7 - He's My Son

59 18 90
                                    

"Sisca Rafista."

Seketika gelas yang dipegangnya terjatuh dan pecah berhamburan ke lantai. Dia terdiam, menatapku dalam.

"P-pak?" Kulambaikan tanganku ke wajahnya. Dia tetap terdiam dengan ekspresi terkejut dan dahi yang berkerut.

"A-aku bersihkan, ya?" Dengan perlahan aku mulai menunduk, membersihkan pecahan-pecahan gelas ini.

"Ah," Kukibaskan tanganku dengan kencang. Pecahan gelas itu mengenai salah satu jari telunjukku. Hal itu akhirnya membuat lamunan Pak Daniel terhenti.

"Ray?! Ah, maafkan aku." Cepat-cepat dia berlari kecil menuju tangga ke lantai atas. Hanya sebentar, setelah itu ia turun kembali dengan membawa sebuah kotak berwarna putih. Pak Daniel lalu membukanya. Ternyata itu adalah kotak P3K.

"Berikan tanganmu, sayang."

Aku memajukan tanganku begitu saja ke arahnya. 'Sayang' katanya? Ini kali pertamanya aku mendapat panggilan seperti itu.

"Apakah masih terasa sakit?" tanyanya dengan lembut.

"Tidak. Terima kasih, pak."

Aku melihat jari telunjukku yang kini terbalut dengan sebuah hansaplast. Mama tidak pernah mengobati luka-lukaku. Justru dia yang membuatku terluka.

"Ray, jangan menyentuhnya lagi, ya. Maafkan aku yang tadi malah melamun." Pak Daniel terlihat sibuk membereskan pecahan gelas itu. Aku kembali menunduk dan hendak membantunya.

"Tak apa, pak. Lagipula, luka sekecil ini bukan apa-apa buatku." Aku tersenyum lebar di depannya.

Pak Daniel menatapku dengan senyum tipis di wajahnya. "Jangan, Ray. Aku tidak mau lagi melihatmu terluka. Aku menyayangimu. Duduklah saja, biar aku yang membereskannya."

Ucapannya mampu membuatku membeku. Tidak! Pak Daniel mungkin memang menyayangi semua anak kecil. Dan pasti dia hanya merasa kasihan padaku. Bukan ada maksud apa-apa!

"Ray," Pak Daniel melangkah dari luar rumah. Sepertinya dia sudah selesai membuang pecahan-pecahan gelas itu. Kini ia menghampiriku. "Besok tidak usah berangkat sekolah dulu, ya. Aku akan membawamu ke rumah sakit."

Aku menggeleng cepat. "Tak apa jika aku tidak bersekolah. Lagipula semua baju seragamku berada di rumah. Tapi, aku tidak mau jika Pak Daniel tidak bisa bekerja hanya karena aku."

Pak Daniel terkekeh kecil. "Izin satu hari tidak akan membuatku dipecat, Ray."

"Tapi–"

"Sudahlah menurut saja, ok?" Dia menyodorkan kepalan tangannya ke arahku. Ini seperti Paman Killer B yang ada di anime Naruto.

"Baiklah." Aku membalasnya.

"Sekarang tidurlah." Dia menuntunku menuju ke atas. Kami berhenti di depan dua kamar yang bersebelahan. "Ini kamarmu. Yang di sebelahnya itu kamarku. Jika ada apa-apa masuk saja dan bangunkan aku, ya!"

Aku mengangguk. "Terima kasih banyak, pak."

Pak Daniel tersenyum, lalu sedikit berjongkok agar setara dengan tinggi tubuhku. "Selamat malam, sayang. Oyasumi." Dia mengacak rambutku lalu melangkah masuk ke kamarnya.

Aku membuka pintu kamar lalu memasukinya. Gelap. Lampunya bahkan tidak menyala. Aku menyalakannya dan, wow. Rapi sekali! Kurasa kamar ini tidak pernah terpakai. Pak Daniel sendiri berkata dia tinggal hanya seorang diri, kan. Mungkin ini kamar cadangan jika ada tamu.

Aku kembali mematikan lampu, melangkah menuju kasur dan menghidupkan lampu tidur yang berwarna warm white.

"Oyasumi." ucapku dengan tersenyum. Kupejamkan mataku dengan perlahan.

ORIGAMI [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang