2. Kayu

3 0 0
                                    

     Meski sweater ku terlalu tebal untuk merasakan dinginnya udara malam ini, tapi semilir di kedua pipi ku sudah cukup mewakili seluruh anggota tubuh yang ku tutupi dengan usaha keras. Aku bisa mendengar dengan jelas bunyi gesekan ilalang saat ini. Aku bisa melihat helai demi helai yang menyapa satu sama lainnya dengan ramah.

Sungguh afsunku memuncak saat bunga-bunga kapas beterbangan menghiasi langit malam yang sudah terlalu gelap.

Langkah kakiku tak berhenti. Sampai keduanya menginjak sebilah kayu tajam lalu ikut terangkat ketika aku menaikkan kaki ku.

"Tak apa kayu, aku tak lagi berdarah. Kau bebas menusukku, tak lagi sakit seperti dulu. Aku sudah terbiasa." Lalu aku tersenyum.

     Kayu yang malang, ribuan kali sudah aku menginjaknya, ia tak juga patah dan lapuk. Deritanya tak pernah berakhir.

...isi sendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang