Semua itu, adalah cerita bagaimana Jeongwoo dan Jia bisa berakhir bertemu lagi di kafe sore ini. Saat membawa ponsel Jia, Jeongwoo sempat menelpon ponselnya sendiri lawat panggilan darurat di ponsel yang terkunci itu. Hingga nomor Jia terekam pada ponselnya.
Meski saat ini suasananya masih kaku, tidak ada salah satu dari mereka pun yang sepertinya berencana pergi secepatnya.
Pengunjung kafe sudah berganti beberapa kali, namun dua orang ini tidak juga beranjak dari kursi mereka masing masing. Setelah tiga jam dengan lima gelas kosong di atas meja, keduanya entah bagaimana merasa nyaman dengan keheningan tersebut.
"Ah, iya. Bagaimana kabar keluargamu? Susah lama aku tidak bertemu mereka." Si laki laki mencari topik, entah sudah yang keberapa kalinya.
Jia tersenyum samar, terlalu samar bagi Jeongwoo untuk menyadarinya. "Mereka baik baik saja.."
"Tapi masih selalu menanyakan keadaanmu."
Lanjutan perkataan Jia membuat Jeongwoo tertegun. Alisnya menyatu sementara ada perasaan tidak enak menyeruak di dadanya. "Kau... Tidak memberitahu mereka soal kita?"
Jia membalas, "apa aku harus?"
Kepala Jeongwoo langsung menggeleng ribut. "Tidak usah. Jangan, kumohon."
Jika keluarganya tahu, Jeongwoo bisa dilarang mendekati Jia lagi...
Laki laki itu menyesap minumannya dalam diam. Suasana di sini terlalu beku. Dengan semua yang telah dilakukannya pada Jia di masa lalu tentu telah tumbuh menjadi dinding tebal yang memisahkan keduanya.
Jia masih sakit hati, itu terlihat jelas sekali. Dan Jeongwoo tidak akan menyalahkannya untuk itu.
"Kau... Apa kau menyukai Sam?"
"Bagaimana menurutmu?"
Jeongwoo menelan salivanya sendiri dengan gugup. Ia sungguh sedang mengubur dalam dalam rasa egonya dengan bertanya, "apa masih ada kesempatan untukku?"
Tidak ada yang berubah dari raut wajah Jia sebelum si gadis memutuskan untuk memberi kekehan sinis beberapa detik kemudian.
"Seseorang membuatku menunggu selama hampir setahun tanpa kabar namun ia menghancurkanku begitu menghubungiku. Kalau kau jadi aku, apa kau akan memberinya kesempatan lagi?"
Jia benar benar telah menggunakan senjata terbesarnya untuk membungkam Jeongwoo. Laki laki itu menggigit bibirnya gusar, tidak menyangka bahwa orang di depannya ini akan mengungkit hal paling sensitif di antara keduanya.
Ia tahu Jia akan berkata seperti ini cepat atau lambat. Namun tidak peduli berapa banyak kali ia berlatih berbicara di depan cermin untuk membalas perkataan tersebut, dirinya tetap terasa membeku begitu mendengarnya.
Satu menit, tidak ada yang berbicara di antara keduanya. Hanya ada senyum sinis Jia, dan mata gugup Jeongwoo dengan giginya yang masih asik menggigiti bibir bawahnya.
"Kalau kau mau... Kau harus coba memberinya kesempatan." Jeongwoo akhirnya membalas.
"Alasannya?"
Dengan segala keberanian yang dikumpulkan sejak tadi, mata tajam bak serigala itu menatap netra berwarna cokelat terang di hadapannya. "Orang itu berani kembali. Artinya dia punya alasan atas segalanya, kan?"
Untuk pertama kalinya sejak kembalinya Jeongwoo ke kota Perth, Jia baru menyadari bahwa selama 2 pekan ia bertemu dengan laki laki ini lagi, ia tidak pernah menanyakan alasan kepergian serta alasan kembalinya orang ini.
Sementara itu jantung Jeongwoo semakin berguncang karena gugup. Bahkan otaknya sudah tidak mampu unuk sekedar menyusun kalimat sebagai jawaban saking paniknya.
Ia merasa seolah sedang berada di tepi jurang saat ini. Setiap kata yang akan ia lontarkan sebagai alasan tentang segala perilakunya pada si gadis selama ini, akan menentukan bagaimana kelanjutan hubungan mereka ke depannya.
Mulutnya tergerak setelah memantapkan hati untuk bertanya. Namun di luar dugaan, ponselnya berdering membuat atensi keduanya teralihkan pada benda pipih di atas meja tersebut.
Jia melirik Jeongwoo sebentar yang kemudian langsung dibalas anggukan olehnya.
"Hey, a--"
"Kau bilang hanya akan bersantai di rumah sendiri sepulang dari kampus. Kau bahkan melarangku berkunjung."
"Huh?"
"Apa sekarang kalimat bersantai di rumah berubah menjadi menemui mantan kekasih secara diam diam?"
Jia menelan ludahnya. Matanya sibuk mencari keberadaan orang di seberang telepon yang kemungkinan besar sedang berada di sekitar sini.
"Pintu."
Ia cepat cepat menoleh ke tempat yang disebutkan. Betul saja, seorang laki laki berambut merah sedang menatapnya tajam dari sana, dengan tangannya yang masih memegang ponsel di telinga.
Sam.
Belum sempat Jia berkata apapun, Sam mendahului dengan nada sinis dan kesal, "keluar dari sana, sekarang."
Jia kembali melihat Jeongwoo yang menatapnya dengan khawatir. "Apa ada masalah?"
Iya, besar sekali.
Ibu jari Jia mengetuk layar ponsel, memutus panggilannya dengan Sam. "Aku... Aku harus pergi sekarang. Ada beberapa hal yang perlu kuurus."
Jeongwoo hanya bisa mengangguk pelan, menatap si gadis yang berdiri dari kursi sembari menenteng mantelnya. Ia menghela napas pelan, mungkin lain kali lagi.
"Aku akan menghubungimu lagi," ucap Jeongwoo, yang untungnya langsung dijawab anggukan oleh Jia.
"Maaf, sepertinya tidak bisa." Suara lembut dengan nada tajam dari seorang lelaki yang tiba tiba datang ke meja mereka terdengar. Sam, ia berdecak sinis, jangan lupakan matanya yang menatap Jeongwoo dengan sinis.
Sedangkan Jeongwoo menatapnya malas. "Aku tidak bicara padamu."
"Jia tanggung jawabku sekarang, dan aku tidak akan membiarkan kalian bertemu lagi tanpa seizinku." Balas Sam.
Tawa remeh si pemuda Korea terdengar. "Maaf, tapi aku tidak peduli."
Sam tetap tidak goyah. Ia mencengkram kuat pergelangan tangan Jia, disambut oleh reaksi tidak suka dari Jeongwoo yang membuatnya tersenyum miring. "As if you can fight me, Park Jeongwoo."
Jia berdecak, akhirnya memutuskan untuk menengahi keduanya. "Diamlah, Sam. Ayo pergi saja."
Dan untuk kedua kalinya sejak Jeongwoo kembali ke negeri kangguru ini, ia hanya bisa memperhatikan bagaimana Jia dibawa pergi oleh orang lain, tanpa berhak untuk mengejar sama sekali.
Di kafe tengah kota yang semakin ramai ini, Jeongwoo terdiam di kursinya dengan kepala tertunduk. Seketika hatinya terasa tidak tenang, entah mengapa. Sesuatu dalam hatinya mulai merasa bahwa keputusannya untuk kembali mengejar si gadis itu sia sia. Hampir dua tahun ia meninggalkannya-yah, tentu ia punya alasan. Tapi itu tidak menutup kemungkinan perasaan Jia padanya sudah berubah.
Bohong kalau Jeongwoo bilang ia tidak takut. Walau Jia terlihat tidak menyukai keberadaan Sam, Jeongwoo tetap tidak bisa menyingkirkan segala pemikiran buruk di pikirannya soal bagaimana Jia terlihat menurut sekali dengan temannya itu.
Si gadis bahkan tidak melawan saat Sam menelponnya untuk segera pergi tadi. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat Jeongwoo terlempar pada titik di mana ia merasa rasa percaya dirinya tentang mendapatkan Jia kembali sangat rendah.
Happy of sad ending??? Enaknya gmn?
Btw don't forget the vomment guys!!🙌🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To December | Park Jeongwoo
Fiksi Penggemar[END] Semua kembali sama seperti pertama kali. Namun kali ini, Jeongwoo harus berusaha lebih keras dari sebelumnya. The second book of All Too Well inspired by Taylor Swift's "Back To December"