Kosong tiga

45 13 40
                                    

Chapter 3

***

Mentari sudah mulai naik menunjukkan dirinya tepat diatas ubun-ubun membakar pikiran setiap orang dibagian wilayah bagian Jakarta Selatan. Rasanya sudah hampir 1 jam seorang Rakhabin berada disini, menatap kosong pada pertandingan futsal didepannya sambil mulutnya sibuk mengunyah snack jaguar kesukaannya.

Bibirnya rasanya sudah penuh dengan tumpukkan garam dan perasa yang ada dalam snack yang sudah dia konsumsi selama itu. kali ini sudah bungkus ke 6 yang dia makan, dia masih memiliki 4 bungkus lagi karena tadi dia membeli 10 bungkus hanya untuk mengincar hadiah yang ada didalamnya.

Sejak kecil, Abin tak pernah putus harapan dan putus asa untuk mendapatkan jam tangan berwarna biru yang pernah kakaknya dapat saat Abin masih tinggal di Bandung 8 tahun yang lalu saat dirinya berumur 10 tahun.

Jaket kulit hitam kesayangannya masih melekat pada badannya, tak barang seharipun Abin meninggalkan jaket kulitnya setiap pergi kemana-mana pun. Sudah bagai saudara, dimana ada Abin, disitu juga ada jaket kulitnya.

Abin tak ingat sudah berapa kali kakak perempuannya yang selalu ia panggil dengan sebutan 'teteh' itu menyuruh Abin membuang semua koleksi jaket kulitnya. Faktanya, kakak perempuannya itu sudah tak suka pada adik laki-lakinya apalagi ditambah dengan jaket kulit yang selalu ia bawa kemana-mana itu.

Suara cekitan dari sepatu yang beradu dengan lantai lapangan terdengar jelas ditelinganya. Pertandingan futsal didepannya sudah terlihat membosankan untuk Abin padahal jam kosong saat ini diperkirakan sampai jam pulang karena guru sedang mengadakan rapat. Sungguh aneh bagi Abin, kenapa gak disuruh pulang aja sih?

Arka dengan semangatnya yang tak pernah luntur, terus menggiring bola pada gawang lawan yang dijaga oleh Hasbi sejak awal pertandingan. Gibran, felix dan Lino yang ikut bermain di lapangan sana tak terlihat lelah sama sekali padahal sudah hampir 1 jam berlalu.

"Ar, oper sini!" seru Gibran saat melihat Arka yang kesusahan saat ada lawannya yang menghalang dirinya saat akan menggiring bola.

Bola dioper pada Gibran dan langsung laki-laki itu giring menuju daerah lawan. Dan saat Gibran menendang tepat didepan gawang milik lawan, bola memasuki gawang saat tak sengaja meleset dari tangkapan Hasbi.

Abin sebenarnya bisa-bisa saja ikut bertanding, tapi dia lebih memilih duduk ditribun penonton bersama Jeje, Alif, dan Gavin yang sedang asik dengan handphone masing-masing. Rasanya ia ingin sekali tidur saat ini karena rasa kantuknya sudah menumpuk dipelupuk mata tapi ia tak bisa karena Abin malas berjalan menuju kelas.

Tiba-tiba tanpa Abin duga, satu buah tangan bertabrakan dengan tangannya. Abin sedikit terkejut dan langsung menoleh pada orang disampingnya yaitu Jeje yang sudah mengalihkan perhatiannya setelah menyuapkan snack milik Abin pada mulutnya.

"Heh bocil, bilang apa?"

Jeje langsung menoleh pada Abin, "Minta, Bin."

"Kak," telak Abin karena kebiasaan Jeje yang jarang memanggil ke-7 teman-temannya tanpa sebutan 'kakak.'

Jeje berdecak pelan lalu menoleh lagi pada Abin, "Gapapa kali, Bin."

"Bilang dulu, nanti gue kasih lagi."

"Minta, Kak Bin, makasih."

Abin yang mulutnya sudah kebas mengunyah pun mengambil satu bungkus snack miliknya lalu melemparkannya pada Jeje. "hehehe makasih, Kak."

"makasih, kak," ulang Abin mengejek Jeje yang sudah acuh dan kembali menonton pertandingan.

Laki-laki berdarah sunda itu menaruh snack nya dan mengambil gitar milik ekstrakulikuler yang diketuainya yang sering ia pakai untuk menyapa setiap murid di SMA ini- ia bawa sejak tahu bahwa teman-temannya mengajak dirinya menonton futsal dan sengaja ia bawa kesini karena tahu akan berlama-lama disini, mungkin sampai pulang.

This is AbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang