9

45 2 2
                                    

          Setelah tahu bahwa Fikar adalah direktur sekaligus pemilik PT. Maju Jaya Teknik, Iyos deg-degan kala hari ini ia mendatangi kantor yang sudah menjadi tempat kerjanya. Saat melangkah menuju pintu utama, sesekali ia menoleh ke belakang. Pengalaman waktu itu membuatnya melakukan hal tersebut. Siapa tahu Fikar mengikutinya lagi. Ah, mengapa ia berpikiran demikian? Ia GR sekali.
     "Ini surat kontraknya. Silakan dibaca dulu sebelum ditandatangani."
     Iyos sudah berada di ruangan Miftah. Lelaki yang belum genap berusia tiga puluh tahun itu menyodorkan sebuah map padanya. Ia membuka map tersebut lalu mulai membaca dengan teliti apa yang tertulis di lembaran-lembaran kertas di dalamnya. Meski sangat ingin bekerja, tapi ia tak ingin gegabah dan asal tanda tangan tanpa membaca surat kontrak. Ia harus sepakat dulu dengan isi surat dan memastikan tidak ada poin yang merugikannya sebagai pegawai, baru ia akan tanda tangan.
     Dari awal sampai akhir tak ada kata yang Iyos lewatkan di surat kontrak itu. Semuanya jelas. Akhirnya dengan yakin ia membubuhkan tanda tangan. Ia sangat antusias. Ini pertama kali baginya. Ia pun tak sabar ingin segera mulai bekerja.
     "Selamat bergabung di perusahaan ini, Mbak Rosdiana," ucap Miftah seraya menjabat tangan Iyos.
     "Makasih, Pak." Iyos tersenyum lebar. "Jadi kapan saya bisa mulai kerja?"
     "Besok Mbak mulai kerja."
     "Baik." Bibir Iyos belum berhenti tersenyum.
     Iyos keluar dari ruangan Miftah dengan hati riang dan wajah semringah. Mulai besok aktivitasnya akan berubah. Ia tak lagi menjadi bagian dari kaum rebahan. Ia pun akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Itu membuatnya tak sabar ingin segera esok tiba.
     Sambil melangkah menyusuri lantai gedung, Iyos bersenandung kecil. Sementara itu matanya sesekali melirik ke sana - ke mari. Siapa tahu ada Fikar. Eh, ups! Duh, kenapa pikirannya selalu tertuju pada lelaki itu? Apakah sebenarnya ia berharap bertemu dengan si duda? Ah, tidak, tidak.
     Ngomong-ngomong soal Fikar, Iyos sempat berpikir apakah diterimanya ia di PT. Maju Jaya Teknik ada campur tangan lelaki itu? Siapa tahu, bukan? Fikar memilihnya untuk menjadi calon istri. Menurutnya, itu berarti Fikar tertarik padanya. Makanya ia diterima bekerja di sana agar Fikar bisa selalu bertemu dengannya. Apalagi posisi marketing officer berhubungan langsung dengan direktur.
     Astaga, astaga. Iyos menggeleng-geleng untuk mengenyahkan pikiran itu. Penyakit GR-nya sudah sangat kronis. Itu sungguh memalukan. Ia tidak seharusnya berpikir seperti itu. Seharusnya ia yakin bahwa ia diterima bekerja di sana karena kemampuannya.
     "Kenapa geleng-geleng?"
     Itu dia. Itu suaranya. Sekarang Iyos sudah hafal dengan suara itu. Tiba-tiba jantungnya berdetak cepat. Ia berhenti melangkah, lalu menoleh. Sebenarnya ia ingin terus berjalan, pura-pura tak mendengar suara itu, tapi menurutnya tindakan tersebut tidak sopan mengingat si pemilik suara adalah atasannya mulai sekarang. Lagipula ia sangsi pada dirinya apakah benar-benar ingin menghindari lelaki itu. Belum lama ia mencari-cari kehadirannya di gedung ini.
     "Eh, Bapak." Iyos menyapa Fikar disertai senyuman canggung. Apalagi Fikar menatapnya lekat. Ia jadi sedikit gugup, tapi berusaha menutupinya dengan menyelipkan rambut ke belakang telinga.
     "Apa kabar?"
     "Alhamdulillah, baik."  
     "Jadi gimana hasil tes dan wawancara tempo hari?"
     "Hasilnya saya diterima bekerja di sini," jawab Iyos masih tersenyum. Kini malah sampai gigi-giginya terlihat.
     "Oh, itu bagus. Selamat, ya. Selamat bergabung di perusahaan ini."
     Fikar mengulurkan tangan kanan yang disambut baik oleh tangan kanan Iyos. Tak lupa Iyos mengucapkan terima kasih. Setelah itu Fikar pamit pergi. Iyos bernapas lega. Ia masih merasa tidak enak lantaran sudah menolak menjadi calon istri, juga memblokir nomor kontak si bos duda tersebut. Tentu saja perasaan tersebut muncul lantaran ia diterima di perusahaan Fikar. Jika tidak, ia masa bodoh. Sungguh, sebenarnya ia tak menginginkan pertemuan kembali dengan lelaki bertubuh jangkung itu. Namun memang dalam kehidupan kadang terjadi yang sebaliknya.
     "Saya lupa menyampaikan satu hal."
     Hampir saja Iyos yang sudah kembali melangkah menabrak tubuh pimpinan tertinggi di perusahaan ini. Tentu tadi ia melihat Fikar yang berbalik badan, tapi tidak berpikir akan menghampirinya lagi. Mau apa lagi, sih? keluhnya dalam hati. Sementara ia juga berusaha menyembunyikan sikap salah tingkahnya. Bagaimana tidak salah tingkah, ia berdekatan dengan lelaki good looking, seorang direktur, berewokan pula. Ah, ia memang sangat suka melihat kaum Adam yang memiliki berewok, tapi yang tipis seperti Fikar. Menurutnya, lelaki berewokan itu terlihat laki banget. Dengan syarat, si lelaki berwajah enak dipandang. Tetap saja good looking menjadi syarat utama.
     "Apa itu, Pak?" Iyos jadi penasaran.
     Fikar tak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak, lantas mengucap, "Nanti saya bakal sering berkoordinasi soal kerjaan sama kamu. Jadi buka blokiran nomor kontak saya."
     Tiba-tiba mulut Iyos menjadi kaku. Ia hanya mengangguk, padahal sebenarnya kebingungan sebab nomor ponsel Fikar telah ia hapus. Jika begitu, bagaimana ia membuka blokirannya?

