15. Mia dan Mas Eki

12.1K 2.1K 185
                                    

Ternyata Pak Galang tidak bohong soal anaknya yang akan manja kalau sedang sakit. Ah ralat, bukan manja tapi sangat-sangat manja. Tidak terhitung sejak tadi berapa kali dia mengeluh, merengek, juga menyuruhku ini itu. Yang minta pijat kepala, elus rambut, minta minum air putih hangat, lemon hangat, teh hangat, seakan-akan aku ini babunya. Please ya, dia bukan remaja atau anak kecil lagi. Tapi tingkahnya ini sudah seperti balita. Nggak sadar kalau sudah tua!

Dan yang paling membuatku heran, aku ini apanya dia? Saudara bukan. Pacar bukan. Sahabat bukan. Bahkan sebagai teman saja, aku masih ragu. Tapi tadi Bu Nina juga ikut-ikutan menitipkan anak mereka padaku melalui pesan chat. Aku jadi makin yakin kalau jebakan Pak Galang itu tidak main-main.

Aku tersenyum tipis melihat bubur yang kubuat sudah jadi. Rasanya pun tak diragukan, meski hanya kuberi campuran potongan wortel. Aku tidak mungkin memberi Rafa bubur dengan toping aneka macam, bukan? Apalagi tadi dia bilang kalau lidahnya tidak bisa merasakan apa-apa. Jadi pilihanku hanya bubur dengan bumbu kaldu instan.

Oh jangan membayangkan kalau di dalam kulkas laki-laki itu diisi bahan makanan secara lengkap. Tidak ada sama sekali—hanya buah-buahan, chiki dan minuman bersoda. Karena itu tadi aku merelakan diri berbelanja di minimarket bawah. Yah, setengah tidak ikhlas sebenarnya. Tapi untungnya aku masih punya rasa kasihan.

"Raf." Aku menepuk-nepuk pundak Rafa yang sedang berbaring di sofa bed, setelah sebelumnya meletakkan mangkuk bubur di atas meja.

Dia memang sejak tadi tidur di sini, karena memang aku yang menolak berduaan di kamar. Tapi aku sempat masuk kamarnya untuk mengambilkan selimut. Hal yang membuatku tercenung saat menemukan boneka gajah di atas nakas. Ternyata dia masih menyimpannya. Aku sendiri juga masih menyimpan, meski tak kubawa pulang dan kutaruh di meja kerja di kantor.

"Bangun."

"Hmm."

"Rafa!"

"Hmm." Dia menepis tanganku dan mengubah posisi menjadi miring memunggungiku.

"Bangun dulu." Aku beralih menepuk lengannya. "Makan. Lo kan harus minum obat."

"Nanti," jawabnya dengan suara serak.

Aku menghela napas kasar. "Makan, Rafa."

"Bentar ah."

Aku berdecak, dengan satu tangan bertengger di pinggang. "Gue pulang sekarang!"

"Noo!" Dengan cepat, dia membalikkan badan dan menahan pergelangan tanganku. Matanya menatapku sayu. Bibirnya cemberut seperti anak kecil. "Jangan tinggalin gue."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba bersabar. "Makanya makan dulu. Habis itu minum obat."

"Iya," katanya dengan nada diberat-beratkan.

"Duduk," perintahku.

"Bantuin. Pusing nih."

"Manja!" Walaupun begitu, aku tetap membantunya duduk. Aku mengambil mangkuk dan mengulurkan padanya. "Makan."

"Suapin."

Aku memelotot. "Makan sendiri elah. Udah tua juga, nggak usah manja!"

"Lemes, Mbak." Dan tahu apa yang dia lakukan sambil melakukan itu? Ya, meletakkan kepalanya di bahuku.

"Suka banget sih lo nyender-nyender gue?" Tentu saja tanpa belas kasih, aku langsung mendorong kepalanya. Aku tidak bohong, sejak tadi, dia memang hobi menaruh kepalanya di bahuku. Dipikir bantal kali ya?

"Enak," katanya sambil kembali meletakkan kepalanya, tapi kembali kudorong.

"Nggak usah ngaco!" ketusku. "Makan."

Hello, Gajah! (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang