Lendra bersiul sembari menyisir rambutnya ke belakang, sesekali ia berdecak dan mengedipkan mata ke arah cermin.
"Gue emang tampan di atas nampan. Eh, kok nampan? Tampan di atas tampan, dong," ujarnya kemudian berjalan keluar kamar. Sore ini ia ada janji bertemu dengan gebetan baru dari sekolah lain yang ia kenal melalui Instagram. Lendra tak peduli, itu gebetan yang ke berapa. Selama ia cantik, seksi dan bisa dipamerkan ke temannya akan diembat.
Lendra memakai sepatu sport hitam bergaris biru, disesuaikan dengan baju hitam dan celana jeans biru. Tak lupa pula ia menyematkan arloji mahal yang dibawa ayahnya bulan lalu, oleh-oleh dari Rusia. Delia-mama Lendra yang baru dari dapur, datang menghampiri.
"Mau ke mana, Sayang? Ganteng sangat." Sang mama menatap dengan sebelah mata yang disipitkan.
Lendra tersenyum, mengamit tangan Delia. "Mama kayak gak pernah muda aja."
Delia memutar bola matanya dengan malas. "Justru karena mama pernah muda makanya nanya. Anak muda zaman sekarang mah udah beda dengan yang dulu. Banyak gaya, malas belajar, sukanya hura-hura aja!"
"Mama is. Lendra kan gak gitu. Lendra anak baik, patuh pada orang tua dan rajin menabung." Lendra mengedipkan sebelah matanya.
"Nah itu satu, suka ngerayu perempuan."
"Ya kalau ngerayu laki, beda ceritanya, Ma. Itu bukan laki tulen." Ada-ada saja jawaban anak itu.
Delia menggelengkan kepala mendengar penuturan anak semata wayangnya. Setiap dinasihati selalu saja ada jawaban yang membuatnya geleng-geleng.
Sikap dan sifat Lendra di rumah dan di sekolah bertolak belakang. Di rumah ia masih seperti anak kecil, terurus dan suka bermanja-manja dengan orang tuanya. Kalau di sekolah ia seorang pemain dan suka memanjakan perempuan. Lendra anak tunggal dari keluarga Adelard, pewaris tahta dan perusahaan milik keluarganya.
"Ya, udah sana pergi! Pulangnya ajak calon mantu, jangan sendiri terus."
"Ha?"
Delia terkekeh kecil melihat ekspresi terkejut anaknya. Ia juga mengedipkan sebelah mata, seperti Lendra yang kerap menggodanya.
"Belum ada yang cocok, Ma," balas Lendra.
"Bukan belum cocok, cuma Lendra aja yang gak bisa milih. Terlalu banyak yang mau dibungkus." Tawa Delia kian meledak saat Lendra memutar bola matanya.
"Dikira makanan pake dibungkus segala."
Lagi-lagi tawa Delia meledak. "Ya harus, dong. Emang makanan doang yang dibungkus, cewek juga. Kalau nggak dibungkus, ya kabur."
"Dahlah, lama-lama Mama bikin Lendra bingung. Suka banget buat rusuh di hati anaknya. Ganteng pamit, Ma. Dadah!" Lelaki itu pun menghampiri motornya dan berlalu dengan cepat.
Delia tersenyum manis. "Anak zaman sekarang memang beda, ya."
***
Lima belas menit berlalu, Lendra menunggu di kursi taman. Beberapa kali ia melirik jam tangannya, menghitung detik demi detik.
"Itu cewek ke mana, sih? Janjian jam berapa, datang jam berapa. Seorang Lendra disuruh nunggu? Sendirian lagi. Dikira gue ini mau kayak cowok di pemeran FTV, nungguin lama terus gak dihampiri. Awas aja kalau dia datang, gue tinggalin biar mampus!" Lelaki itu berdecih, lalu bangkit dari tempat duduknya. Tak jauh darinya, seorang perempuan yang mengenakan dress biru berjalan tergopoh-gopoh.
"Maaf, aku telat, ya?"
"Udah tau telat, masih nanya. Udahlah, gue males," kata Lendra dan berlalu begitu saja.
"Ta-tapi, Len-"
Lendra membalikkan badannya tiba-tiba dan berucap, "Ini pertemuan terakhir kita. Setelah hari ini, anggap gue gak pernah ketemu sama lo dan yang paling utama hapus nomor WA gue dari ponsel lo!"
"Lendra, lo jahat banget, sih." Perempuan itu mulai terisak.
Lendra tak acuh, ia meninggalkan perempuan itu sendirian.
Selama perjalanan menuju parkiran, Lendra tak henti mengomel. Ia menyesal, buang-buang waktu pergi ke taman dan hasilnya tak sesuai ekspektasi.
"Cantik, sih, cuma gak disiplin. Males banget. Dia gak tau apa, ya, kalau gue itu cowok tampan pemilih." Lendra masih mengomel saat tiba di parkiran.
"Mending tadi gue pergi ke rumah Alan, bisa main game sepuasnya." Ia menendang botol bekas minum yang terletak sembarangan di jalan. "Ini lagi siapa yang buang sampah di sini."
Buk!
"Aw!"
Lendra kaget saat seorang perempuan mengusap-usap kepalanya. Seketika ia pun menghampiri. "Lo gak apa-apa? Sorry, gue gak sengaja."
"Cantik juga, nih," batin Lendra.
"Iya, gak apa-apa, Mas." Perempuan itu berucap pelan, kemudian menggerakkan tongkat di tangannya.
Dahi lelaki itu berkerut, sifat jailnya pun muncul, dengan sengaja ia menendang tongkat itu dan ...
"Tongkatku!" Perempuan itu berjongkok, meraba-raba rumput taman untuk mencari tongkatnya.
Tawa Lendra meledak. "Lo buta? Gila aja, si buta keluyuran."
Perempuan itu tak menyahut dan masih berusaha mencari tongkatnya. Tak lama kemudian, ia tersenyum kecil karena berhasil mendapatkannya kembali. Dengan gerakan pelan, ia berdiri. "Mata saya memang buta, Mas, tapi hati saya nggak buta kayak masnya."
"Ha? Hati gue buta? Lo gak tau aja, di hati gue banyak cewek cantik." Lendra menunjuk dadanya. "Oh iya, lo kan buta, gak bisa liat gue. Kalau lo bisa liat, pasti jatuh hati pada ketampanan gue." Lagi-lagi Lendra terbahak-bahak.
Perempuan itu terkekeh pelan. "Gak semua perempuan itu suka yang tampan, Mas. Tampan, tapi gak bisa jadi imam, gak bisa kasih kebahagiaan, buat apa?" Ia pun menggerakkan tongkat, berjalan pelan meninggalkan Lendra yang terdiam.
Setelah perempuan itu tak terlihat lagi, Lendra tersenyum jahat. "Oh, ya? Gue rasa lo juga gak bakal nolak kalau gue deketin."
Setelah pertemuan dengan perempuan tunanetra itu, Lendra jadi banyak diam. Ia bukan merenungi ucapannya tadi, tetapi memikirkan bagaimana cara agar bisa berjumpa, berkenalan dan memasuki dunia perempuan itu. Banyak rencana yang ingin dilakukan.
"Sayang, makan dulu!" Delia muncul dari balik pintu. Ia menatap anaknya yang hanya diam dan menatap langit-langit.
"Hei?" Sang mama pun menghampiri dan menepuk lengan Lendra.
Lelaki itu kaget dan langsung duduk. "Mama ngagetin aja."
"Lagi mikirin apa, sih? Dari tadi mama panggilin gak nyahut, malah bengong kayak punya utang seabrek," tandas Delia sembari memicingkan mata.
Lendra berdecak. "Mama mah gitu, anaknya lagi pusing."
"Pusing minum obat, dong. Malah nyalahin mama," ucap Delia dengan polos.
"Hadeh, Mama." Lendra menjatuhkan kembali badannya ke tempat tidur. Delia terkekeh, lalu berniat pergi. Namun, Lendra dengan cepat menahan
"Ma, cara deketin cewek gimana?"
Delia menatap anaknya, dari ujung rambut ke kaki. Kemudian ia meletakkan lengannya di dahi Lendra. "Si ganteng gak panas, kan?"
"Ma, Lendra serius."
"Mama juga serius, bingung dah. Anak mama lagi jatuh cinta? Sama siapa? Siapa cewek yang bisa bikin anak mama kayak gini?" Banyaknya pertanyaan yang dilontarkan sang mama membuat Lendra memijit pelipisnya. Satu kalimat yang menjadi fokus pikirannya kini.
"Jatuh cinta?"
🍀🍀🍀
TBC ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Mata Ke Metta ✓
Novela Juvenil~Ketika cinta apa adanya benar-benar nyata ~ Bhalendra Adelard, si playboy sombong yang kerap mempermainkan perasaan cewek-cewek di sekolahnya. Baginya memiliki banyak kekasih adalah kebanggaan dan layak dipamerkan. Namun, pertemuannya dengan Mettas...