***

[Kenapa kamu nolak jadi calon istri saya?]

     Pada malam hari, ketika Iyos bersiap untuk tidur, ponselnya berbunyi yang menandakan bahwa ada pesan masuk. Sambil berbaring ia menyalakan layar telepon pintar itu, lantas membaca pesan tersebut. Pengirimnya berupa deretan angka, sedangkan isi pesan membuat ia menghela napas berat. Ia tahu betul siapa pemilik deretan angka nomor ponsel itu.
     Iyos mencibir. Sekarang ia tahu siang tadi Fikar ternyata hanya modus memintanya membuka blokir dengan dalih pekerjaan. Ia kira Fikar sudah melupakan soal ajang pencarian jodoh yang menurutnya sangat konyol. Namun ternyata lelaki itu masih mengungkit dan penasaran kenapa ia menolaknya. Apakah ia harus menjawab pesan tersebut?
     Sebenarnya Iyos malas membahas hal tersebut. Ia menganggap itu sudah selesai. Ia sudah menolaknya dan seharusnya tidak ada yang perlu dibahas lagi. Namun sekarang lelaki itu adalah atasannya. Sopan atau tidak, jika ia memilih mengabaikan pesan tersebut? Sepertinya sopan-sopan saja sebab ini di luar jam kerja, pikirnya. Kemudian ia menimbang-nimbang ... Ia memutuskan untuk membalas pesan dari Fikar dengan bahasa santai seolah mereka sudah lama saling mengenal dan akrab. Menurutnya, jika ia tidak memberi penjelasan mengenai penolakan itu, ia yakin Fikar akan terus menanyakannya.

                                                       [Bapak kepo]

Tanpa menunggu lama, pesan Iyos mendapat respon.

[Iya]

     "Widih, jawabannya singkat, padat, jelas," komentar Iyos. Lantas jari-jarinya kembali menari-nari di atas keypad. Ia ingin bermain-main dulu dengan duda dua anak itu. Tiba-tiba saja ide itu muncul. Sepertinya bakal seru, pikirnya. Ia tahu Fikar tidak sekaku itu mengingat komentar si lelaki di salah satu postingan sosial medianya.

                   [Kalo saya enggak mau kasih tau alasannya, gimana?]

[Kamu saya pecat]

***
    
    

         

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CINTA TAK BERSYARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang