14. 🍀 Toko Mas

42 24 3
                                    

Lendra bersiul-siul saat tiba di sekolah, beberapa siswi memandang penuh kekaguman. Tak sedikit yang menyapa dengan senyum menggoda, tetapi Lendra membalas sekadarnya. Sangat kentara perbedaan beberapa waktu lalu, saat ia menjadi playboy.

Tak jauh darinya Pijar berjalan terburu-buru untuk menghampiri, lelaki itu bahkan ngos-ngosan saat mencapai Lendra.

"Kenapa lo?" tanya Lendra tak acuh, ia masih melanjutkan langkah.

"Hei, gila. Tungguin gue!" Lagi-lagi Pijar harus berlari.

"Kenapa harus lari-lari, sih? Santai aja, bel masih lama." Lendra berucap sambil melirik jam tangannya.

"Bukan itu. Gue mau nanya tentang Alan."

Langkah Lendra sontak terhenti. Ia menoleh sekilas, kemudian menepuk-nepuk dagu. Ia pun tak tahu kabar Alan sejak pertemuan kemarin di rumah Metta. Jarak di antara mereka jadi jauh. "Gue juga gak tahu. Udah chat?" Lendra melangkahkan kakinya pelan, beriringan dengan Pijar.

"Elah, kalau bisa gue gak bakal tanya lo. Kalian gak main serong, kan?"

"Maksud lo?" Tatapan Lendra menajam.

"Ya, gue ngomong sesuai fakta. Terakhir bersama, kalian berantem. Gimana gue yakin kalian gak ada apa-apa," tutur Pijar serius.

"Emang gak ada apa-apanya."

Pijar tersenyum tipis. Ia menghentikan langkah, membiarkan Lendra masuk kelas lebih dulu. Pandangannya beralih ke parkiran, berharap motor Alan tiba. Beberapa menit berlalu, tak ada tanda-tanda itu akhirnya Pijar memilih ikut masuk kelas. Bel pun sebentar lagi akan berbunyi.

Seperti halnya Pijar, Lendra pun tak tenang. Beberapa kali ia menatap kursi milik Alan yang berjarak satu meja dengannya. Hatinya bertanya-tanya, ke mana anak itu?

***
"Lu kagak boleh bawa cucu gue ke mana-mana!"

"Nenek?" Keduanya berucap serempak.

Metta menyandarkan badannya di sofa. "Nenek beneran gak kasih izin?" Wajahnya sendu.

"Iya."

Jawaban singkat itu membuat nyali Lendra menciut. Ia tak berani berkata-kata lagi. Hanya menatap kosong ke arah pintu depan. Perlahan lelaki itu bangkit, meski sedikit kecewa ia pun tak ingin memaksa.

"Ya udah gak apa-apa, besok gue datang aja ke sini. Gak usah ke mana-mana. Pamit ya, Nek." Lendra melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu.

"Nek?"

Nenek Munaroh tersentak saat Sarah sudah ada di depannya tengah melambai-lambaikan tangan.

"Apa lu?" tanyanya ketus.

Sarah membuang napas. "Harusnya Sarah yang tanya, Nenek kenapa bengang-bengong kayak pengangguran gitu?"

Nenek yang mendengar itu pun memukul lengan Sarah pelan. "Sembarangan kalau ngomong. Apa gue keliatan kayak orang pengangguran?" Nenek Munaroh menunjuk dirinya sendiri.

Sarah buru-buru menggelengkan kepala. "Nggak kok, Nek." Lebih baik menghindar daripada dilempar.

Nenek Munaroh menghela napas panjang. "Gue bingung, Metta dari kemarin diam aje. Lu punya solusi kagak? Sebenernya dia mau ke mana? Nenek takut terjadi hal kayak waktu itu, dia sakit lagi. Dia satu-satunya barang berharga milik gue."

Sarah mengusap lengan Nenek Munaroh lembut. "Percaya aja, Nek. Sarah yakin, Lendra udah belajar dari kejadian lalu. Dia pasti bisa lebih baik jagain Metta."

Nenek Munaroh menatap jalanan. "Kalau terjadi apa-apa, tinggal gue bunuh dia aja ya, kan?"

Sarah menelan ludah dengan cepat, kemudian terkekeh kecil. "Keputusan ada pada nenek ratu." Lalu keduanya tertawa bersama.

Dari Mata Ke Metta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang