Metta hanya diam saat dituntun sang nenek masuk ke rumah. Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya keadaannya membaik dan diizinkan pulang. Beberapa kali neneknya bertanya, ia hanya menjawab dengan gelengan dan anggukan. Gadis itu duduk di sofa dengan pikiran yang melayang entah ke mana-mana.
"Met, lu istirahat di kamar aja." Terdengar langkah Nenek Munaroh menghampiri dan mengamit tangannya. Lagi-lagi Metta hanya menurut.
"Lu tiduran aja, gue mau masak dulu. Lu mau makan apa? Bubur?" tanya sang nenek semangat.
Metta menggelengkan kepala. "Nek, Lendra baik-baik aja kan?"
Nenek Munaroh terdiam, menatap setiap inci wajah cucunya. Ia kemudian menghela napas panjang. "Gak usah mikirin orang lain, pikirin diri lu aja!"
"Tapi, Nek, Metta harus tahu gimana keadaan Lendra. Di-dia kesakitan, Metta dengar dia nangis. Di-"
Dengan cepat sang nenek menghentikan ucapan Metta. "Udah, ya. Gue gak mau dengar apa pun lagi tentang anak itu! Dia yang buat lu jadi celaka, coba kalau dia gak ajak lu keluar. Lu pasti aman di rumah, gak akan terbaring di rumah sakit." Sang nenek bangkit dan meninggalkan Metta.
"Tapi, Nek, Lendra yang salah. Semua terjadi karena kecelakaan, tiba-tiba." Air mata Metta mengalir membasahi pipi, ia benar-benar ingin tahu bagaimana keadaan Lendra. Ia ingat betul, bagaimana ringisan lelaki itu. Ia juga pasti terluka, entah mungkin lebih parah dari dirinya sendiri.
Nenek Munaroh menghela napas panjang, kemudian pergi tanpa peduli apa yang dikatakan sang cucu. Dalam pikiran nenek, Lendra itu tidak bertanggungjawab. Itu saja. Apalagi setelah mendengar cerita dari Alan, lelaki itu seorang penjahat wanita. Pacarnya ada di mana-mana, membuat nenek kian tak sudi bahkan hanya mendengar namanya.
"Lendra gak salah. Lendra gak salah." Kalimat itu keluar dari bibir Metta dibarengi isakan.
***
"Beneran kamu udah gak apa-apa?" tanya Delia saat melihat anaknya sudah berseragam sekolah lengkap.Lendra menganggukkan kepala. "Tenang, Ma. Lendra udah gak apa-apa, kok."
Dandi yang duduk di meja makan hanya mendengar, tak mengeluarkan sepatah kata seperti istrinya yang sibuk dari tadi. Ia tampak berpikir, kenapa permasalahan remaja sekarang begitu rumit. Tak sama seperti masanya dulu, yang hanya butuh belajar dan bermain. Sekarang ada-ada saja yang jadi pembahasan, urusan cewek pun jadi masalah besar.
Jalan Lendra masih tertatih, terdapat perban di kaki sebelah kirinya. Meski tak terlalu lebar, rasanya juga tak bisa diabaikan. Lendra tak ingat jelas, siapa yang memukul kakinya waktu itu. Wajah Lendra masih tampak lebam, ada beberapa tempel luka yang melekat.
"Biar papa yang antar kamu ke sekolah." Akhirnya Dandi mengeluarkan suara. Ia bangkit, meminta sopir memanaskan mobil. Lendra hanya mengangguk dan mulai menyantap sarapan yang telah dihidangkan sang mama.
Selama perjalanan, Lendra tak banyak bicara. Hanya menjawab seadanya jika Dandi menanyakan tentang sekolah.
Tak lama kemudian, tampak pamflet SMA Pelita Pajar. Lendra turun dari mobil dan berjalan hati-hati, menelusuri kelas demi kelas agar mencapai kelas XI IPS 2. Bisikan-bisikan terdengar dari kumpulan-kumpulan siswi. Lendra tak peduli, terserah mereka berbicara apa.
"Lendra!" Pijar berlari dari arah belakang sekolah. Ia menghampiri dan menatap temannya penuh simpati.
"Lo gak apa-apa, kan? Perlu bantuan?"
Lendra menggelengkan kepala. "Gue bisa sendiri."
Tak lama kemudian, Alan pun tiba. Tatapan sinis dan jijik tampak di wajahnya. Pijar yang menyadari ketidakberesan itu pun berpikir, ada apa sebenarnya?
Belum sempat ia mengeluarkan suara, Alan bangkit dari kursinya dan keluar, sedangkan Lendra membuang muka, menatap jauh ke luar kaca kelas.
Pijar yang penasaran pun berdecak. "Ada apa, sih? Pertama, lo ngilang tiga hari dan pulang-pulang udah sakit dan sekarang kalian kayak banyak beban hidup gitu. Terus gue gak tau apa-apa." Pijar mengeluarkan unek-unek dalam hatinya.
Lendra bangkit tanpa menoleh atau menyahut. Ia keluar saat mendengar bel berbunyi. Pijar kian dirundung pilu, hanya mampu ikut berdiri dan keluar menuju lapangan.
Saat pelajaran berlangsung hingga istirahat tiba tak ada suara di antara mereka. Membuat Pijar benar-benar merasa tak berguna. Berkali-kali ia mencoba membuat lelucon, mereka sama sekali tak menggubris. Pijar bahkan menukar buku tulis mereka dan yang terjadi keduanya saling mengambil buku masing-masing tanpa suara.
Bagi Pijar waktu terasa membosankan, tak ada canda seperti biasa. Ia seperti seorang diri di antara banyaknya manusia. Pijar berjanji, setelah bel pulang berbunyi ia akan menyelesaikan masalah di antara mereka.
Pukul 12.00, bel pulang berbunyi. Pijar sudah siap siaga untuk mengintrogasi temannya. Ia menarik Alan secara paksa, menahan lelaki itu agar tidak keluar.
"Apaan, sih, Jar? Gue mau pulang!"
"Diam di sini!'
Pijar berlari ke depan kelas, di mana Lendra berjalan tertatih-tatih. Pijar menghentikannya dan menarik paksa kembali ke kelas. Awalnya Lendra menolak, tetapi akhirnya menurut saat Pijar mengancam akan menendang kakinya.
Alan tersentak saat Pijar membawa Lendra masuk. Ia bangkit, berniat pergi. Namun, Pijar tak tinggal diam. Ia menutup pintu rapat-rapat.
"Gue mau tau, sebenarnya masalah di antara kalian itu apa?" Pijar bersedekap dada.
"Bukan urusan lo!" Suara serak milik Lendra mengisi ruangan yang sepi.
Alan tersenyum sinis, berjalan menghampiri Lendra.
Buk! Alan melayangkan satu bogem ke arah tulang pipi Lendra. Emosi lelaki itu langsung naik, ia mengusap pipinya dengan kasar. Saat akan membalas, Pijar tiba-tiba datang ke tengah mereka.
"Gue gak tau masalah kalian apa, tapi tolong ... jangan bikin gue emosi. Gue gak suka cara kalian, kalau ada masalah bisa dibicarakan baik-baik, gak usah main tumbuk. Kalian ingat nggak-"
"Nggak!" potong keduanya serempak. Pijar mengelus dada.
Lendra terkekeh kecil. "Lo itu pengecut, beraninya menyerang saat gue lemah kayak gini."
Alan tak membalas, ia hanya menatap tanpa ekspresi.
"Dan satu hal lagi, gue gak akan pernah menjauhi Metta. Gue gak peduli lo itu sahabat dia dari kecil atau apa dia, hidup ini berjalan. Cerita Metta bukan cuma tentang masa lalu, apalagi tentang lo!"
Alan menaikkan sebelah alis. "Oh ya? Lo gak akan bisa berbuat banyak."
Lendra menganggukkan kepala. "Untuk sekarang, ya. Tapi bukan berarti sampai selamanya." Lelaki itu berbalik, meninggalkan ruangan itu.
Pijar yang menyaksikan semua kejadian itu menganga, bingung bercampur kaget. Metta? Satu nama yang membuatnya tertarik. Apa gara-gara cewek lagi, sahabatnya akan bubar seperti di masa lalu? Tatapan Pijar kini beralih pada Alan, temannya itu mematung di tempat.
"Lan, sebenernya ad-"
"Bukan urusan lo!" Alan memotong perkataan Pijar dan bergegas keluar. Pijar menarik napas panjang, kemudian menghempaskan bokong di kursi.
"Gue gak berguna banget, ya?"
🍀🍀🍀
TBC ...Update pagi-pagi ah. Ada yang penasaran bagaimana kisah selanjutnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Mata Ke Metta ✓
Teen Fiction~Ketika cinta apa adanya benar-benar nyata ~ Bhalendra Adelard, si playboy sombong yang kerap mempermainkan perasaan cewek-cewek di sekolahnya. Baginya memiliki banyak kekasih adalah kebanggaan dan layak dipamerkan. Namun, pertemuannya dengan Mettas...