5

148 15 0
                                    

Malam Minggu tiba. Iyos ditinggal sendirian di rumah. Orang tuanya pergi kondangan dan Tristan, adiknya ngeluyur entah ke mana bersama teman-temannya. Prima, kakaknya yang sudah menikah dan tinggal terpisah pun tak datang. Biasanya lelaki yang terpaut usia lebih tua empat tahun darinya itu berkunjung ke rumah di Sabtu sore dan menginap sampai esok hari. Ia memaklumi, pasti Prima dan sang istri memiliki acara lain. Tentu saja kebanyakan orang pasti mengagendakan sebuah acara di malam Minggu, apalagi bagi yang sudah punya pasangan. Memangnya ia. Sudah jomlo, pengangguran, tak punya acara pula. Ia mengasihani dirinya sendiri.

Nonton TV malas. Hang out bersama teman, ia tak punya cukup uang. Tak ada pilihan baginya di malam yang konon panjang ini selain kembali rebahan di kamar sambil internetan. Saat sedang asyik berselancar di Instagram, ia dikejutkan dengan dering ponsel. Sederet angka muncul di layar. Dalam hati ia bertanya, nomor siapakah itu? Daripada penasaran, akhirnya ia menerima panggilan masuk tersebut.

"Halo."

"Halo, Mbak Rosdiana Putri."

Iyos yang semula tengah berbaring sontak bangkit duduk. "Kok, kamu tau nama saya?"

"Kamu enggak save nomor saya, ya?"

Dih, siapa elu? Iyos mencibir dalam hati, tapi tak lantas memutus sambungan telepon. Ia masih mau meladeni lelaki lawan bicaranya karena penasaran ingin tahu siapa gerangan.

"Emang kamu siapa?"

"Saya Zulfikar. Kamu ingat?"

Jantung Iyos mendadak berdetak dengan cepat. Kemudian tiba-tiba ia ingat tentang acara makan malam yang diadakan di restoran dekat rumahnya. Ya, malam ini adalah jadwalnya untuk bertemu duda keren beranak dua itu dengan tujuan berkenalan.

"Oh. Ini Pak Zulfikar? Ya, saya ingat." Iyos menjawab setelah berusaha menenangkan detak jantungnya.

"Berarti kamu juga ingat, 'kan, kalo malam ini ada janji makan malam?"

"Iya, Pak, saya ingat." Mendadak ingat, lanjut Iyos dalam hati.

"Oke. Saya pikir kamu lupa atau batal datang. Soalnya ini udah jam tujuh dan kamu belum muncul."

"Saya memang ba -"

"Baru selesai dandan? Oh, oke. Berarti sebentar lagi ya, kamu datang. Saya tunggu."

Sambungan telepon terputus sepihak. Iyos berteriak frustrasi. Lelaki itu sudah salah paham. Yang akan dikatakannya tadi yaitu bahwa ia memang batal datang ke acara makan malam ini untuk perkenalan.

Iyos tak hilang akal. Dipanggilnya nomor tersebut, tapi sial, terdengar suara seorang perempuan yang memberi tahu bahwa pulsanya tidak cukup untuk melakukan panggilan. Ia mendengkus kesal lalu merutuki nasibnya sebagai pengangguran. Meski begitu ia tetap berusaha untuk menghubungi lelaki itu. Ia harus menjelaskan semuanya. Cara selanjutnya adalah dengan mengirim pesan lewat WhatsApp. Setelah nomor tersebut disimpan dengan nama 'Pak Fikar', ia bersiap mengetik pesan. Namun tiba-tiba ia berpikir ulang. Bagaimana jika ia datang saja ke restoran itu? Daripada ia mati gaya di rumah sendirian dan hey, bukankah ia belum makan? Mamanya tidak masak sedangkan di dapur hanya ada mi instan dan beberapa butir telur. Ia sedang malas bahkan untuk memasak mi instan atau menggoreng telur yang mudah dan tak memerlukan banyak waktu. Ah, ya, lebih baik ia datang ke sana.

Setelah tak lama berpikir, akhirnya Iyos memutuskan untuk datang menemui lelaki itu. Ia segera turun dari tempat tidur kemudian melangkah menuju lemari. Karena tak memiliki banyak waktu, jadi ia tak mau berlama-lama memilih pakaian. Yang penting nyaman dipakai. Maka ia mengambil skinny jeans hitam dan dress kemeja sepanjang betis.

Waktu terus berjalan dan Iyos bersiap-siap dengan terburu-buru. Wajahnya pun tidak dilapisi full make-up. Cukup diolesi pelembab, dibubuhi sedikit bedak dan tak lupa maskara agar bulu matanya lentik. Terakhir ia mewarnai bibir tipisnya dengan lipstik merah muda. Sementara rambut panjang sepunggungnya dibiarkan tergerai. Terakhir, ia memercikkan cologne di leher dan tangan.

Nah, sekarang Iyos siap berangkat tapi tidak ada kendaraan di rumah. Mobil bekas yang dibeli dengan menggunakan uang hasil pensiun papanya sedang dipakai orang tua dan motor matic tentu saja dibawa adiknya. Meski letak restoran itu dekat, ia enggan berjalan kaki menuju ke sana. Ia merasa tidak nyaman jalan sendirian. Biasanya tiap malam Minggu begini di pos ronda di mulut gang ada para pemuda sedang berkumpul. Mereka memang tak menggodanya, tapi tetap saja ia merasa tak nyaman. Seperti berjalan melewati kawanan harimau.

"Apa naik Gojek aja, ya?"

Iyos menggumam sambil memasukkan kunci pintu ke saku celana. Baru saja ia keluar lalu mengunci pintu depan. Ia tidak membawa dompet, apalagi tas. Ia hanya membawa ponsel di genggaman dan selembar uang pecahan lima puluh ribu satu-satunya yang dimilikinya di saku celana. Uang tersebut untuk antisipasi jika si duda tidak mentraktirnya. Walau ia tahu harga sepaket makanan dan minuman di sana lebih dari uang yang dimilikinya. Sisanya ia akan membayar dengan mencuci piring atau melakukan negosiasi agar ia bisa membayar di lain waktu alias ngutang.

Oh, astaga! Sebenarnya Iyos tidak semelarat itu. Orang tuanya pengusaha. Ya, meski bukan pengusaha besar. Setelah pensiun dari sebuah perusahaan milik negara yang memproduksi baja, papanya membuka usaha panglong kayu di pinggir jalan utama tak seberapa jauh dari perumahan tempat mereka tinggal. Ia bisa minta uang pada orang tuanya kapan saja ia mau, tapi ia malu. Ia cukup tahu diri dengan statusnya sekarang yang pengangguran. Jika bukan untuk keperluan mendesak, ia tak akan meminta. Namun bukan orang tua namanya jika tak peduli dan pengertian. Mereka tetap memberi uang jajan bulanan padanya seperti saat masih kuliah dulu tapi dengan nominal yang lebih kecil. Meski begitu, ia tetap berhemat dengan menggunakan uang tersebut seperlunya agar tidak habis sebelum akhir bulan.

Setelah berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya Iyos memilih berjalan kaki. Lumayan, ia bisa berhemat lima ribu rupiah dan mendapat bonus kesehatan tubuh. Lagipula, apa kata driver ojek online jika ia membuat orderan untuk ke restoran itu? Jaraknya begitu dekat.

Iyos berjalan menyusuri jalanan komplek yang lengang. Ia yakin tak ada yang mencurigainya sedang dikejar-kejar penjahat sebab langkah-langkahnya tak bisa dibilang lambat. Ada dua jalur masuk dan keluar di perumahan tempat tinggalnya. Jalur utama dilengkapi dengan lanskap dan nama perumahan tersebut, sedangkan jalur kedua tidak. Ia memilih jalur kedua karena lebih dekat dengan restoran itu. Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat saat ia sampai di tepi jalan utama yang tepat berseberangan dengan restoran di mana si duda sedang menunggunya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa jalanan kosong atau jarak kendaraan cukup jauh sehingga ia bisa menyeberang dengan aman.

Saat Iyos sedang berjalan di halaman restoran, ponselnya berdenting tanda ada pesan masuk. Ia berhenti untuk melihat pesan tersebut. Ternyata dari lelaki yang sedang menunggunya. Lewat pesan itu Zulfikar memberi tahu posisi meja yang ditempatinya. Detak jantung Iyos semakin menggila, tangannya dingin. Ia tak tahu mengapa tubuhnya bereaksi demikian. Apakah karena ia takut Zulfikar seorang penjahat atau karena ia akan bertemu dengan lelaki yang enak dilihat.

Langkah Iyos berlanjut sambil ia menenangkan diri agar tak gugup. Mengapa pula ia gugup? Tenang, tenang. Ia mengulang-ulang kata itu dalam hati. Sampai di pintu masuk ia disambut ramah. Pada pelayan itu ia mengatakan akan bertemu seseorang dan tak lupa menyebut letak mejanya. Kemudian ia diantar ke sana. Ia berjalan setenang mungkin hingga dekat, semakin dekat dengan meja yang ditempati seorang lelaki dan dua anak laki-laki. Lalu ia berhenti.

"Pak Zulfikar."

Lelaki yang sedang membantu memotong cumi untuk anak bungsunya itu menoleh, terdiam sesaat lantas bangkit ketika ia akhirnya sadar siapa perempuan yang menyapanya. "Mbak Rosdiana Putri?" tanyanya memastikan.

"Iya, saya Rosdiana Putri." Iyos menjawab dengan masih diliputi kecanggungan, tapi deg-degannya sudah berkurang dan bibirnya berhasil tersenyum.

"Apa kabar?" Tangan Zulfikar terulur dan langsung disambut tangan Iyos.

"Alhamdulillah, baik. Maaf ya, Pak, saya telat."

"Enggak papa. Silakan duduk."

"Terima kasih."

Iyos menarik kursi di sebelah anak sulung Zulfikar. Ia sempat tersenyum ramah kala anak bertubuh bongsor itu menoleh padanya. Melihat hal tersebut membuat Zulfikar segera memperkenalkan anak-anaknya pada Iyos.

"Ini Cannavaro anak pertama saya dan ini si bungsu Arshavin. Ayo, anak-anak, salim sama Tante Rosdiana."

Varo dan Arsha menurut. Iyos berbasa-basi menanyakan mereka kelas berapa. Varo yang memang pendiam menjawab seadanya. Berbeda dengan Arsha. Anak berusia lima tahun itu memberi jawaban yang cukup panjang.

"Arsha masih TK nol besar. Kata Ayah, tahun depan Arsha masuk SD."

Iyos yang terbiasa berinteraksi dengan anak-anak menanggapinya secara antusias. Dari sana terjadilah percakapan antara gadis itu dan Arsha, bahkan dibumbui tawa mereka berdua. Sementara Zulfikar memperhatikan mereka. Sejak melihat Iyos tersenyum pada Varo, ia tahu senyum gadis bertubuh tinggi itu tulus. Menurutnya, Iyos sangat tahu cara berkomunikasi dengan anak-anak dilihat dari obrolan Iyos dengan Arsha. Ia yakin Iyos memang sosok penyuka dan penyayang anak-anak, tidak seperti Rita.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Zulfikar pada Iyos. "Maaf, anak-anak pesan duluan. Soalnya mereka udah laper."

"Oh, enggak papa, Pak."

Iyos membuka buku menu. Setelah membaca-baca, ia lalu mengatakan pesanannya pada Zulfikar. Kemudian lelaki itu memanggil pelayan.

Ketika makanan dan minuman sudah datang, mereka menyantapnya sambil berbincang santai. Mereka berbicara tentang keluarga, aktivitas sehari-hari dan sama sekali tidak menyinggung soal pencarian jodoh yang dilakukan Zulfikar. Kecanggungan yang semula tercipta perlahan-lahan hilang. Iyos bahkan menikmati obrolan itu hingga ponselnya berdering. Dengan isyarat tangan ia permisi pada Zulfikar untuk menerima panggilan tersebut. Ia kaget saat tahu siapa yang menelepon.

"Halo, Ma," sapa Iyos dengan suara sangat pelan.

"Teteh ada di mana? Mama sama Papa enggak bisa masuk rumah, nih."

"Emang Mama enggak bawa kunci?"

"Enggak. 'Kan, tadinya kamu -"

"Oke, oke, Ma. Teteh pulang sekarang."

Setelah mengakhiri pembicaraan di telepon, Iyos langsung pamit pulang pada Zulfikar dan kedua anaknya.

Dengan langkah cepat Iyos meninggalkan restoran. Dalam hati ia berdo'a semoga di restoran tadi tidak ada orang yang mengenalnya, apalagi keluarganya. Jika ada, ia berharap orang tersebut tidak melaporkan pada orang tuanya. Apa kata mama dan papanya jika tahu ia menemui seorang lelaki di restoran itu? Tak masalah bila lelaki muda dan masih single, tapi ini tidak. Zulfikar meski masih bisa dibilang muda, namun usianya jauh di atasnya. Tujuh belas tahun perbedaannya dan seorang duda pula.

Tiba di rumah, Iyos mendapati orang tuanya sedang duduk di teras. Ia yang masih ngos-ngosan langsung ditembak pertanyaan oleh mamanya.

"Habis dari mana kamu? Katanya enggak mau ke mana-mana?"

"Teteh abis dari Sari Kuring, Ma," jawab Iyos jujur.

"Abis ngapain?"

"Abis makan lah, Ma. Tadi tiba-tiba ada teman yang ngajak makan di sana dalam rangka ulang tahun. Teman kuliah Teteh."

"Ya udah, ya udah, cepet buka pintunya. Mama udah kebelet pipis."

Iyos bernapas lega. Ia mengambil kunci di saku lalu membuka pintu.

***

Hampir tiap malam Iyos tidur di atas jam sepuluh malam. Itu karena ia asyik menyaksikan berbagai video di Youtube. Namun malam ini ia tak melakukan itu. Ia bergulang-guling saja di atas tempat tidur sambil mengingat makan malam tadi. Ia terbayang-bayang wajah lelaki itu, teringat aroma parfumnya ...

Ponsel Iyos berdenting. Ia segera meraih benda berwarna hitam itu lalu segera bangun kala melihat nama si pengirim pesan. Buru-buru ia membukanya.

[Senang berkenalan dengan kamu]

Tak perlu menunggu lama, Iyos membalas.

[Saya juga senang berkenalan dengan Bapak]

Iyos kembali meletakkan ponsel di lantai. Sekitar lima menit kemudian, benda pintar itu berdenting lagi. Dari atas ranjang ia meraihnya lalu membaca pesan yang masuk.

[Saya memilih kamu]

***

CINTA TAK BERSYARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang