Mungkinkah Kita Akan Bersatu?

2.4K 112 3
                                    

"Si-silahkan duduk!" ucap Rinda canggung, Mau minum apa?" tambah Rinda lagi.

"Kopi saja!" ungkap Bara, yang sudah duduk di kursi.

Dalam hati Bara dia merasa senang, karena sudah mendapatkan pelukan dari Rinda, rasa rindunya sedikit terobati.

Rinda pergi ke dapur membuat 'kan kopi untuk Bara, tak lama dia pun kembali lagi, lalu menyimpan kopi itu di atas meja, Rinda lalu duduk di kursi kosong.

"Rinda?" panggil Bara, Rinda mendongak menatap Bara.

"Mmm, apa kamu akan memberitahu Indra, tentang Antika?" tanya Gilang ragu.

Rinda belum menjawab pertanyaan Bara, dia masih terdiam melamun.

"Aku juga tidak tahu Bara!" jawab Rinda, Tapi, mungkin lebih baik dia jangan sampai tahu!" sambung Rinda Lagi.

"Cepat atau lambat, Indra pasti akan mengetahuinya Rinda!" jelas Bara pada Rinda.

"Aku tidak ingin bertemu dan terlibat lagi dengannya, kamu jangan pernah memberitahu dia kalau aku ada di kota ini!" jelas Rinda datar.

"Hmm ... aku juga tidak ingin dia tahu kamu di sini!" terang Bara.

"Rinda, apa kamu masih ingat dengan perkataanku dulu?" tanya Bara.

Rinda terdiam, dia sedang mengingat perkataan apa yang di maksud Bara.

"Jika suatu saat kamu merasa tidak bahagia, datanglah padaku, aku akan selalu menunggumu!" tutur Bara.

Bara dan Rinda saling tatap, Bara menatap Rinda begitu dalam, begitupun dengan Rinda.

"Aku masih menunggumu Rinda!" terang Bara sendu.

"Jangan menungguku Bara, carilah wanita lain yang mencintaimu, banyak wanita single di luaran sana yang mengantri ingin menjadi istrimu!" jelas Rinda.

"Tapi mereka hanya menyukai wajah dan hartaku, tapi tidak hatinya!" terang Bara sedih.

"Pulanglah, aku sibuk!" titah Rinda pada Bara.

"Okeh, aku akan membuktikannya padamu!" ungkap Bara meyakinkan Rinda.

Bara lalu melangkah pergi dengan raut wajah kecewa, Bara hanya menginginkan Rinda, wanita cinta pertama dan cinta terakhirnya.

Rinda melihat kepergian Bara dengan raut wajah sedih.

"Maaf 'kan aku Bara!" lirih Rinda

*****

Matahari mulai menampakan diri dari arah timur, memberi cahaya kehidupan di bumi, cahaya jingga menambah keindahan di pagi hari ini.

Seorang wanita masih terlelap tidur di kamarnya, dering ponsel membangunkannya, tangannya terus saja mencari ponselnya, tapi mata wanita itu masih terpejam, setelah berhasil menemukan ponselnya, dia lalu mengangkatnya.

[Hallo] ucap wanita itu serak, suara bangun tidur.

[Hallo, Antika apa kamu belum bangun?] tanya seseorang dari sebrang.

Antika terbelalak, dia lalu melihat layar ponselnya, ternyata yang meneleponnya Tuan Yudha, dia langsung bangun dari tidurnya, menjadi setengah duduk.

[Tu-tuan Yudha, ada apa, pagi-pagi udah telepon?]

[Saya cuman mau bilang, nanti sore, saya akan ajak kamu jalan-jalan]

[Tapi Tuan saya--]

[Nggak ada penolakan, nanti saya jemput]

[Tuan jangan jemput ke rumah, kita ketemuan di Cafe saja]

[Okeh ... sampai jumpa nanti]

Panggilan pun berakhir, Antika menghela nafas kasar, sungguh dia tidak menyangka bahwa Tuan Yudha akan menghubunginya di pagi hari, kenapa nggak di siang hari saja.

"Dasar Tuan Yudha, mengganggu orang saja," gerutu Antika kesal.

Antika lalu bangkit dari kasur, menuju kamar mandi, setelah selesai dengan ritual paginya di kamar mandi, Antika lalu bercermin, memperlihatkan perut besarnya, bibirnya selalu tersenyum saat melihat pantulan dirinya di cermin.

"Nak sebentar lagi kamu akan melihat indahnya dunia," ucap Antika tersenyum.

"Mamah sudah tak sabar ingin melihatmu!"

"Nak, Papahmu sungguh menyebalkan, masih pagi dia sudah menelpon, mengganggu tidur kita," kesal Antika.

"Apa yang harus Mamah lakukan, Nak. Mamah tak mungkin menikah dengan dia, Papahmu milik oranglain. Mamah tak ingin nanti di anggap sebagai perusak hubungan orang," lirih Antika sedih.

"Apa kamu tidak apa-apa, jika nanti lahir tanpa sosok Ayah?"

Saat Antika tengah asik melihat pantulannya di cermin, dari balik pintu Rinda muncul, menghampiri anaknya yang berdiri, Rinda melihat raut wajah anaknya yang sedih.

"Sayang ... kamu kenapa, masih pagi udah pasang wajah begitu?" tanya Rinda, memegang pundak Antika.

"Bu, kemarin aku bertemu Tuan Yudha," jelas Antika pada Rinda.

"Lalu?" tanya Rinda bingung.

"Dia sudah tahu bahwa, anak ini anaknya dan katanya dia akan menikahiku, aku harus bagaimana, Bu?" tanya Antika sedih.

"Bagaimana dengan tunangannya?" tanya Rinda malas.

"Entahlah, Bu. Antika juga tidak tahu. Dia dan tunangannya sepertinya baik-baik saja!" terang Antika.

"Tapi dia mengatakan, bahwa Tuan Yudha mencintaiku, aku bingung Bu, harus percaya atau tidak, tapi dari tatapan matanya terlihat tulus ..." lirih Antika.

"Sudahlah, Nak. Kamu jangan terlalu mikirin itu, nanti kamu bisa sakit. Kalau memang Yudha mencintaimu, dia pasti akan datang padamu!" jawab Rinda.

"Makasih, Bu," ucap Antika, memeluk Ibunya.

"Ya sudah, kita sarapan yuk?" ajak Rinda, Antika lalu mengangguk.

****
Siang ini Antika di ajak Bara makan siang, tadinya Bara mengajak Rinda juga, tapi Rinda menolak untuk pergi, jadi Antika dan Bara pergi berdua saja. Untuk mendapatkan hati Ibunya, Bara harus mendapatkan hati Antika dan meminta bantuannya juga, itulah cara ala Bara.

Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, membelah jalanan.

"Antika, kenapa Ibumu susah sekali membuka hati untuk, Om?" keluh Bara mengadu pada Antika.

"Sabar Om, pelan-pelan Ibu pasti akan membukanya!" jelas Antika, Om harus berjuang, Antika akan terus dukung Om," sambung Antika tersenyum.

"Makasih Antika, kamu memang anak yang baik," ungkap Bara terkekeh.

Sesampainya di restoran, mereka lalu menempati meja yang kosong dan memesan makanan dan minuman.

"Antika, Om mau tanya, boleh?" tanya Bara ragu.

"Boleh, tanya apa Om?" ucap Antika

"Waktu Om berkunjung ke rumah kamu, terus kamu datang bersama seorang pria, bukankah itu Dino?" tanya Bara memastikan.

"Iya Om itu Kak Dino, Om kenal?" jelas Antika.

"Jadi kamu nikah sama Dino?" tanya Bara lagi.
Antika terkejut, Om Bara menanyakan hal itu.

"Tidak Om, Kak Dino yang telah menolong Antika dan Ibu di kampung," terang Antika.

"Lalu suami kamu dimana?" tanya Bara lagi.

"Deeggg ...!" Pertanyaan yang paling menakutkan selama ini untuk Antika jawab, dia hanya menunduk, meremas bajunya kuat, mengigit bibir bawahnya.

"Antika panggil Bara, Suami kamu dimana?" tanya Bara lagi.

"Su--suami Antika--" ucapan Antika terpotong.

"Saya calon suaminya," ucap seseorang dari arah belakang Antika.

Antika terbelalak, dia mengenali suara yang tak asing baginya, Bara pun terbelalak melihat pria yang mengaku yang menjadi papa anak Antika itu.

"Mana Mungkin!" Lirih Bara tak menyaka.

Bersambung

RETAK (REVISI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang