Bab 4 - Hutan

1 1 0
                                    

Matahari terlihat semakin surut. Cahaya jingganya tampak sangat indah dari atas langit sore. Tidak hanya mengeluarkan semburat keemasan, tetapi warna lain ikut menghiasi. Membuat pesona tersendiri bagi penikmatnya.

"Hei, apa kita hanya akan terbang tanpa arah dan tujuan seperti ini, Nenek Sihir?" tanya laki-laki berambut gondrong. Siapa lagi jika bukan Sean?

Felice menghela napas. Tampak tidak minat meladeni Sean kali ini. Dia sedang pusing, menjadi ketua tidak menjadikannya tahu banyak hal. Lagi pula, tidak ada petunjuk pasti yang mereka dapat dari guru yang setidaknya bisa membuat mereka tahu harus ke mana dahulu. "Entahlah, aku pun tidak tahu."

"Sebaiknya kita turun dan mencari tempat untuk beristirahat, hari semakin larut. Aethonon juga perlu energi, tidak mungkin kita akan terbang terus seperti ini." Virgo menimpali sekaligus memberikan solusi.

"Lagi pula dengan terbang saja kita bisa dapat apa? Kemungkinan yang kita cari tidak berada di atas, tetapi di hutan bawah sana." Sean menunjuk hutan rimbun yang gelap itu. Tidak seperti hutan biasa, hutan tujuan mereka memiliki aura yang berbeda. Terasa lebih hidup.

"Virgo dan Sean benar, tapi aku merasa takut. Hutan itu sangat menyeramkan. Bahkan begitu gelap. Tidak bisa dibayangkan makhluk apa saja yang ada di sana." Alice bergidik ngeri membayangkan semua. Namun, Felice tersenyum dan segera meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja. Tidak akan terjadi hal buruk selama mereka bersama, percaya, dan saling menjaga.
Kemudian, keempatnya memutuskan turun. Namun, Virgo selalu mewanti-wanti mereka agar tetap berwaspada. Tidak tahu ada jebakan dan bahaya apa saja yang mengintai di sana.

Para aethonon kehilangan kendali saat menginjak tanah. Apa mungkin karena kegelapan? Memang matahari belum sepenuhnya tenggelam. Hanya saja hutan ini terlalu lebat sehingga membuat sekitar seperti malam karena cahaya yang sukar masuk.

Suara dengusan dan tingkah gelisah aethonon membuat mereka kewalahan. Kuda itu terus mencoba kabur dan memberontak. Felice terlihat sangat bingung. Dia menjadi ketua, tetapi dalam hal seperti ini sudah gelagapan. Dia harus tenang dan mencari solusi.

Sean kali ini tahu posisinya, dia memilih untuk menenangkan Alice yang sama ketakutannya dengan para aethonon. Sebenarnya dia tidak mau, tetapi dia tahu Virgo sedang sibuk meskipun hanya terdiam. Di balik tenangnya laki-laki berlesung itu, kepalanya sedang berpikir keras.

"Felice, coba kamu gunakan kekuatanmu." Seketika Felice tersadar. Bagaimana dia bisa lupa? Mungkin gugup.

Setelah mengangguk, Felice langsung mengeluarkan kekuataannya. Kekuatan yang hanya dimiliki oleh para pemilik zodiak aries. Cahaya berpendar dari tangannya dan lama-lama berubah menjadi api berwarna merah. Api itu berukuran sedang, tetapi cukup menerangi.

"Apakah kita akan beristirahat di sini?" Tampak guratan cemas pada wajah Alice.

"Ck! Bocah ini ... baru seperti ini saja sudah takut. Bagaimana jika ada monster menyerangmu? Tentu saja aku tidak akan repot-repot menolongmu." Dasar Sean. Tingkah konyolnya masih saja dipelihara. Akan tetapi, setidaknya suasana tegang menjadi mencair karenanya.

Alice yang merasa sebal langsung mencubit perut Sean yang sejak tadi memang berada di dekatnya. "Aku juga tidak mau bantuanmu!"
"Kenapa kalian malah bertengkar?" Felice tampak mendelik. "Seharusnya kalian berpikir dan melakukan sesuatu. Membantu kami misalnya?" Bisa-bisanya mereka ribut saat aethonon masih sama walau sudah ada penerangan.

Sean tampak terkejut. "Oh, Felice ... apa ini? Apa kamu tengah cemburu?" goda Sean. Pria bergingsul itu menyeringai jahil. Kebiasaan mereka berdua dimulai. Sementara keduanya Ribut, Alice tampak ikut mengompori, Virgo tengah menyilidiki tingkah aneh para satwa gaib. Sejak mereka turun, aethonon tidak pernah tenang. Dia pun melihat sekitar.

"Felice, kemarilah!" Mendengar seruan itu, Felice yang awalnya sedang sibuk berdebat dengan Sean langsung menoleh ke arah Virgo yang tengah menunduk.

"Ada apa?"

"Coba arahkan api-mu kemari," pinta Virgo sambil menunjuk. Felice menurut dan melihat terdapat tumbuhan berbunga dengan daun warna biru.

"Pantas saja aethonon merasa tidak tenang. Di sini ada tumbuhan ... ah, aku lupa namanya. Jika mereka sampai memakan tumbuhan ini maka mereka tidak akan terkendali. Lebih baik kita segera bergegas."

"Kamu benar, Virgo. Aku juga merasa haus. Kurasa bukan haus saja," rengek Alice.

Sean yang menjaga kuda ikut mengiakan.

"Baiklah."

"Felice, sebaiknya kamu memimpin karena kamu yang memiliki penerangan."

"Kurasa lebih baik Sean yang memimpin perjalanan. Mengingat dia memiliki penglihatan dalam gelap. Di belakang Sean ada Alice, kemudian aku untuk menerangi jalan, lalu kamu. Setuju?"

Semua mengangguk setuju dan mulai mencari tempat peristirahatan sebelum hari semakin larut. Perjalanan akan mereka teruskan besok setelah membuat rencana lagi.

Namun, saat di tengah perjalanan tiba-tiba ....

***

Pierre Clairre; Batu CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang