Bab 6 - Takdir

2 1 0
                                    

"Apa kamu tidak merasa curiga?" Alice bertanya.

Sejak memasuki rumah ini, dia tidak bisa tenang.

"Curiga untuk apa?" Felice menautkan Alisnya.

"Daripada berpikir negatif, bukankah lebih baik bersyukur? Kontingen lain mungkin tidak seberuntung kita yang bisa menginap di sini tanpa perlu khawatir terhadap hujan."

"Tap--" Belum sempat meneruskan, seseorang langsung masuk ke kamar mereka.

"Aku dan Virgo--" Alice dan Felice menatap ke sumber suara. Mendapati Sean masuk tanpa permisi, membuat Felice geram.

"Hei?! Apa kamu tidak pernah diajarkan sopan santun? Ketuk pintu dulu kalau ingin masuk, Bodoh!"

"Heh, kenapa malah menyalahankanku, Nenek Sihir?" sentak Sean, tidak mau kalah. "Salahmu juga tidak mengunci pintu! Dasar ketua ceroboh!"

Tanpa basa-basi Felice mengeluarkan api dan mengarahkan pada Sean. Beruntung laki-laki bergingsul itu mampu menghindarinya. Membuat Felice semakin sebal karena serangannya meleset.

Felice kembali menyerang sebab laki-laki itu membuatnya semakin emosi karena dengan beraninya menjulurkan lidah. Kali ini Felice benar-benar naik pitam.

"Hentikan!" Suara itu terdengar lantang. Sangat tegas sehingga membuat keduanya berhenti.
Alice yang pada awalnya hanya terdiam di kasur angkat bicara sebelum Virgo juga tersulut emosi.

"Sudahlah. Kalian akan merusak rumah ini jika terus bertengkar."

"Maaf." Sean dan Felice mengucapkannya serentak.

Felice menunduk. Dari ekor matanya dia melihat ruangan di sana terbakar. Beruntungnya Sean langsung memadamkan api itu dengan kekuatannya. Sungguh, Felice merasa bersalah karena tidak bisa mengendalikan emosi.

"Jadi, apa rencana kita?" tanya Sean setelah keempatnya duduk bersama di kamar dari rumah kakek tua yang hampir mereka serang saat pertama bertemu.

Beberapa jam lalu, Alice hampir saja pingsan karena melihat sosok hitam yang muncul tidak jauh dari pekarangan rumah. Sosok itu terus mendekat ke arah mereka dan membuat mereka bersiap-siap untuk menyerang.

Alice bersama Felice di belakang, Virgo dan Sean di depan dengan posisi waspada.

"Siapa kalian?" tanya serak sosok hitam. Tidak ada yang menjawab.

"Mau apa kalian ke rumahku?" Sosok itu semakin mendekat, menampakkan seorang pria lanjut usia yang terlihat basah kuyup.

"Dasar anak muda jaman sekarang. Ditanya hanya diam. Malah berniat menyerang orang tua renta sepertiku? Tidak sopan!" Sang kakek berjalan santai ke arah pagar rumah tanpa memedulikan keempatnya yang terlihat bingung.

"Sepertinya kakek itu tidak berbahaya," bisik Felice kepada teman-temannya.

"Bagaimana jika ini hanya jebakan untuk membuat kita lengah?" Virgo memandang Felice untuk memastikan.

"Aku jamin tak akan terjadi apa pun," jawab Felice, yakin.

"Kalian berempat mau terus berhujan-hujanan di sana? Cepat masuk sebelum aku berubah pikiran."

Mereka semua saling pandang sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk. Mendadak, sesuatu yang melindungi rumah hilang. Mereka masuk tanpa terluka. Kakek itu bukanlah musuh.

Begitulah cerita mereka hingga bisa menginap di sini sekarang.

"Kurasa ... sebaiknya kita mencari petunjuk dulu," usul Virgo.

"Di mana? Tempatnya saja kita tidak tahu." Alice menimpali.

"Tanyakan saja pada kakek tadi. Mungkin dia tahu." Sean langsung mendapat jitakan dari Felice yang berada di sampingnya. Memang ide buruk mencampur kedua orang itu.

"Apa salahku, Nenek Sihir?"

"Salahmu adalah begitu bebal!"

Alice bersiap untuk mengompori mereka, Virgo terlihat memijat pelipis karena merasa pusing. Jika begini caranya, maka kemungkinan mereka akan sangat mudah gagal. Bahkan tanpa diserang kontingen lain.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Tiba-tiba sang pemilik rumah sudah berdiri di ambang pintu. Pria tua dengan sweter cokelat itu mendekat ke arah mereka.

"Kami sedang mencari petunjuk, Kek," jawab Felice sembari mengulas senyum.

"Kakek perlu sesuatu lagi?" tanya Sean langsung. Mengingat, tadi kakek itu sudah menyuruh mereka melakukan banyak hal begitu memasuki rumah. Mulai dari menyapu, membersihkan gudang, mencuci piring, memasak, dan banyak lagi.

Sebenarnya mereka merasa terbebani. Hanya saja mereka sadar itu semua adalah bayaran karena telah diizinkan menginap dan makan di sini.

"Ah, tidak! Kalau boleh tahu, petunjuk untuk apa?"

"Petunjuk untuk menemukan batu cahaya."

Felice langsung menyikut lengan Alice. Ini adalah tugas dari sekolah dan mungkin bersifat rahasia. Bagaimana mungkin dengan enteng dia membeberkannya? Refleks, Alice menutup mulut karena keceplosan.

Kakek itu mendadak menyodorkan kertas lusuh yang berasal dari kantong celananya. "Kukira ini milik kalian." Sean langsung meraihnya. Virgo berpikir kenapa kakek itu seperti tahu sesuatu?

"Batu itu sangat berharga, untuk mendapatkannya kalian juga harus mengorbankan sesuatu yang berharga."

"Ap--"

"Aku ingin tidur, baca saja kertas itu." Kakek bersweter tidak membiarkan Virgo menyela.

Saat hendak menutup pintu, sang kakek berucap lirih, "Kalian memang ditakdirkan." Tidak ada yang mendengar ucapannya karena mereka sibuk melihat kertas yang bertuliskan ....

Pierre Clairre; Batu CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang