Zaman mengalami perubahan cukup besar, mengikuti perkembangan teknologi sebagaimana mengikuti arus air mengalir. Belasan tahun lalu gang ini dipenuhi anak kecil bermain petak umpet atau pemuda main voli bahkan selepas Isya pun mereka keluar rumah untuk sekedar bermain atau bersosialisasi dengan tetangga. Karena ini bukan pedesaan yang mana selepas Maghrib para keluarga mengunci rumah mereka, melainkan sebuah gang perkampungan di Surabaya, dimana ibukota provinsi yang lumayan sibuk, jadi kehidupan perkampungan masih berlangsung sampai batas jam 10 malam biasanya.
Beberapa tahun kebelakang suasana gang ini berubah. Tidak ada lagi teriakan bising bocah bocah kalah bermain kelereng, ataupun pemuda yang bersorak saat bermain batminton. Kini tergantikan oleh bocah bocah Mabar di pos ronda, dan para pemuda yang Mabar di warkop. Arena bermain mereka bukan lagi lapangan plester atau jalan berpaving.
Pukul delapan malam, dimana keadaan warkop Thoriq sedang ramai ramainya. Bukan warkop punya Thoriq, sih. Melainkan punya bapaknya dan biasanya Thoriq jaga warkop dari jam setengah tujuh sampai setengah sembilan malam, gantian sama masnya. Biasanya saat sudah tidak ada yang pesan lagi, Thoriq duduk lesehan dibalik meja sambil belajar atau mengerjakan tugas atau sekedar baca buku. Ya, Thoriq anak yang rajin, Thoriq adalah kebanggaan ibu-ibu gang RT 04, karena para ibu suka membanding anak mereka dengan Thoriq. Seperti contoh,
“Deloken iku le, si Thoriq! Ewangi ibu bapake dodolan, areke rajin. Areke Lo jogo warkop sambi sinau, enggak koyok awakmu. Hape terosss.”
(Lihat tuh nak, si Thoriq! Bantuin ibu bapak nya jualan, anaknya rajin. Anaknya suka belajar sambil jagain warkop, enggak seperti kamu. Hape terusss.)
Kadang sebagian dari anak mereka yang kepalang kesal karena dibanding-bandingkan ini suka beralasan ke tempat Thoriq.
“Yawes aku kate nang Thoriq sek,”
(Yasudah aku mau ke Thoriq dulu)
“Lapo?”
(Ngapain?)
“Ben katutan pinter.”
(Biar ketularan pintar)
Padahal mereka ke tempat Thoriq ya untuk main uno atau wifian.
“Thoriq!” suara memanggil nama Thoriq, ia mendongak dan mendapati sosok eyang uti-nya Bayu. Thoriq berdiri,
“Iya ti, mau beli ta?”
“Endak Riq, kamu lihat Bayu ndak? Kok jam segini belum pulang,” Thoriq menyisir pandangan ke para pelanggan yang sangat banyak.
“Wah ndak lihat aku, ti. Belum pulang paling.”
“Owalah yasudah kalau gitu, Riq.”
Bayu memang tidak sekali dua kali pulang larut, tapi tetap saja Eyang selalu khawatir. Beliau biasanya menunggu diteras atau sedikit jalan jalan kecil menyusuri gang.
Biasanya kalau pulang sore, Bayu akan singgah di warkopnya Thoriq jadi Eyang mencoba memastikan barangkali ada Bayu disana. Namun ternyata nihil. Berarti bocah itu masih diluar, entah itu dimana, tidak tahu. Eyang mulai resah.
Eyang memasuki rumah disebelah rumahnya, sampai masuk dapur dia mendapati punggung anak lelakinya. “Tara! Ini loh anakmu gak pulang pulang, sudah malem ini. Gak kamu telpon tah?”
“Biarin buk, paling main apa belajar kelompok.”
“Lah mbok ya inget waktu, ini loh sudah setengah sembilan!”
Tara bergeming, ia fokus pada ikan bandeng goreng yang sudah hampir masak. Setelah itu menyiapkan beberapa bumbu dan cabai untuk membuat sambal uleg. Kekhawatiran ibunya tidak ia gubris, Tara juga lelah berkali-kali memberi pengertian untuk tidak usah terlalu mencemaskan Bayu, anak itu sudah beranjak dewasa dan cukup mengerti untuk tidak berbuat hal diluar akal, dia pasti bisa jaga diri sendiri. Masalah ingat waktu? Bayu memang suka tidak ingat waktu kalau bersama teman temannya, berkali-kali Tara menegurpun, lain waktu Bayu akan mengulanginya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayu
General FictionAndai saja jika Bayu tak pernah lahir kedunia ini, andai jika dulu janin mungil itu berhasil gugur. Mungkin Tara tidak akan berakhir menyedihkan seperti ini. Start: 250421