caring

108 17 1
                                    

Laki-laki dengan rambut sedikit berantakan dan kedua alis berkerut tampak sibuk dengan beberapa lembar soal di mejanya. Saat ini kamarnya cocok disebut dengan kapal pecah, lampu kamar yang memang sengaja di redupkan dan hanya satu lampu belajar menjadi satu-satunya cahaya di sana. Sorot matanya nampak lelah akan tetapi kedua tangannya tidak berhenti untuk mengetik sesuatu di atas laptop.

Direnggangkan kedua tangannya saat perasaan kebas muncul, akibat terlalu lama terpaku di depan layar, ia bahkan lupa apakah sempat makan malam tadi? Tak lama terdengar suara ketukan pelan di pintu kamarnya, pemuda itu mau tak mau harus bangkit dari kursi dan melangkah untuk melihat. Tangannya memutar kunci dua kali dan membuka sedikit pintu kamarnya itu, ia melihat roommate nya membawa satu kantong plastik di salah satu tangannya.

Seperti menyadari kehadirannya, lelaki dengan kemeja sedikit kusut itu pun mendorong pintu agar terbuka lebih lebar, lalu melangkah masuk dan melihat sekeliling. Tak lama disusul dengan helaan nafas yang keluar dari mulutnya, di taruhlah kantong plastik tadi di meja belajar. Tatapannya beralih ke laki-laki yang masih terdiam di samping pintu. "Apa? Kamu belum makan sejak siang tadi kan?"

Tanpa menunggu respon dari laki-laki tadi, tangannya sigap merapikan beberapa kertas dan di tumpuk menjadi satu, disisihkan di sisi kanan meja. Membuat cukup ruang untuk menata makanan yang ia bawa tadi. "Tumben kok pulang lebih awal, gak ada rapat hima?" Tangannya terhenti beberapa saat, senyuman tipis muncul di wajahnya. "Yaaa.. aku tidak mau menemukan seorang mayat laki-laki berusia 18 tahun mati kelaparan karena kebodohannya sendiri memforsir dirinya di depan laptop."

"Deka, gaya bicaramu mirip sekali dengan ayahku. Kamu selalu tampak 5 tahun lebih tua sepulang dari rapat sialmu itu." Nada suaranya jelas meledek, namun tak ayal perkataan Deka tadi cukup sarkas untuk menyentil kebiasaan buruknya.
Langkah kakinya mendekati Deka, dan tangannya terarah untuk mengambil sumpit yang masih tersegel dalam plastik. Saat akan membuka plastik tersebut, Deka menahan tangannya. "Setidaknya cuci tanganmu dulu, kuman."

Tersentak akan kontak fisik yang tiba-tiba, ia mendecakkan lidahnya sebal dan berkata,
    "Ya, pak tua, sebentar nee." Usai mengucapkan itu laki-laki tadi berlari keluar kamar untuk menghindar dari teguran Deka.

   ***

Rajendra Adhitama, kerap dipanggil Tama oleh teman-teman sebayanya. Ia memilih untuk tinggal di apartemen sejak memasuki SMA, sayangnya kedua orang tuanya tidak mengizinkan dia untuk tinggal seorang diri. Setidaknya harus ada satu orang yang menemani, mencari apartemen lengkap dengan seorang roommate tidaklah sulit. Tama bersyukur saat mengetahui roommate nya itu bukanlah orang yang sulit bersosialisasi seperti di bayangannya.

Tahun ini adalah tahun ketiganya di SMA, ia sedang menyiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi yang akan dilaksanakan kurang lebih seminggu dari sekarang.
Saat terfokus dengan sesuatu, Tama akan melupakan segalanya, termasuk dalam urusan merawat dirinya sendiri.

Salah satu alasan mengapa Deka, sebagai roommate harus berperan untuk menjadi babysitter nya sementara waktu ini. Sering ia melihat pintu kamar Tama akan tertutup mulai dari pagi hingga pagi lagi, pemuda itu benar-benar tidak keluar sedikit pun bahkan untuk makan dan minum saja ia selalu melewatkannya.

Tama mempunyai gastritis akut omong-omong, apabila kambuh menyerang ia bahkan tidak bisa mengatur nafasnya dengan baik. Pernah Deka mendengar laki-laki itu meraung kesakitan dari dalam kamarnya. Saat di dobrak pintu tersebut, Deka melihat Tama sedang meringkuk di lantai dengan kedua tangannya yang meremas perutnya sendiri.

  Wajahnya tampak terganggu dan keringat dingin keluar dari pelipisnya. Deka membawanya ke klinik terdekat, sepulangnya mereka dari sana Deka berjanji untuk tidak lagi membiarkan Tama mengalami hal yang sama kedua kalinya.

Merasakan kedua tangan yang masih sedikit basah mengusap kedua bahunya, tanpa perlu menoleh Deka tahu Tama yang melakukannya. "Biar sekalian kotor, Kak." Dengan menekan kata di akhir, Tama pun kembali mengambil sumpit tadi dan membuka segelnya. Matanya meneliti makanan apa yang dibelikan Deka untuknya.

"Kenapa? Tidak suka? Biar perut karetmu itu kenyang aku membelikanmu ini semua, perlu kusebutkan harganya tidak?"
Tama menggeleng dan menatapnya malas, "Ini.. terlalu banyak tahu? Kalau aku muntah bagaimana?"
"Hey, tidak mungkin. Sudah, cepat makan lalu mandi," Deka lalu menatapnya lekat dan membuat gestur menghirup udara. Melihat itu reflek Tama melangkah mundur dan memicingkan matanya. Deka menutup hidungnya seraya mengatakan, "You're stink as fuck."

Apa-apaan pak tua ini?

Tanpa menanggapi, Tama menyumpitkan daging dan mengarahkannya ke mulut Deka. "Makanlah duluan, agar aku tahu kamu tidak menaruh racun di dalamnya," Deka merespon itu dengan gelengan kepala bosan dan menerima suapan dari Tama dan menelannya. "See? Aku tidak sejahat itu padamu, bocah."

Tama menyengir lalu menyumpitkan beberapa daging untuk dirinya sendiri, "Kan hanya memastikan, tidak salah toh?"
"Yaudah, tak tinggal ya? Kalau ada apa-apa aku di sebelah." Usai mengucapkan itu, Deka melangkah keluar menuju kamarnya yang terletak di sisi kiri apartemen.

Tama menghabiskan makanannya dalam diam, lalu merapikan dan bangkit berdiri untuk membuang sampah bekas makanannya tadi di tempat sampah yang terletak di dapur. Seusainya ia mencuci tangannya dengan sabun, tanganny terulur untuk membuka kulkas dan melihat kardus susu UHT yang tampaknya masih utuh.

Deka beli susu juga?

Mengangkat bahu tidak peduli, tangannya pun meraih kardus susu itu dan dua gelas bersih dari rak. Ia menuangkan susu tadi sebelum kembali ke kulkas untuk mengambil beberapa es batu, ia dan Deka sama-sama menyukai susu dingin omong-omong. Ditaruhlah kembali kardus susu tadi ke dalam kulkas, lalu melangkah menuju kamar Deka dengan dua gelas di kedua tangannya.

Kakinya ia gunakan untuk mengetuk pintu, saat ketukan ketiga Tama mendengar suara Deka yang menyuruhnya untuk masuk saja.

"Ya bukain pak, ini tanganku penuh puntenー"
Klik.
Deka muncul di hadapannya dengan keadaan rambut masih setengah basah dan handuk di bahu. Alisnya mengangkat satu saat melihat Tama dengan dua gelas penuh berisi susu dingin. "Oh, pengantar susu toh. Kirain kamu bakal minumnya besok pagi," Deka mengambil satu gelas dari tangannya dan membuka pintu kamarnya lebih lebar.

"Haus, abis makan. Kok mandi? Gak lanjut rapat via online?"
Tama menyempatkan diri untuk meminum sedikit susunya sebelum melangkah masuk menyusul Deka. "Engga, aku bilang tadi kalau kurang enak badan jadi izin pulang duluan,"

"Kurang enak badan padahal mengurus bayi besar, ya kan?"
Deka tertawa mendengarnya, well Tama tidak salah sih. Tapi mengakui dirinya sendiri sebagai 'bayi besar' itu hal langka. Seingatnya, Tama benci di perlakukan seperti anak kecil.

"Balik sana ke kamar, ada bimbingan jam berapa?"
"Pagi sih, bangunin ya? Kamu tahu aku kebo,"
"Alarmnya di pake, udah gede juga masa masih di bangunin."
Tama berhenti meminum susunya, lalu menaruh gelasnya itu di nakas.

Lalu dengan tidak disangka, ia menyatukan kedua tangannya dan membuat gerakan memohon dengan sorot mata sengaja dibuat seimut mungkin.

"Yuck, ya ya oke dibangunin, tapi kalau sampe ga bangun juga tak guyur kamu pake air. Deal?"

Tama mengangguk menyetujui. Semoga besok tubuhnya bisa diajak kerja sama. Demi Tuhan, Deka tipe orang yang selalu memegang kata-katanya. Jelas ia tidak mau harus terbangun karena siraman air dingin apartement mereka.

   Malam itu, Tama kembali ke kamarnya setelah meminta Deka untuk mencuci gelas yang mereka gunakan tadi.

roommateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang