Amel menenggelamkan batang rokoknya di asbak lalu berdiri, memandangi Yori yang sedang video call dengan temannya. Sudah lebih dari setengah jam mereka berdialog entah membicarakan apa. Lagi pula, apa lagi yang bisa dibicarakan anak kecil selain mainan atau permainan lainnya? Amel menggeleng, itu bukan hal penting sepertinya.
Amel menarik arah pandangnya pada Fiony dan Chika, sepertinya mendengarkan dua orang dewasa berbicara lebih baik daripada mendengarkan pembicaraan anak kecil. Amel meneguk susunya sedikit kemudian memutuskan untuk berjalan mendekati mereka. Amel duduk di samping Chika, mendengarkan Chika sedang bernyanyi.
"Aku tlah tau kita memang tak mungkin tapi mengapa kita selalu bertemu, aku tlah tau hati ini harus menghindar namun kenyataan kutak bisa, maafkan aku terlanjur mencinta." Chika melantunkan nada dengan begitu biasa saja lalu setelahnya tersenyum senang dan bertanya. "Gimana Fio? Suara aku fals gak?"
Seperti juri, Fiony mengusap dagunya, tampak sedang berpikir dan mengangguk, "Fals tapi gak terlalu banyak. Falsnya hanya di detik pertama sampai terakhir."
Chika menyunggingkan senyumannya karena senang, "Syukurlah kalo gak terlalu fals. Kamu emang sahabat aku Fio."
Fiony menggenggam tangan Chika, "Seorang sahabat akan selalu memuji sahabatnya sendiri."
Amel mengerutkan dahinya bingung, percakapan macam apa itu? Amel mengembuskan nafas, ia akan tetap di sini sampai ada pembicaraan di mana ia bisa masuk di dalamnya.
"Giliran aku ya nyanyi?" Fiony melepaskan genggamannya dan berdehem sebelum bernyanyi. "Aku tlah tau kita memang tak mungkin tapi mengapa kita selalu bertemu, aku tlah tau hati ini harus menghindar namun kenyataan kutak bisa, maafkan aku terlanjur mencinta."
Chika bertepuk tangan, "Suara kamu bagus banget deh Fio, kayanya kamu punya bakat terpendam yang lebih baik dipendam selamanya deh." Chika tampak sangat girang mengucapkan itu.
Fiony tersenyum senang, "Makasih ya Chika kamu udah mau selalu puji aku."
Chika mengangguk sambil memukul pelan dadanya sendiri, "Iya dong aku, seorang sahabat harus selalu memuji sahabatnya sendiri. Sini pelukan." Chika menarik tubuh Fiony ke dalam pelukannya. "Kak Amel mau ikutan pelukan gak?"
"Gak dulu." Amel memaksakan senyumannya sambil mengusap tengkuknya sendiri karena bingung.
"Ya udah kalo gitu." Chika mengeratkan pelukannya sampai beberapa detik sebelum akhirnya dilepaskan. "Fio kamu pernah dirawat di rumah sakit jiwa gak?"
Fiony menggeleng, "Ngga, aku pernah sih masuk RS karena penyakit jantung, ya biasalah ya penyakit orang kaya." Fiony tertawa kecil. "Kalo orang miskin kaya kamu biasanya sakit apa?"
"Ya paling tipes, maag, lambung. Eh tapi Fio kamu gak boleh rasis sama penyakit loh nanti dimarahin pak Jokowi." Chika menyipitkan matanya pada Fiony kemudian menggelengkan kepala, menegaskan bahwa Fiony tidak boleh seperti itu lagi.
"Maafin aku ya Chika aku gak akan mengotak-ngotakan penyakit orang kaya dan orang miskin lagi, aku gak mau dimarahin pak Jokowi." Fiony menarik nafas sampai kedua pipinya mengembung dan diembuskan perlahan.
"Gila becandanya," gumam Amel pelan.
"Kak Amel gosipin kita?" Fiony meruncingkan tatapannya pada Amel.
Amel buru-buru menggeleng, "Ngga kok."
Fiony tiba-tiba saja tersenyum, "Iya aku percaya sama kak Amel. Gimana kalo kita main ABC lima dasar."
"Boleh." Chika mengangguk bersemangat.
"Aku gak ikut ya." Belum apa-apa Amel sudah mengangkat tangan tidak sanggup.