SATU

89 4 2
                                    


21 April 2117

Lokasi: Pangkalan rahasia Aliansi Militer Bumi di Thailand....

LEDAKAN yang sangat keras terdengar memekakkan telinga, diiringi munculnya bola api kuning kebiruan yang membakar apa saja yang ada di sekelilingnya.

"Mereka berhasil masuk!"

Teriakan tersebut terhenti karena ledakan yang mengempaskan tubuh orang yang berteriak, dan orang-orang di sekitarnya.

Setelah ledakan mulai reda, seorang gadis berusia enam belas tahun yang sedari tadi berbaring tertelungkup menengadah.

"Kakak!"

Gadis itu segera bangkit dan berlari menghampiri sesosok tubuh yang tergeletak tidak jauh dari dirinya. Dia memekik tertahan melihat sosok tubuh yang hitam karena hangus terbakar itu.

"Kak Akira!"

Gadis itu memeluk jasad yang telah hangus tersebut. Namun, dia segera menarik kembali tangannya karena panas masih menguar dari jasad yang masih mengeluarkan asap tersebut.

"Kak...," ujar si gadis dengan suara bergetar.

Belum puas si gadis menumpahkan rasa sedihnya karena ditinggal orang terkasihnya, erangan terdengar di dekatnya. Spontan gadis itu menoleh ke arah suara tersebut, membuat rambutnya yang diekor kuda tinggi-tinggi bergoyang.

"Jenderal Hudson..."

Gadis itu cepat beringsut ke arah pria yang dia panggil Jenderal. Seorang pria setengah baya yang terlihat masih gagah walau sebagian besar rambutnya telah memutih.

Di antara suara ledakan-ledakan kecil dan tembakan plasma, si gadis memapah pria setengah baya itu ke tempat yang lebih aman dan terlindung yang tak jauh dari situ.

"Kau harus pergi...," ucap Jenderal Hudson terbata-bata. "Nasib dunia ada di tanganmu sekarang... "

Gadis itu tertegun sejenak. "Tapi, Pak..."

Jenderal Hudson merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Dia membuka kotak tersebut.

"Sekarang kau adalah anggota tim. Karena itu kuserahkan SIVA padamu," kata Jenderal Hudson sambil mengeluarkan benda seperti jam tangan dari dalam kotak.

"Kami telah mengemasnya menjadi seperti jam tangan di masa tersebut, sehingga kau bisa membawanya ke mana pun tanpa mengundang kecurigaan," lanjut pria setengah baya itu.

"Anda menyerahkan SIVA padaku?" tanya si gadis dengan wajah tidak percaya.

Sebagai jawaban, Jenderal Hudson mendekatkan jam tangan itu pada mulutnya sambil menekankan ibu jari tangan kirinya pada layar jam tangan tersebut.

"Hudson, tiga lima dua enam satu delapan, mode speaker," katanya.

Terdengar suara bip dari arah jam.

"Selamat siang, Jenderal Hudson..." terdengar suara perempuan dari dalam jam.

"Pindahkan otorisasi kendali SIVA," kata Jenderal Hudson.

Terdengar bunyi bip lagi.

"Nama dan sandi otorisasi yang baru..." terdengar permintaan komputer.

Jenderal Hudson memberikan jam tangannya pada si gadis.

"Tempelkan ibu jarimu di layar dan sebutkan nama serta sandi yang kauinginkan. Enam angka...," kata Jenderal Hudson.

Si gadis menerima jam tangan tersebut dan melakukan permintaan si jenderal.

"Chlorina Foley, satu satu nol satu delapan empat...," ujarnya.

Terdengar suara bip dua kali, dan suara komputer terdengar lagi.

"Otorisasi berhasil. Terdaftar atas nama Chlorina Foley, lahir di..."

"Lewati bagian itu!" tukas Jenderal Hudson.

"Lewat...," kata gadis itu pada layar jam.

Suara bip terdengar satu kali.

"Selamat siang, Chlorina Foley. Menunggu perintah."

"Sekarang seluruh kendali SIVA ada di tanganmu. Secara normal, hanya kau yang bisa mendengar dan berbicara dengan SIVA, kecuali kau mengubahnya menjadi mode speaker seperti tadi. Mengerti?"

