1

44.7K 2.6K 85
                                    

Pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, Luna dan Laura, sepasang anak kembar non-identik duduk berhadapan di meja makan untuk sarapan. Di samping Luna, ada kakak lelakinya yang berusia 26 tahun. Orang tua mereka juga ada di sana. Dan terlihat sekali perbedaan mereka saat memperlakukan Luna dan Laura.

"Laura, mobil kamu sudah selesai di service kan? Atau hari ini mau nebeng sama kakakmu lagi?" Citra, sang ibu bertanya pada anak bungsunya tersebut.

"Sudah selesai kok, Ma. Sudah di depan juga," jawab Laura dengan senyuman lebar. Citra ikut tersenyum mendengarnya. Sementara Luna, hanya diam. Lihatlah, saat Laura dibelikan mobil dengan harga yang fantastis, mereka tak itungan. Tapi, Luna meminta ponsel baru pun maka akan diceramahi. Mending kalau di belikan ini. Ini, tidak.

Tak lama, Laura selesai makan dan langsung berangkat, tanpa menunggu Luna. Ya, memang begini setiap hari. Walau kembar dan tinggal di rumah yang sama, mereka tak pernah melakukan aktivitas bersama. Selalu masing-masing.

"Pa, kapan aku dibelikan mobil seperti Laura?" tanya Luna setelah piringnya kosong.

"Luna, Laura membeli mobil itu dari hasil kerjanya sebagai model. Bukan Papa yang membelikannya," jawab Candra. Gurat kecewa terlihat di wajah Luna. Memang, mobil itu dibeli memakai uang Laura sendiri. Tapi, sebagian uangnya, atau malah lebih banyak uangnya dari sang ayah. Karena masih baru terjun ke dalam dunia permodelan, gaji dan pekerjaan Laura belum sebanyak itu.

"Ikuti langkah Laura dong, Luna. Jadi jika mau apapun, kamu tak perlu minta," sambung Citra. Luna diam tak merespon. Terlalu kecewa pada orang tuanya yang selalu membedakan dirinya dengan Laura.

"Aku selalu jadi juara umum pun di sekolah tak pernah kalian pedulikan. Aku menang olimpiade pun tak pernah kalian banggakan. Pamer lekuk tubuh lebih membanggakan bagi kalian dari pada kecerdasan," balas Luna telak.

BRAAK

Candra menggebrak meja, melotot marah ke arah Luna. Citra terhenyak kaget, mendekati sang suami lalu mengelus bahunya. Berusaha menenangkan.

"Cukup. Luna, siap-siaplah. Kakak antarkan kamu sekarang ke sekolah." Gino, anak sulumg dalam keluarga itu langsung menengahi. Meminta sang adik untuk bersiap-siap agar segera pergi dari ruang makan.

Tanpa banyak bicara, Gino pun menyelesaikan makannya dan menunggu Luna di dalam mobil.

Gino, sadar sekali perbedaan sikap orang tuanya terhadap adik kembarnya. Dari segi apapun, Laura selalu lebih dibanggakan dari pada Luna. Padahal menurut Gino, Luna lebih istimewa.

Luna memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Selalu jadi juara dan selalu memenangkan olimpiade. Menyumbang banyak piala ke sekolah. Luna terkenal di sekolah karena prestasinya yang tak main-main. Beda dengan Laura, yang mengejar popularitas menggunakan kekayaan orang tua, juga kesempurnaan fisiknya.

Gino sebagai seorang kakak berusaha bersikap adil pada kedua adiknya. Namun karena sering dimanja dan di bela orang tua, Laura jadi sedikit kurang ajar. Membuat Gino, kurang menyayanginya. Beda dengan Luna, yang memang selalu lari padanya saat ada masalah apapun.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya Luna pun datang dan masuk ke dalam mobil. Wajahnya menunjukkan kesedihan, atas respon orang tuanya di meja makan tadi.

"Seharusnya kamu tak berbicara seperti itu, Luna. Sebenar apapun ucapanmu, tetap Laura yang benar di mata Papa dan Mama," ucap Gino. Bukan tak mau sang adik menyadarkan orang tua mereka, namun Gino kasihan karena pada akhirnya Luna yang akan dimarahi.

