18. Milikku

1.1K 100 0
                                    

    "Gendis mau pelangi pak" suaraku dan suara Bapak saing bersahut-sahutan. Sementara aku mencoba mengingat bagaimana rupa bapak. Membuat hatiku berdenyut sakit.

    menunggu di Cafe sebuah hotel bersama supir. Seperti biasa, Darsa tak ingin jauh dariku, dan aku tak keberatan denga itu, aku diminta untuk duduk disini, karena om Alex ingin bertemu. Mungkin ini akan jadi perbincangan yang dalam dan panjang.

    "sudah lama Ndis?" Suara BASS om Alex mengalihkan pandanganku, aku yang sedari menatap keluar kaca kini melihat pria itu yang duduk di depanku. Sementara si supir beranjak dan memilih duduk di meja yang berseberangan dengan kami.

    "gak juga om. Oh ya, om mau kopi?"

    "enggak, makasih Ndis."

    kami berdua saling diam. Aku menarik nafas panjang, seakan tahu isi pikiran masing-masing. Wangi kopi terasa pekat membuatku merasa hangat. Tak lama kemudian Om Alex menyerahkan selembar foto. Tampak Bapak dan Darsa di gambar itu.

    akhirnya. aku menemukan Bapak, wajah Bapak senyuman Bapak. Yang sempat aku hapus oleh rasa benciku.

    "dia laki-laki paling egois yang pernah saya kenal" Kalimat itu terlontar dan terdengar tegas. Sementara aku masih setia menatap foto bapak.

    "saya benci sama bapakmu" kini ungkapan selanjutnya disusul oleh suara yang bergetar. Kini aku menatap kedua mata om Alex yang membuang muka dariku.

    "dia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal, maaf Gendis, saya berhutang nyawa sama kamu."

    kami berdua terluka, sama-sama merindu dengan pilu. Air mataku tumpah sudah. Tak kU tahan, tak ada bendungan yang bisa menahannya.

    "Gendis juga rindu sama bapak om"

    "dia berulang-ulang kali nyelamatin hidup saya Ndis. Dia berani memperjuangkan kalian, meninggalkan bapaknya dan hidup bersama cintanya. Dia keras kepala, harga dirinya terlalu tinggi" kedua rahangnya mengeras sambil mengatakan hal tersebut. Aku tahu betapa berat yang ia rasakan.

    "sekarang kamu juga nyelamatin Darsa, terima kasih sudah mau menerima anak saya Ndis"

    aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Tak ada ungkapan bahagia yang dicampur kesedihan yang mendalam yang dapat kutemukan. Aku hanya bisa menyeka air mataku dengan selembar tisu.

    "saya mencintai Darsa om. Sangat mencintainya" ucapku sungguh-sungguh..

"saya percayakan Darsa sama kamu Ndis."

"iya om, makasih untuk fotonya"

"itu foto terfavorit saya, dua pria yang saya sayangi ada di foto itu" ucapnya membuatku tersenyum, disela-sela isak tangisku.

"dua pria yang aku cintai ada di foto ini" jawabku sambil tertawa. Ada kesamaan antara aku dan om Alex. Kami berdua mencintai pria yang sama.

diantara aroma kopi yang hangat yang aku suka, aku menatap selembar foto berisi dua pria yang aku cintai. Sempurna sekali hidupku sekarang ini.

"selamat untuk pernikahan kalian. Hadiah saya ada dua, satu nya sudah menunggu di luar, satunya lagi ini."

aku menatap dua kotak yang ada di hadapanku. Aku membuka salah satu kotak yang kecil tersebut sambil menarik nafas.

"apa ini om?"

"bisa kamu lihat di luar"

kemudian aku membuka satunya lagi yang isinya surat-surat beberapa lembar, aku membaca sekilas, ada pihak a dan pihak b. Pihak pertama yang menyatakan bla bla bla yang tak sempat kumengerti.

"ini apa om?"

"penginapan atas nama kamu."

"maaf, aku gak bisa nerima ini semua om" aku meletakkan semua nya di atas meja. Menolak kebaikan hati yang entah apa arti terselubung di dalamnya.

"ini masih belum cukup dengan apa yang sudah kamu lakukan ke saya dan Darsa. Tolong terima Gendis. Kalau tidak saya tidak akan mati dengan tenang."

aku terpaku dan terdiam, entah harus berkata apa, entah harus melakukan apa. Sementara aku mematung Om Alex meninggalkanku disana.

"Gendis?" Suara itu membuyarkan lamunanku.

"eh, mas. Udah datang?"

"dari tadi saya panggilan kamu loh, mikir in apa?"

"ini" ucapku pelan sambil menyodorkan surat-surat ke hadapan Darsa. Pria itu duduk di depanku, mengusap wajahnya yang tampak bingung melihat ke arahku.

"siapa kasih ke kamu?"

"om Alex"

"terima aja, itu artinya hidup saya ditangan kamu sekarang."

"kalau begitu, semua ini untuk kamu mas. Kamu bisa pegang hidup kamu"

ucapku datar sambil melihat ke arah Darsa yang juga tampak kebingungan sama seperitku.

"apa kamu tahu? Bapak saya itu menikah sama gadis yang di jodohkan orang tuanya?" Kisah baru diceritakan kembali, membawaku menelusuri kisah lain, tentang betapa Kagumnya mereka pada Bapak.

"kenapa Bapak saya itu sayang banget sama bapak kamu adalah Bapak kamu sudah menyelamatkan bapak saya untuk tidak bunuh diri. Bapak kamu hebat Ndis, dia berani melawan orang tuanya dan memilih menikah dengan Ibumu, walau untuk itu dia harus kehilangan segalanya. Bapakmu bisa ngelepasin semua dengan bahagia walau hidup kalian pas-pas an."

"Bapak saya itu naksir sama ibu kamu Ndis, tapi dia gak berani memperjuangkan Ibu kamu. Lagi pula Ibumu sudah cinta mati sama Bapakmu"

aku diam mencerna semua yang sedang terjadi. Kemudian aku mengerti apa yang sedang terjadi sekarang. Bapak mewariskan bahagia nya padaku sekarang. Bapak tak benar-benar meninggalkanku.

"kamu saja yang kelola semuanya. Oke nyonya?"

"baiklah kalau begitu" dengan berani aku mengulurkan kedua tanganku ke arah Darsa, pria itu berpindah ke sampingku memelukku dengan hangat, mengelus rambut ku dengan pelan.

"ayo makan" Darsa menggandeng tanganku, membawaku kemana pun dia pergi. Menanamkan rasa cinta yang benar-benar hal baru yang kurasakan. Kepastian, ketulusan.

###

waktu begitu cepat berlalu, aku tetap menemani kemana pun Darsa pergi.

Hingga hari pernikahan pun tiba.

"Risa!!!!" Aku berteriak masih memakai kemeja dan belum berganti pakaian dengan kebaya pengantin. Sebuah kejutan yang membuatku terkaget-kaget.

"Gendis!!! Cantik banget kamu"

"thank you honey, siapa yang jemput kemari?"

"Calon suami kamu, ada id luar sama Rio. Ganteng pisan, garang mukanya, benar-benar Batak" ucapan Risa membuatku tertawa terbahak-bahak. Sementara aku mulai menanggalkan pakaianku yang sudah memakai pakaian dalam terlebih dahulu kemudian mencoba memakai korset.

"agak sempit kak" ucap Ros yang masih mencoba mengancingkan korsetku.

"iya kayaknya kamu gemukan deh. Kalap makan ya Ndis" pertanyaan itu membuat aku tertawa pelan. Aku memang bahagia, tak kekurangan apa pun dan hobi ku memang makan sebebas apa pun semauku.

"iya, bahagia banget tau dibuat sama Darsa"

"dia gak pernah marah?" Tanya Risa penuh selidik.

"belum sih sejauh ini"

"hati-hati, manusia yang jarang marah-sekali marah parah tau"

"iya, ini juga lagi hati-hati"

"terus udah gitu an?" Mata Risa semakin menyipit yang artinya adalah dia semakin penasaran dengan jawabanku.

"udah"

"kamu hamil? Ini korset gak muat jangan-jangan? Bener?" Aku hanya tersenyum, tak menggeleng dan tak mengangguk, biarlah itu jadi rahasiaku untuk sementara waktu.

GENDISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang