7

12.7K 1.4K 65
                                    

Plak! Tamparan keras mengenai pipi kiri Anggara saat dia berusaha mencium Nur. Wanita yang tadi terlihat cemas dan takut itu, berhasil mengambil kendali dirinya sendiri, sehingga bisa melawan Anggara.

Anggara tertawa masam, sambil mengusap pipinya yang kebas. Tenaga yang dikeluarkan untuk menamparnya ternyata tak main-main.

"Seharusnya kau malu menunjukkan wajahmu di depanku, setelah apa yang kau lakukan padaku di masa lalu, tapi kau tetap Anggara yang tak punya hati. Pergi!" desis Nur.

Dikatai begitu, Anggara malah melebarkan senyumnya, senyum yang terkesan meremehkan ucapan Nur.

"Aku memang jahat, menceraikanmu waktu itu, padahal kau berharap pernikahan itu akan terjadi untuk selamanya dan kita akan melalui malam yang indah, begitu, kan?"

"Aku tak berpikir begitu, dasar sakit jiwa!" Emosi Nur memuncak. "Aku malah berfikir untuk membunuhmu saat itu."

"Kenapa tak kau lakukan?" Anggara malah tertawa.

Nur merasa pria di depannya ini semakin memuakkan.

"Pergilah! Sebelum security datang ke sini, aku masih memberimu kesempatan untuk pergi secara hormat."

"Oh, baiklah! Tapi ...." Anggara mendekat, menatap wajah Nur dengan mata berkilat. "Aku akan datang lagi, untuk memperjuangkan dirimu, kita akan memulai kembali kisah kita, Nur."

Anggara tersenyum lebar, dia sempat menoleh sekali lagi sambil melempar senyum yang memuakkan hati Nur.

Setelah Anggara menghilang di balik pintu, Nur mencari pegangan, lututnya lemas dan kakinya gemetar. Sungguh, dia hanya berusaha untuk terlihat kuat di depan pria jahat itu.

Tiba-tiba bunyi pintu yang dibuka secara buru-buru mengejutkan Nur. Dia melepaskan nafas lega saat melihat siapa yang datang.

"Ibu tidak apa-apa? Saya melihat pria asing saat meninggalkan apartemen ini, tadi juga saya melihat mobilnya baru saja meluncur pergi."

"Buatkan aku kopi!" perintah Nur tanpa menanggapi ucapan Julian.

"Baik," sahut Julian patuh. Dia melirik Nur sekilas, dengan rambut berantakan dan bathrobe yang masih melekat di tubuhnya.

Selain mengantar Nur kemana-mana, dia juga terbiasa membuatkan kopi atau teh pada bosnya itu.

Tak butuh lama bagi Julian membuat kopi, dia meletakkan cangkir di atas meja kaca di depan Nur.

"Jangan berdiri, duduklah!" perintah Nur lagi, tanpa melihat lawan bicaranya.

Julian patuh, dengan tenang, dia duduk di depan Nur. Sesekali, Nur memang minta teman bicara, karena dia tak memiliki teman.

"Aku tahu, kau adalah orang yang bisa menjaga rahasia ...."

Julian masih menatap lurus Nur, di sini dia hanya menjadi pendengar, tak berhak menghakimi apalagi mengatur.

"Apakah pria yang kau maksud, adalah pria berjaket hitam dan memakai topi pet hitam?"

"Benar, Bu."

"Dia baru saja ke sini, dan dia ... Adalah mantan suamiku."

Informasi baru bagi Julian. Selama ini dia mengira, Nur adalah wanita karir yang belum pernah menikah. Wanita itu pun menutup rapat-rapat kehidupan pribadinya. Bahkan Julian tak pernah melihat satu pun keluarga Nur yang berkunjung.

"Kami dijodohkan, sama-sama tak menyukai, tapi apa yang dia buat di masa lalu, amat sangat jahat. Dia menjatuhkan talak beberapa detik setelah saksi mengatakan sah."

Julian tersentak, jika tadi dia terlihat tenang, saat ini dia merasa geram luar biasa. Bagaimana bisa seorang laki-laki berbuat serendah itu. Seharusnya dia tak usah menikahinya saja, bukan?

Mata Nur berkaca-kaca, luka lama yang masih basah itu, terbuka lagi. Kembali teringat olehnya, saat Ayahnya roboh karena serangan jantung.

"Saat itu, aku tak hanya kehilangan harga diri, tapi kehilangan Ayahku sendiri. Tepat di hari itu juga, Ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir."

Nur menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai menetes.

Baru kali ini Julian melihat Nur yang begini, wanita mandiri dan disegani, tak punya cacat dan selalu tampil sempurna, ternyata memiliki masa lalu yang amat pahit. Julian hanya menjadi pendengar, sesuai dengan apa yang dibutuhkan Nur. Dia mengepalkan tangannya menahan marah.

"Dua tahun berselang, ibuku meninggal. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Hingga memutuskan, tak akan pernah lagi menginjakkan kaki di tanah kelahiranku. Setelah sekian lama, pria arogan itu muncul kembali."

"Maaf, Bu. Apa tujuannya?" Julian tak bisa menahan rasa penasaran.

Nur tersenyum pahit.

"Rujuk."

Julian ingin melontarkan pertanyaan lagi, akan tetapi dia membatalkannya. Dia tak mau dibilang lancang dan terlalu ikut campur.

"Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?"

Julian tersentak dengan pertanyaan Nur. Setelah bungkam cukup lama, dia menjawab.

"Anda harus menikah ...."

NURAINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang