian?"

"Maaf, aku ada urusan ...." Julian bangkit. Meninggalkan gadis cantik itu yang tampak terluka.

Jangan lupa vote

NURAINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang