Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menepuk pundakku. Aku bergegas menoleh ke arahnya dengan cepat.
"Hanabi?"
"Huh?"
Terlihat seorang laki-laki dengan badan yang sedikit lebih tinggi dariku memasang raut wajah penuh dengan tanda tanya. Alisnya terangkat sebelah, kepalanya ia miringkan.
"Dare? Hanabi? Kembang api? Mana?" Ia kemudian menolehkan kepalanya ke segala arah, seperti mencari sesuatu. Aku lalu menghela nafas panjang.
"Bukan apa-apa. Aku hanya salah ucap." Aku melangkah untuk duduk di kursi teras meninggalkannya yang masih bergeming kebingungan. Siapa lagi kalau bukan Arka. Lelaki wibu itu seringkali mencampur Bahasa Indonesia dengan sedikit Bahasa Jepang yang sebenarnya tidak ia kuasai.
"Ah, Ray," Setelah puas melamun, Arka berjalan menghampiriku. Ia menyodorkan sesuatu padaku. "Ini, milikmu."
Aku mengambilnya dengan cepat. Segera kumasukkan ke dalam saku celanaku. Itu adalah wadah obatku, lengkap dengan beberapa sisa pil obatnya.
"Di mana kau mendapatkannya?" tanyaku tanpa menatap ke arah Arka.
"Humm, itu terjatuh saat aku dan Dion membopongmu. Jadi, kuambil saja dan kusimpan. Aku baru ingat jadi baru kukembalikan."
Arka duduk di kursi yang berada di sampingku. Suatu keanehan yang terjadi, dia tidak mengeluarkan ponselnya. Sangat jarang jika seorang Arka tidak menonton anime. Hal itu membuatku memandang ke arahnya, mencoba mencari tahu apa yang salah. Arka hanya menatap lurus ke depan.
"Saat hari pertama kau masuk kerja ke cafe itu, entah kenapa aku jadi tertarik padamu. Bukan karena aku belok, aku ini jelas masih lurus. Hanya saja rasanya seperti aku melihat diriku di masa lalu. Aku juga mulai bekerja saat umurku masih tujuh belas tahun. Dion pun begitu. Itulah sebabnya aku dan Dion bisa sedekat ini." Aku hanya terdiam, masih mendengarkannya. Meskipun sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan apa yang ingin dia katakan.
"Sejak saat itu, aku mengajak Dion untuk mendekatimu, berniat untuk berteman denganmu. Bukannya kami tidak memiliki teman lain, kami bahkan punya banyak. Namun, entah kenapa rasanya ingin sekali berteman juga denganmu. Mengajakmu berkumpul bersama kami, menonton anime bersama, minum bersama. Tapi ternyata, tidak semudah itu untuk sekedar mengajakmu berteman. Rasanya seperti kau membentuk sebuah dinding raksasa yang tidak akan bisa ditembus oleh siapa pun. Mendekatimu sesulit mendekati seorang perempuan. Sensitif dan sangat misterius. Tapi aku dan Dion tidak mau menyerah begitu saja. Aku ingin mempunyai teman sebanyak-banyaknya." Dia meregangkan otot-ototnya, lalu menyenderkan kepalanya ke belakang.
"Kenapa kau ingin memiliki banyak teman?" Entah kenapa aku jadi sedikit tertarik dengan pembicaraan ini.
"Kenapa, ya? Simpel saja. Aku ingin nanti jika aku mati, kuburanku akan dipenuhi oleh teman-teman yang merasa kehilanganku."
Angin berhembus dengan kencang, membuat rambut kami berayun cepat. Keheningan mulai datang. Aku dan Arka sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing.
"Aku dan Dion hanya ingin berteman denganmu, itu saja. Kami memang menganggapmu adik laki-laki, tapi bukan berarti kami menganggapmu lemah." Arka memecahkan keheningan. Ia lalu berdiri, masih menatap lurus ke depan. "Aku tidak memaksamu untuk menganggap kami berteman. Tapi, jika kau perlu sesuatu, katakan saja. Aku dan Dion pasti akan membantumu."
Setelah mengatakan hal itu, Arka berjalan masuk ke dalam rumah, tanpa menatapku sedikit pun.
Aku menghembuskan nafas malas. Kupejamkan mataku, kusenderkan kepalaku, berusaha menikmati angin yang menerpa wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORIGAMI [Hiatus]
Misterio / SuspensoMystery, Thriller, Depression, Slice of Life, Minor-Romance °°° Ray, lelaki paling dingin dan datar tiba-tiba hidupnya dikejutkan oleh kedatangan wanita cantik nan misterius. Wanita itu terus menerus menemui Ray dan memberi origami padanya tanpa mak...