1/5/2023
Aku berhenti, kuparkir motorku di halaman rumah ini. Kuambil kuncinya, dan melangkah ke arah pintu rumah.
"Aku pulang."
Hening. Tidak ada siapa pun yang menjawab sapaanku. Sama seperti biasanya, rumah ini memang selalu sepi.
Kubuka pintu dan masuk ke dalamnya. Di dalam rumah yang cukup besar ini, hanya aku yang menempatinya.
Aku melangkah kecil menuju dapur setelah kulempar tasku ke sofa yang penuh dengan debu. Kuambil sebuah gelas yang masih tersisa di rak dapur, tanda bahwa gelas itu masih bersih. Kuhampiri dispenser berisi air yang tinggal setengah itu. Dengan malas aku meminumnya.
Setelah air yang ada di dalam gelas habis, aku menggeletakkan gelasnya begitu saja di dalam cucian. Aku berfikir untuk langsung pergi tapi cucian yang menumpuk ini terasa sangat menggangguku.
"Huft, sepertinya aku memang harus mencucinya sekarang. Jika tidak, makan dengan apa aku nanti?"
Aku mulai melingkis lengan jaketku. Satu per satu kucuci piring-piring dan gelas-gelas yang menjijikkan ini. Setelah selesai semua, kutaruh ke rak dengan rapi.
Kulihat jam di tanganku. Pukul 14.00. Sisa dua jam lagi untukku berangkat bekerja. Dengan malas kulangkahkan kaki ke ruang tengah tadi, tempatku melempar tas. Aku membuka jaket yang terasa sangat panas ini. Dengan masih memakai seragam sekolah, aku duduk di sofa dan menyalakan televisi.
Kulihat sebuah vape yang tergeletak di meja. Aku mengambilnya bermaksud untuk menghirupnya. Tapi ternyata liquid yang ada di dalamnya sudah habis. Dengan sangat malas aku berdiri dari dudukku dan melangkah menuju tangga yang kemudian mengarah ke kamarku. Liquid-ku pasti ada di laci dekat kasur.
"Ah, banyak sekali kesialanku hari ini," gumamku sembari menggeledah isi laci.
Akhirnya aku menemukannya. Liquid dengan tulisan banana dan berwarna kuning inilah yang kucari. Ternyata aku masih memiliki cukup banyak stok liquid di sini. Baguslah. Jadi aku tidak perlu repot-repot membelinya untuk sementara ini.
Aku sudah mengambilnya dan bermaksud untuk turun lagi ke bawah. Vape-ku masih ada di bawah. Tapi saat hendak keluar dari kamar, aku mendengar sesuatu. Itu seperti teriakan seseorang. Aku yakin itu adalah perempuan.
"T-tolongg!"
Suaranya cukup nyaring. Sepertinya tidak jauh dari sini. Ah, aku tidak peduli. Itu bukan urusanku. Lagipula, terjebak dalam urusan orang lain pasti akan membuatku semakin sial.
"Tolongg! Siapapun, tolong aku!"
Ahh, suara itu mengganggu sekali! Jika aku tidak menolongnya, aku akan terus terganggu dengan suara kencangnya itu.
Kulangkahkan kaki ke arah jendela kamarku yang mengarah ke luar, halaman rumahku. Di sana terdapat seorang perempuan yang sedang dikepung oleh empat laki-laki berbadan besar. Preman, kah? Apa mereka mengincar tas yang di bawa perempuan itu? Mengincar hartanya? Ah, bodoh sekali. Kenapa tidak dia berikan saja? Sungguh merepotkan.
Dengan terpaksa aku turun ke bawah. Kuletakkan liquid-ku tadi di meja. Televisi juga masih menyala dan menampilkan program acaranya. Aku melangkah ke dapur dan pergi membawa satu pisau yang memiliki sarung pembungkus. Kumasukkan pisau itu ke dalam saku celana sekolahku. Setelah siap, kubuka pintu rumah dan keluar ke arah keributan itu.
"Berhenti," ucapku pelan kepada para preman itu. Tapi aku yakin mereka masih bisa mendengarku.
Mereka menghentikan aksinya. Perempuan yang tadi menjerit kini berlari ke belakang punggungku dengan wajah yang sangat ketakutan.
"Oh, ada pahlawan kesiangan di sini rupanya," ujar salah satu dari preman itu.
"Ada apa, anak kecil? Ah, kau masih anak SMA. Masuklah, aku akan mengampunimu. Kasihan jika kau babak belur pasti tidak bisa bersekolah lagi." Mereka berempat serentak menertawakanku karena masih memakai seragam sekolah ini.
"Pergilah, kalian mengangguku." Aku tidak peduli dengan ejekan mereka. Sebisa mungkin aku tidak ingin memakai kekerasan.
"Lalu, kenapa jika kami menganggumu? Apa yang akan kau lakukan pada kami?" goda salah satu dari mereka.
"Sudahlah, habisi saja dia! Memang anak kecil seperti ini bisa apa?!" Mereka mulai bersiap untuk menghajarku.
Aku menghela nafas malas. Walaupun begini, aku pernah memenangkan lomba karate tingkat nasional.
Mereka langsung buru-buru melarikan diri setelah babak belur olehku. Pisauku ternyata tidak berguna. Kutatap perempuan yang sedari tadi hanya diam di belakangku.
"Pergilah. Sekarang sudah aman."
"Arigatou!" Perempuan ini langsung memelukku dengan kencang. Bahasa Jepang? Apa dia seorang otaku?
"Iya-iya, sudahlah pergi sana." Aku memang bermaksud untuk mengusirnya. "Jangan kesini lagi. Lingkungan di sekitar sini sangat sepi, hanya aku yang tinggal di sini. Aku tidak akan menolongmu lagi jika kau bertemu preman seperti tadi."
Dia melepaskan pelukannya tapi tangannya masih menggenggam tanganku.
"Namaku Hanabi!"
Namanya Jepang sekali. Kutatap dia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Memang benar, dia terlihat seperti gadis-gadis Jepang yang biasanya kulihat di hp.
"Aku tidak bertanya." Kulepas genggaman tangannya. Aku menatapnya dengan cuek.
Tiba-tiba dia membuka tas yang dibawanya. Dia mengeluarkan sesuatu lalu menyodorkannya padaku. Origami? Dia memberiku sebuah origami berbentuk hati.
"Ini, terimalah! Sebagai ucapan terimakasihku."
Aku memandangi origami itu dan perempuan aneh ini secara bergantian. Apa dia tidak melihat seragam sekolahku? Aku ini anak SMA, bukan anak kecil yang bisa kau hibur dengan mainan kertas tak berguna seperti ini!
"Tidak perlu. Pergilah." Kumasukkan tanganku ke saku celana dan mengacuhkannya.
"Kumohon! Terima, ya?" Gadis ini justru menampilkan wajah memelasnya.
Aku menghela nafas dengan wajah malasku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Kulihat jam di tanganku. Benar saja, sepuluh menit lagi adalah waktuku untuk bekerja. Ah, gadis ini membuang banyak waktuku!
"Pergilah! Kau menggangguku saja. Karenamu waktuku jadi terbuang sia-sia. Jangan pernah ke sini lagi!" Aku mengacuhkannya begitu saja. Kutinggalkan dia yang masih berdiri di depan rumahku. Aku masuk ke dalam, bersiap untuk bekerja.
Sore hari adalah waktuku untuk bekerja sebagai pelayan di salah satu cafe di kota ini. Hidup butuh uang, kawan. Jika tidak bekerja, aku tidak bisa makan. Aku mandi dengan cepat dan mengganti pakaianku. Tidak ada waktu untuk bersantai. Sekilas kulihat dari jendela kamarku, gadis itu sudah tidak ada. Baguslah.
Tersisa waktu lima menit untukku bisa sampai ke tempat bekerja. Kukendarai motor ninjaku ini dengan sangat cepat. Ah, gadis sialan! Jika saja aku mengabaikannya pasti aku tidak harus buru-buru seperti ini.
16.00. Tepat waktu. Kuparkir motorku di tempat parkir khusus karyawan. Aku masuk dan bertemu teman yang akan bergantian shift denganku.
"Hei, aku sudah menunggumu, loh! Tumben sekali baru sampai."
"Hm, sedang sial saja," jawabku dengan acuh sambil memakai seragam kerjaku.
Aku pergi begitu saja meninggalkannya. Segera kulayani para pelanggan yang ada di cafe ini. Kubawa catatan yang bertuliskan nomor meja yang harus kuantar. Kosong delapan. Aku harus mengantar makanan ini ke meja nomor itu.
Kulangkahkan kaki ke arah meja nomor kosong delapan. Aku sekilas tidak memperhatikan siapa yang memesan. Tapi saat kulihat ke bawah, dia memakai flat shoes berwarna pink. Perempuan? Ah, peduli setan.
"Ini pesanan anda, maaf menunggu lama. Silahkan menikmati–" ucapanku terhenti saat melihat siapa pelanggan ini. Dia tersenyum manis padaku.
"Arigatou!"
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
ORIGAMI [Hiatus]
Mystery / ThrillerMystery, Thriller, Depression, Slice of Life, Minor-Romance °°° Ray, lelaki paling dingin dan datar tiba-tiba hidupnya dikejutkan oleh kedatangan wanita cantik nan misterius. Wanita itu terus menerus menemui Ray dan memberi origami padanya tanpa mak...