"Aku kelepasan, Kak," gumam Luna.

"Sudahlah. Jangan sedih," ucap Gino. Dia menghidupkan mesin mobil dan langsung melajukannya. Kasihan juga pada Luna, namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa jadi teman, saat adiknya tersebut butuh sandaran.

***

"Luna! Tugas Fisika yang kemarin gimana sih rumusnya? Gue bingung dari kemarin karena gak bisa ngerjain." Gisel, salah satu sahabat Luna datang dan duduk di samping Luna. Kebetulan sekali, teman sebangku Luna belum datang.

"Bukannya gue udah ngajarin lo kemarin? Sintya dan Vera langsung paham."

"Lo masih gak ngerti apa nyindir gue sih? Otak gue itu dibawah kalian semua," cibir Gisel. Luna tertawa mendengarnya. Lalu menarik buku Gisel, dan mulai mengajari Gisel cara mengerjakannya.

Luna memang terkenal cerdas dan pintar. Orang-orang selalu bilang kalau Gisel, Sintya dan Vera beruntung karena selalu bisa nyontek pada Luna. Padahal, Luna bukanlah orang yang mudah memberikan contekan, walau pada sahabatnya sendiri. Dia lebih senang mengajari saja, agar sahabatnya berpikir dan tak terlalu bergantung padanya saat mengisi soal.

"Ngerti?" tanya Luna setelah selesai menjelaskan cara mengerjakan soal nomor pertama.

"Oke, oke. Gue paham. Nanti beri tahu cara yang no dua," ucap Gisel seraya merebut bukunya dan pensil dari tangan Luna. Gisel terlihat sangat serius mengerjakan soalnya. Diperhatikan oleh Luna yang duduk di sampingnya.

"Wah, ada yang belum ngerjain tugas nih." Sintya dan Vera datang bersamaan, langsung menyindir Gisel yang masih mengerjakan soal.

"Diem deh. Orang-orang pinter kayak lo bertiga gak akan ngerti posisi gue yang punya IQ pas-pasan," ucap Gisel sebal. Sintya dan Vera tertawa ngakak bersamaan mendengar itu.

"Canda, Sayang. Eh, Luna, denger kabar baru tentang kembaran lo gak?" Sintya duduk di hadapan Luna, dan langsung bertanya.

"Lo tahu sendiri gue gak pernah tahu apapun tentang dia," jawab Luna. Ketiga sahabat Luna memang tahu betul bagaimana hubungan Luna dan Laura. Bukan hanya mereka, tapi seluruh siswa sekolah dan juga para guru tahu kalau Luna dan Laura tak akrab. Saudara kembar, tapi mirip seperti orang asing.

"Bener juga sih. Kemarin gue denger dari si Santi, katanya kembaran lo itu lagi ada masalah sama geng dari kelas si Santi," ucap Sintya. Perempuan bernama Santi adalah sepupu Sintya, makanya Sintya bisa selalu tahu info di luar kelas.

"Bukannya itu emang kerjaannya kan? Dia kan bisanya cuma bikin masalah agar terkenal. Basi banget infonya," balas Luna sinis.

"Perasaan gue, si Laura selalu bikin masalah karena gak mau kalah famous dari lo, Lun. Sedangkan lo, prestasi ngalir yang otomatis tetap jadi pembicaraan anak-anak di sekolah ini," ucap Vera. Sintya dan Gisel mengangguk bersamaan, menyetujui ucapan Vera.

Luna hanya diam mendengar itu. Kadang, dia setuju dengan ucapan Vera barusan. Namun, entahlah. Sebagian akan bilang Luna lah yang iri pada Laura. Memang sih, Luna iri. Karena Laura, selalu mendapatkan keinginannya dengan mudah sekali.

"Sudahlah. Gue gak mau ngomongin dia. Hari gue bisa jadi buruk jika terus membahas dia," ucap Luna. Dia lalu kembali menatap buku miliknya. Terlihat sedang mengoreksi jawaban sendiri, takut salah. Padahal, dia melamun. Berpikir, sampai kapan dia dan Laura akan dibedakan terus?

_______________________________________

Update pertama untuk hari ini. Jangan lupa tinggalkan jejak🥰

Sweet MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang