7

146 12 0
                                    


Iyos terkejut kala Fikar memberi tahu bahwa lelaki itu memilihnya. Ibarat melamar pekerjaan, ia diterima. Ah, kenapa jika melamar pekerjaan ia selalu belum beruntung, tapi melamar sebagai calon istri malah lolos sebagai pemenang. Ia mengeluh dalam hati. Padahal yang dibutuhkannya adalah pekerjaan, bukan calon suami. Setidaknya untuk saat ini ia memang tidak memikirkan tentang calon suami dan pernikahan. Ia sedang fokus berusaha mendapatkan pekerjaan.

"Duh, gimana, ya?" Iyos menggumam sambil terus menatap pesan dari Fikar. "Gue kudu bales apa?" lanjutnya kemudian berdecak.

          Menit demi menit berlalu, namun Iyos belum memberi balasan atas pesan Fikar. Ia tak ingin gegabah. Maka ia perlu berpikir matang terlebih dahulu sebelum membalas pesan tersebut. Sampai saat ini ia masih ragu dengan apa yang dilakukan Fikar. Maksudnya, ajang pencarian calon istri yang diselenggarakan oleh lelaki itu. Apa Fikar sungguhan mencari calon istri? Atau lowongan itu hanya bentuk keisengan?

Jika memang Fikar bersungguh-sungguh mencari calon istri, dan Iyos menerima dirinya lolos seleksi, apakah lelaki itu benar-benar akan menikahinya? Pikiran itu membuat Iyos bergidik ngeri. Lagipula menikah dengan duda beranak dua tak pernah ada dalam bayangannya. Pun ia hanya iseng dan bahkan tak sengaja mengirimkan lamaran itu. Jadi sekarang ia sudah tahu harus membalas apa untuk pesan Fikar. Benar, ia akan menolaknya.

Tapi dia ganteng, lho. Brewokan lagi.

Tiba-tiba hati Iyos bersuara yang membuatnya berkata lirih sambil meringis, "Iya, sih."

Iyos tak menampik bahwa ia suka melihat rupa Fikar. Apalagi ia penggemar laki-laki yang memiliki berewok, tapi ia tak akan luluh hanya karena berewok tipis lelaki itu. Keputusannya sudah final.

Dengan mantap Iyos mengetik pesan balasan untuk Fikar lalu mengirimkannya. Selang beberapa detik, ia mendapat respon dari lelaki itu. Namun ia hanya membacanya. Ia tak ingin repot-repot memberi penjelasan mengenai mengapa ia memilih mundur sebagai pemenang ajang pencarian calon istri Fikar. Toh, ia tak ingin menjalin komunikasi lebih lama dengan Fikar. Ia anggap semua ini tak pernah terjadi. Bila dipikir-pikir, ia malu dan merasa bodoh sebab telah mengikuti ajang pencarian jodoh tersebut, apalagi sampai datang menemui Fikar.

Iyos anggap urusannya dengan Fikar sudah selesai. Jadi ia menghapus semua chat dirinya dengan lelaki itu. Kemudian ia berusaha untuk tidur.

Keesokan sekitar setengah menit setelah Iyos bangun dari, ia meraih ponsel yang tergeletak di lantai. Ia akan melakukan sesuatu yaitu memblokir nomor kontak Fikar. Ide itu datang tiba-tiba. Ia benar-benar ingin bebas dari lelaki itu sebab kini ia merasa takut dan tak nyaman.

"Sorry ya, Pak," gumam Iyos saat memblokir lalu menghapus nomor kontak Fikar.

Setelah nomor Fikar sudah lenyap dari ponselnya, Iyos merasa sedikit lega. Ia belum sepenuhnya lega karena Fikar mengetahui alamat rumahnya. Apalagi kompleks tempat tinggal mereka berdekatan. Bahkan sangat dekat. Ia khawatir Fikar akan menyambanginya. Duh, ia jadi over thinking atau GR, ya?

"Teteeeeeh, bangun! Sholat."

Suara Haryati terdengar dari balik pintu kamar. Iyos segera menyahut sebelum alarm yang berasal dari mulut mamanya itu semakin nyaring berbunyi. Bermalas-malasan, ia bangkit lalu turun dari tempat tidur. Tiap hari selalu begitu. Tak ada yang membuatnya bersemangat untuk memulai hari. Hari ini akan dilaluinya dengan melakukan kegiatan yang sama seperti hari-hari sebelumnya : membantu mamanya mengerjakan pekerjaan rumah, rebahan sambil berselancar di dunia maya ... Begitu-begitu saja.

Jika ia menerima menjadi calon istri Fikar, apakah akan ada perubahan pada hari-harinya? Tiba-tiba saja Iyos berpikiran demikian ketika hendak masuk kamar mandi. Namun ia segera mengenyahkannya. Ia tak ingin timbul keraguan di hatinya. Sudah cukup, Iyos. Jangan memikirkan duda itu lagi, batinnya.

CINTA TAK BERSYARATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang