Kumandang adzan subuh membangunkan Bayu. Hal paling pertama kali yang dilakukan setiap harinya adalah membuka ponsel. Tidak ada notifikasi yang berarti memang, tapi benda itu sungguh menarik untuk di cek setiap paginya, jika ditanya mengapa Bayu juga tidak tahu.
Selama kurang lebih lima menit berlalu, nyawa Bayu sudah sepenuhnya utuh. Segera ia mengambil air wudhu dan melaksanakan kewajiban lima waktu. Setelahnya Bayu memanaskan nasi yang semalam ayah masak, jika ayah masuk malam beliau selalu berpesan untuk menghangatkan sebentar nasinya sebelum sarapan. Apabila ayah masuk pagi dan siang, ayah masih sempat untuk menyiapkan sarapan jika shift malam mana sempat, karena ayah baru sampai rumah pada jam tujuh pagi sedangkan Bayu berangkat pukul enam lebih seperempat.
Setelah mandi dan berseragam tak lupa ia bercermin. Tiba-tiba Bayu merasakan seperti gundukan memanjang mengitari kakinya. “Sek ya Fiersa, orang ganteng mau dandan dulu.” Sembari berjongkok dan mengelus dagu Fiersa.
Fiersa adalah kucing oren peliharaan Bayu yang ia temukan dua tahun lalu. Kondisinya cukup memperhatikan saat Bayu bertemu Fiersa, bayi kucing itu sendirian tanpa sanak saudara mengeong lirih minta bantuan disudut got. Bayu memutuskan untuk membawanya pulang karena kasihan. Walau tantangan dihadapan menanti, yaitu marahnya eyang. Eyang tidak suka kucing.
“Tapi yangti dia kasihan. Sendirian di got, gak ada ibunya, gak ada bapaknya, gak ada kakaknya, gak ada adeknya. Dia ditendang, gak dikasih makan, kelaparan, kedinginan, kehujanan. Jadi Bayu bawa pulang buat dirawat. Boleh ya yangti?” Eyang mendengar itu jadi menuruti permintaan cucunya. Dan kini Fiersa tumbuh menjadi kucing yang ganteng dan gembrot, bertanda Bayu merawatnya dengan baik.
Dan yang benar saja, begitu mengecek markas Fiersa banyak tugas yang harus Bayu kerjakan. Dispenser dry food kosong harus diisi ulang, dispenser air mancur yang harus diganti airnya kalo tidak diganti Fiersa suka minum air toilet, dan banyak gumpalan pasir di litter box harus di sekop.
Saat sedang menuangkan dry food mata Bayu tidak sengaja mendapati tetangga depan rumahnya yang berangkat sekolah sepagi ini. Padahal barusan Bayu lihat masih jam enam kurang lima menit.
Pantas saja Bayu jarang mendapati kapan Raya berangkat ke sekolah, ternyata gadis itu berangkat sepagi ini. Atau bisa jadi lebih pagi lagi.
Bayu melirik sekelebat lembar UTS sejarah. Hiasan spidol merah bertulis bilangan 40 paling mendominasi diantara tulisan hitam kecil lainnya, tanpa perlu ia lihat terlalu jelas. Bayu membalik lembar itu lalu menghembuskan nafas pasrah.
“Sudah tau hasilnya, ya? Nilai remidial kalian ternyata masih banyak yang belum tembus KKM. Kalo mau perbaikan nilai lagi, nanti pulang sekolah saya tunggu.” Jelas Bu Nini sebelum meninggalkan kelas. Seisi kelas mulai riuh. Didominasi siswi yang mulai sesi gibah, beberapa ada yang main tiktok dan lain lain sebagai mana umumnya pergantian jam. Oh ya, ngomong ngomong tugas presentasi geografi yang dikerjakan dalam beberapa jam kemarin sukses hari ini, presentasi tadi berjalan cukup baik.
“Kon remindi neh, gak?”
(Kamu remidi lagi, gak?)
“Ya jelas!”
“Engkok Kon nemoni Bu Nini, gak?”
(Nanti kamu ke Bu Nini, gak?)
“Gak, gak ngurus lapo cuk.”
(Gak, gak peduli ngapain cuk.)
Bayu lantas mengangguk singkat, Ardi memang bodo amat-an atau mungkin saja sudah lelah perbaikan terus. Sekarang Ardi dan beberapa penghuni bangku belakang mulai menyusun kursi kursi di belakang kelas, untuk arena main Remi.
Bayu yang duduk paling disudut belakang kiri melihat sebuah punggung dideret meja ketiga dari depan, lajur kedua dari kiri, itu punggung Raya. Gadis itu tampak meletakkan kepalanya di atas meja dikelilingi lengan yang terlipat menutupi wajahnya, sepertinya tidur. “Raya remidi lagi gak ya?” ia bergumam.
Dahlah bilangan 40 membuat Bayu pusing, mending main Remi saja. “Eh, aku melu.”
Jika Raya selalu berangkat sangat pagi, itu juga berlaku saat jam pulang. Maksudnya dia adalah orang pertama yang meninggalkan kelas. Disaat anak anak lainnya sedang beres beres, Raya sudah menenteng ranselnya dan berlalu. Bayu sempat melihat Raya keluar langsung berteriak memanggil dari jendela. “Ya, Raya!” Lantas berlari keluar, tergesa menghampiri.
Sesampainya di hadapan gadis itu, Raya tampak memicingkan mata. “Remidi lagi gak?”
Anjir apasih? Gak penting, Raya kira ada apa panggil panggil sampai lari seperti itu, eh taunya cuma nanya masalah remedial. “Kenapa emang?”
“Ya, Cuma. Tanya. Hehe” Ok Raya akan menjawab untuk memenuhi hasrat keingin tahuan Bayu setelahnya Raya bisa pergi.
“Iya,” Raya langsung melengos namun Bayu bertanya lagi. “Ini kamu mau ke Bu Nini, tah?”
Ternyata nanya lagi? Raya membatin, “enggak,”
“loh, kenapa? Kamu gak minta perbaikan lagi, tah?”
“Enggak.” Raya mempercepat langkahnya membuat Bayu tertinggal. Sedangkan lelaki itu hanya mengangguk paham lalu kembali ke kelas.
“Rek! Yang mau remidi sejarah langsung ke Bu Nini, ya.” Itu adalah suara ketua kelas, mengingatkan sekali lagi pesan Bu Nini tadi. Mereka yang sudah siap langsung mengikuti ketua kelas menuju ruang guru. Sisanya masih tinggal di kelas.
Bayu segera menenteng ransel dan menyusul rombongan. Ia harus menyelamatkan nilainya. Apalagi itu nilai UTS yang mempunyai presentase tinggi di rapor. Kalau tidak di selamatkan nilai rapornya bisa saja turun, tidak bisa Bayu biarkan. Nilai rapornya harus selalu meningkat jika ingin lolos SNMPTN.
Kata mas Jepri, kakak sepupunya yang sekarang semester lima sastra Inggris Unair, kalau mau lulus SNMPTN jangan sekali kali meremehkan tugas, apapun itu terutama ujian ujian penting. Nilai harus minimal rata-rata delapan dan selalu menunjukkan peningkatan.
Sejauh ini tujuan Bayu adalah kuliah. Syukur-syukur kalau beruntung bisa masuk PTN. Jika Bayu ingin beruntung, dia harus bekerja keras sejak semester pertama.
Untuk universitas mana yang akan ia pilih, Bayu masih belum ada bayangan. Unesa? Lumayan, universitas yang cocok untuk kalangan seperti Bayu. UIN? Bayu harus pikirkan berkali kali bagaimana beratnya menanggung ekspetasi banyak orang-orang di RT 04 nanti ‘Bayu jadi anak alim’ atau ‘Bayu sudah bertobat’ UPN? UPN juga oke. Unair? ITS? Gak dulu, berat saingannya, otak Bayu juga belum sampai. Namun kampus manapun yang Bayu pilih nantinya, ia hanya berharap bisa kuliah dan tidak salah jurusan, itu saja sudah sangat cukup.
Ayah bercerita, dulu beliau tidak bisa kuliah karena harus bekerja dan merawatnya yang masih sangat kecil. Hingga uang hasil kerja keras ayah untuk menghidupi mereka masih ada sisa. Beliau mempergunakan uang tersebut untuk merenovasi rumah eyang, dan membangun rumah sendiri untuk mereka berdua. Ayah bilang beliau juga memiliki tabungan yang cukup untuk biaya sekolah Bayu, ayah berharap anaknya memiliki kehidupan yang layak dan bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Raya
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayu
General FictionAndai saja jika Bayu tak pernah lahir kedunia ini, andai jika dulu janin mungil itu berhasil gugur. Mungkin Tara tidak akan berakhir menyedihkan seperti ini. Start: 250421