Gadis itu mengangguk.

"Pakai ini di tanganmu," perintah Jenderal Hudson.

Si gadis mengikuti perintah si jenderal. Dia melingkarkan jam tangan tersebut di tangan kirinya, lalu menutup rantai jam tersebut.

Longgar sekali! batin si gadis saat melihat rantai jam yang terlalu besar untuk tangannya.

Terdengar lagi suara bip, dan secara cepat rantai jam tiba-tiba mengecilkan diameternya, hingga akhirnya pas di tangan mungil si gadis.

"Semua misimu telah terprogram di sini. Cepat pergi sebelum terlambat...," perintah Jenderal Hudson.

"Tapi, Jenderal, aku kan hanya..."

"Kau pasti bisa. Kaulah harapan terakhir untuk menyelamatkan Bumi. Cepat!"

Jenderal Hudson mengerang panjang. Luka-luka di tubuhnya terlalu banyak.

"Cepat, Orin, atau Bumi akan hancur!" ucap si jenderal lirih, sebelum akhirnya terdiam. Untuk selamanya.

"Jenderal...," ucap gadis itu dengan nada lirih.

Suara ledakan kecil di dekat Orin menyadarkan gadis itu. Dia melihat ke sekelilingnya. Dari kejauhan terlihat sebuah tank besar milik Gorb berhasil menerobos masuk. Tentara Bumi yang tersisa dan mencoba menghadang tak mampu berbuat banyak menghadapi tank yang sangat besar tersebut.

Orin tak punya banyak waktu. Kalau tadi dia merasa ragu-ragu atas permintaan terakhir Jenderal Hudson, sekarang dia tidak sempat berpikir lagi.

Gadis itu menempelkan jari telunjuknya pada jam tangan yang sekarang melingkar di tangan kirinya.

"Buka Gerbang Waktu!" perintahnya.

Terdengar bunyi bip sekali, dan tiba-tiba, terbentuk medan energi yang memancarkan cahaya yang sangat terang di antara dua buah pilar setinggi tiga meter yang sekitar lima meter di depan Orin. Medan energi itu semakin lama makin membesar hingga mencapai diameter dua meter.

Orin menoleh ke arah jasad kakaknya tergeletak. Sebuah ransel tergeletak tidak jauh dari jasad tersebut. Gadis itu mengenali ransel itu sebagai milik kakaknya. Dia cepat berlari, dan mengambil ransel berwarna cokelat tersebut.

Sebelum pergi Orin menatap jasad kakaknya.

Doakan aku semoga berhasil, Kak! batinnya.

Sebelum berpaling pandangan Orin tertuju pada sepucuk pistol yang terselip di pinggang kakaknya. Pistol laser itu tidak ikut hangus terbakar.

"Dua puluh detik," terdengar suara komputer mikro SIVA yang menyadarkan Orin bahwa waktunya makin sempit.

Orin membungkuk, mencoba mengambil pistol di pinggang kakaknya. Saat itu sebuah tembakan plasma berkelebat, dan hampir saja mengenai tangan kanannya yang akan mengambil pistol.

"Sial!"

Orin menoleh. Dua prajurit Gorb terlihat mendekat ke arahnya sambil menembaki dirinya.

"Sepuluh detik."

Pistol yang masih terselip di pinggang kakaknya rusak terkena tembakan plasma. Tidak ada jalan lain bagi Orin kecuali lari menghindari tembakan prajurit Gorb yang terus memburunya. Sambil menenteng ransel kakaknya, gadis itu berlari ke arah medan energi di tengah hujan tembakan plasma dari para prajurit Gorb.

Beberapa meter lagi jarak Orin dan medan energi, salah seorang prajurit Gorb menembakkan roket ke arah medan energi tersebut.

"Lima, empat, tiga, dua..."

Sebuah ledakan di dekat Orin membuat dirinya agak limbung. Tinggal beberapa meter dari medan energi, gadis itu melompat menembus medan energi yang berada di depannya. Bersamaan dengan masuknya tubuh gadis itu ke dalamnya, medan energi mulai mengecil, kemudian menghilang.

Traveline Past (Preview)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang